Rabu, 12 Juni 2013

Perkembangan Kota: Kasus Kampung Mattoanging Tahun 1900-1975

     BAB I
Pendahuluan
1.1       Latar Belakang Masalah
Pemukiman atau tempat tinggal  hadir sebagai suatu aspek yang mengiringi berkembangnya kehidupan Manusia. Pemukiman sendiri berawal dari kehidupan manusia pra sejarah. Dimana pemukiman tersebut menjadi tempat tinggalnya secara berkelompok. Faktor pemilihan tempat pada masa itu hanya didasari oleh kesuburan tanah serta faktor keamanan dari ancaman kelompok lain ataupun hewan buas. Seiring berjalannya waktu, perkembangan hadir mengiringi kehidupan manusia, dari yang awalnya pemukiman hanya dijadikan tempat sementara pada masa selanjutnya pemukiman kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal tetap dengan faktor yang berbeda pula. Jika dahulunya pemukiman hanya didasarkan pada faktor kesuburan tanah serta keamanan, faktor pemilihan tempat bermukim pada masa selanjutnya didasari pada kebutuhan hidup yang lebih meningkat. Mulai dari akses hidup, kemampuan manusianya, serta faktor kenyamanan.
Hal ini muncul seiring hadirnya modernisasi sebagai suatu gejala umum pada masyarakat dan telah terjadi hampir di seluruh muka bumi ini. Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut refolusi industri[1]. Mula-mula ke daerah-daerah yang kebudayaannya semacam, yaitu ke Eropa dan Amerika Utara, kemudian ke bagian-bagian dunia yang lain dengan daerah-daerah yang kebudayaannya berbeda sama sekali dengan kebudayaan Eropa. Modernisme dalam suatu masyarakat itu sendiri merupakan suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Satu aspek yang bisa dilihat misalnya dari aspek ekonomi, modernisme berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana peroduksi diadakan secara massal.
Modernisme merupakan suatu perkembangan yang dialami oleh suatu wilayah ataudaerah diberbagai aspek, misalnya dari segi wilayah, pemerintahan, ekonomi, kependudukan, dan sosial budaya. Sebagai .gejala umum ternyata tidak hanya terlihat dinegara-negara yang maju, akan tetapi di negara-negara sedang berkembang, pengaruh modernisme sudah menjadi suatu hal yang biasa. Di Indonesia sendiri modernisasi dianggap oleh beberapa ahli sejarah perkotaan terjadi sejak tahu 1870[2]. Sejak periode ini sebagian kota-kota dikembangkan menjadi kota moderen dengan segala fasilitas pelengkapnya.
            Apa yang coba dijelaskan di atas menjadi indikator keberadaan kota dewasa ini khususnya di Makassar. Pemukiman yang dalam kehidupan kota Makassar  sebelumya berupa perkampungan-perkampungan, khususnya pada masa Hindia Belanda sebagai suatu penataan wilayah pemerintahan kini mengalami perubahan dari segala aspek. Hal yang mungkin terlintas di kepala kita jika menyebut perkampungan adalah hal yang identik dengan kehidupan kampung, masih tradisional, serta jauh dari gemerlap modernisme. Perkampungan di Kota Makassar dewasa ini sebenarnya masih ada, akan tetapi yang nampak bukan lagi perkampungan atau kampung yang mencirikan hal di atas. Sekarang perkampungan di Makassar hampir semuanya telah tertutupi oleh perkembangan modernisme yang menjadikan gemerlap kota lebih dominan. Apa yang terjadi sebenarnya dalam perkembangan kota ini merupakan suatu masalah yang menjadi tanda tanya besar, khususnya bagi kita peneliti sejarah yang selalu menempatkan perubahan dalam kehidupan sebagai suatu aspek sejarah.
Di Kota Makassar terdapat puluhan perkampungan yang memiliki cerita dan dinamika kehidupan sosial tersendiri. Sangat luas jika kita melihat masalah ini secara keselurahan. Dari banyaknya perkampungan tersebut membuat kita bebas memilih salah satu di antaranya. Untuk studi ini penulis mencoba melihat Kampung Mattoanging.
               Kampung Mattoangin merupakan suatu kampung yang berada pada Distrik Mariso sebagai suatu pemukiman yang telah tertata rapi sesuai dengan status Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 1900-an sampai 1950[3]. Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari Bahasa Bugis yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[4]. Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Marisso. Untuk sebelah utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat berbatasan dengan Kampung Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Parang dibatasi oleh Kampung Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Bonto Rannu[5]. Berbicara mengenai penduduk, Kampung Mattoanging banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa. Mata pencahariannya pun hanya berkisar pada bertani, buruh/kuli dan sebahagian yang berjualan.
            Pada pemerintahan Hindia Belanda daerah kampung Mattoanging ini merupakan wilayah perkebunan serta peternakan. Seperti kita ketahui bahwa lahan yang kemudian dijadikan tempat pembangunan Stadion Mattoanging atau lebih dikenal sekarang dengan nama Stadion Andi Mattalatta dalam rangka diselenggarakannya PON ke IV tahun 1957 merupakan bekas lahan perkebunan[6]. Pada masa itu pula terdapat sebuah peternakan. Ditahun 1950-an tepatnya pada masa pemerintahan Ratulangi daerah Kampung Mattoangin pernah didirikan suatu sekolah yang disebut Perguruan Nasional[7]. Selanjutnya di Kampung Mattoanging ini, juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) pada tahun 1954-1958[8].
            Selanjutnya berkaitan dengan keberadaan perkebunan serta lahan peternakan di Kampung Mattoanging pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang saat ini sudah tidak terlihat juga menjadi suatu rasa penasaran tersendiri atau tanda tanya besar dalam benak penulis. Dalam hal ini penulis ingin mencoba menelusuri bagaimana peroses beralih fungsinya tempat-tempat tersebut. Bagaimana dinamika sosial yang mengiringi perubahan tersebut. Hal lain yang sangat menarik dalam hal ini yakni masalah pemindahan kepemilikan tanah di wilayah kampung Mattoaging ini, melihat dari kepemilikan Pemerintah Hindia Belanda, penduduk setempat hingga pemindahan kepemilikan tanah-tanah tersebut sampai masa pemerintahan pasca kemerdekaan. Lahan Stadion Mattoanging yang dulunya merupakan lahan perkebunan misalnya, perubahan fungsi dari lahan tersebut pasti menciptakan dinamika sosial yang sangat penting didalamnya.
            Hal yang membuat tema ini menarik selanjutnya yaitu karena kampung-kampung yang ada di kota Makassar termasuk Kampung Mattoanging telah terjadi beberapa kali perubahan besar dari beberapa aspek seiring bergantinya pemerintahan di kota Makassar. Perubahan ditata pemerintahan misalnya, dimana beberapa Districk menjadi kecamatan dan beberapa diantaranya mengalami pemekaran, serta kampung yang saat ini menjadi kelurahan bahkan ada yang hanya tinggal menjadi lingkungan. Sangat perihatin rasanya jika kita tidak mengetahui bagaimana peroses dinamika sejarah tersebut terjadi. Dalam artian keberadaan Kampung Mattoanging saat masih Pemerintahan kolonial Belanda, kedatangan Jepang, hingga Pemerintahan pasca-penjajahan.
1.2       Lingkup Penelitian dan Rumusan Masalah
Kota adalah suatu kajian yang sangat menarik untuk melihat berbagai hal, diantaranya bagaimana masyarakat serta dinamika perkotaan didalamnya. Dalam kajian ini menempatkan perkampungan sebagai suatu objek yang sering dijadikan studi perkotaan sebagai suatu tinjauan kajian untuk melihat masyarakat khususnya perubahahan yang terjadi didalamnya. Suatu wilayah perkampungan seringkali terjadi perubahan yang sangat elementer terutama ciri fisik dan dinamika sosial yang selalu setia mengiringi perubahan dari zaman ke zaman. Secara umum kajian ini ingin mencoba melihat perkembangan yang terjadi pada kampung Mattoanging.
Melihat serta mengkaji suatu masalah yang kompleks seperti Kampung Mattoanging hingga melihat perubahan yang terjadi dalam beberapa zaman, sebut saja keberadaan Kampung Mattoanging di masa pemerintahan Hindia Belanda, masuknya Jepang, pasca proklamasi hingga zaman modern beberapa tahun setelahnya disadari oleh penulis sebagai suatu perkara yang tidak mudah. Olehnya itu pendekatan sejarah yang kritis dan tentunya objektif sangat diperlukan untuk mendapatkan dan selanjutnya mengungkap inti-inti dari permasalahan yang sesungguhnya serta tidak keluar dari tema. Untuk dapat mewakili totalitas dari permasalah yang ada tersebut perlu ada penyederhanaan dari masalah tersebut ke dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang sistematis.
Agar dapat mengungkap secara jelas pokok-pokok permasalah yang kompleks, Penulis berusaha agar fokus pada dua bagian atau dua aspek penelitian. Yang pertama penulis mencoba melihat bagaimana keadaan Kampung Mattoanging pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai awal kemerdekaan Republik Indonesia. Selanjutnya yang kedua penulis mencoba melihat bagaimana perubahan yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah kemerdekaan atau pasca-penjajahan.
Berbicara mengenai rentang waktu yang juga menjadi aspek penting dalam penelitian sejarah penulis mencoba membatasi kampung Mattoanging dari tahun 1900 sampai 1975. Ilham Dg Makkelo mengutarakan beberapa peristiwa penting yang masuk dalam periode ini.
“Apakah yang tidak dialami bangsa ini pada kurun waktu itu. Penyebaran semangat nasionalisme, krisis ekonomi, perang pasifik, pendudukan militer Jepang, revolusi nasional yang diselang-seling  oleh “revolusi sosial”, pemberontakan, belajar hidup demokrasi, kegagalan partai, usaha nasionalisasi perusahaan asing, mulainya orde baru dan sebagainya. Periode ini dari sudut pandang sejarah dapat disebut sebagai dekade terpanjang dalam sejarah sosial kontemporer kita. Dan dalam periode ini pula sesungguhnya seluruh daerah di tanah air kita berada dalam suasana kesejarahan yang sama-sama dialami dan rasakan”[9].
Periode ini sendiri penulis anggap penting karena Sejak tahun 1906 kota Makassar telah menjadi suatu wilayah administrasi Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut bagian Pemerintahan Makassar ( OnderAfdeeling Makassar)[10]. Sejak itu, Kota Makassar telah berkembang mejadi kota yang modern akan tetapi tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan ciri kota kolonial akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah yang dipenuhi oleh perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan kelompok-kelompok pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang penataannya telah memenuhi syarat perkotaan[11]. Dalam penataan perkampungan di Kota Makassar khususnya di awal tahun 1900-an, Kampung Mattoanging juga menyisahkan cerita yang berbeda dari perkampungan lain yang ada di kota Makassar. Selanjutnya tahun 1975 sengaja dipilih sebagai periode dimana pembangunan yang sudah sangat pesat dan berkembang, khususnya di zaman pemerintahan Walikota Makassar Dg Patompo yang melakukan pembangunan serta usaha perluasan batas Kota Makassar. Tentunya dari periode tersebut, penulis telah dapat melihat perubahan yang sudah sangat nampak dari perkembangan kota, khususnya di Kampung Mattoanging yang dijadikan tempat pembangunan beberapa fasilitas penting perkotaan, misalnya Stadion Sepak Bola Mattoanging, Stasiun Televisi TVRI Makassar, Kantor Pos, dan tentunya Tanggul Patompo yang diperuntukkan untuk mengatasi masalah banjir.
Persoalan periodisasi yang dipilih tentunya memiliki arti yang menyertai masalah yang menjadi fokus studi dan berkaitan secara berjenjang. Akan tetapi, menurut Kuntowijoyo, cakupan waktu dalam studi sejarah tidaklah secara langsung menunjuk pada suatu periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan maupun akhir[12]. Artinya dalam kajian ini akan dijumpai beberapa bahasan di luar temporal yang ditentukan akan tetapi juga bahasan pada peroide sebelumnya sebagai suatu acuan untuk melihat bagaimana masyarakat, sosial budaya, serta aspek historis dari objek yang menjadi fokus kajian.
Secara spesifik penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa bentuk pertanyaan di bawah ini:
1.      Bagaimana keadaan Kampung Mattoanging di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Masa pendudukan Jepang, hingga awal kemerdekaan dilihat dari segi fungsi ruang, sosial ekonomi dan budaya, kependudukan, serta pemerintahan?,
2.      Perubahan seperti apa yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah proklamasi khususnya di masa Pemerintahan Kotapraja, Republik Indonesia Serikat (RIS), Negara Indonesia Timur (NIT), serta pemerintahan sekarang, dilihat dari segi fungsi ruang, ciri fisik perkotaan, sosial ekonomi dan budaya, kependudukan, serta pemerintahan?,
1.3       Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Melihat realitas menarik dalam kajian sejarah, entah itu kajian sejarah perkotaan ataupun yang lainnnya  merupakan dambaan semua insan sejarah. Dengan mencoba mengkaji kehidupan perkampungan masa lampau di kota Makassar khususnya Kampung Mattoanging diharapkan mampu memperbanyak perbendaharaan kajian sejarah lokal khususnya untuk melihat perkotaan di Makassar pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Untuk kota-kota di Jawa, sampai saat ini sudah mendapat perhatian yang cukup, namun sesuai dengan keadaan ilmiah secara umum bahwa daerah luar Jawa tidak begitu mendapat perhatian[13]. Tujuan umum dari kajian ini ialah bagaimana melihat perkembangan Kampung Mattoanging sejak awal perkembangannya hingga terjadinya perubahan seiring dengan bergantinya kekuasaan dari zaman-kezaman. Dengan menempatkan Mattoanging sebagai perkampungan adalah upaya untuk melihat perkembangan perkotaan di Makassar pada masa lampau. Hal ini juga  diharapkan memberi gambaran dan perbandingan bagaimana kota Makassar dalam kurung waktu 1900-1965. Dimana perkampungan, Mattoanging khususnya memiliki peran dalam perjalanan kota Makassar. Orang terkadang melupakan bahwa situasi yang tercipta hari ini tidaklah dengan mudah dipisahkan sebagai sebuah rangkaian peristiwa yang berlangsung lama dan saling berkaitan. Dalam ilmu sejarah trend seperti itu dikenal dengan proses ‘sebab-akibat’ (kausalitas).
Pada pembahasan dalam kajian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yakni;
1.      Secara umum akan menjelaskan bagaimana perkembangan Kampung Mattoanging, Kota Makassar sejak awal perkembangannya terutama dalam masa pemerintahan Hindia Belanda, hingga mengalami beberapa perubahan terutama sejak kedatangan Jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan.
2.      Menjelaskan bagaimana dinamika perkampungan mempengaruhi pemerintahan serta penggunaan ruang. Dimana perkampungan hampir terdapat disemua wilayah kota Makassar dan dimafaatkan sebagai tempat bermukim, bangunan, serta beberapa aktifitas pemerintahan.
Berdasarkan atas tujuan penulisan, seperti dikatakan di atas, tulisan ini paling tidak akan memberi berbagai manfaat yang berhubungan dengan perkembangan Kampung Mattoanging di kota Makassar. Manfaat yang diharapkan diantaranya;
1.      Menambah referensi lokal, khususnya yang berkaitan dengan kajian perkampungan sebagai aspek suatu kota.
2.      Kajian diharapkan mampu memberi pengetahuan pada pembaca dalam kaitannya perbandingan kota Makassar pada masa lampau dengan kehidupan perkotaan Makassar di zaman sekarang atau lebih khususnya kampung Mattoanging pada masa lalu dengan masa sekarang ini. Dimana perkampungan pada masa lampau memiliki manfaat dan peran yang sangat besar.
3.      Pada akhirnya penelitian ini diharapkan menjadi bahan pembanding dengan penelitian terdahulu dan menjadi langkah awal untuk studi yang lebih mendalam pada masa mendatang, atas begitu banyaknya sejarah dan realitas-realitas atas kota yang masih belum diketahui atau bahkan dianggap tidak penting oleh sebahagian orang.  
1.4       Karya- karya Terdahulu
Sejarah adalah suatu rekonstruksi kejadian masa lampau yang identik dengan adanya perubahan yang berusaha memberi penjelasan-penjelasan dari masa lampau tersebut tentunya dengan fakta-fakta yang ada. Tentunya sangat susah untuk mengungkap masalah tampa melakukan perbandingan dengan permasalahan yang ada sebelumnya.
Buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, merupakan acuan penulis untuk mengembangkan masalah sejarah perkampungan yang sudah diungkap secara sederhana. Dari buku tersebut penulis melihat hal menarik dan sangat terinspirasi untuk menggali lebih dalam lagi masalah perkampungan di kota Makassar tersebut, khususnya Kampung Mattoanging. Masalah ini penulis anggap sebagai suatu kajian sejarah yang sangat menarik karena menjadi suatu element yang mempengaruhi tatanan masyarakat di Makassar.
Berkaitan dengan buku  Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, buku yang ditulis oleh Nasaruddin Koro dengan judul Ayam Jantan Tanah Daeng, Arjuna Jalan Pasar Minggu No. 8B, Jakarta, 2008 juga membahas mengenai keberadaan perkampungan di Kota Makassar. Akan tetapi pembahasan Nasaruddin koro dalam bukunya itu belum mengupas secara mendalam mengenai perkampungan di Kota Makassar. Meskipun demikian setidaknya penulis dapat memperoleh pengetahuan awal mengenai Kampung Mattoanging.
Disamping itu pertarungan kepentingan sangat nampak pada perkampungan tersebut antara penguasa Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa lokal yang dimana merekalah yang memegang pengaruh kuat pada masyarakat di perkampungan tersebut. Kepala kampung sendiri disebut Matoa. Untungnya, Edward L. Poeliggomang telah menyinggung masalah ini dalam bukunya Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942, Ombak, Yoyakarta, 2004. Pembagian kekuasaan serta hubungan kekuasaan dalam pemerintahan adalah suatu aspek yang berpengaruh terhadap keberlangsungan perkampugan di kota Makassar. Setiap kebijakan untuk menata ulang tatanan perkampungan adalah suatu masalah yang sangat menarik, dan hal inilah yang dicoba oleh penulis untuk ditelusuri penyebab serta bagaimana kelanjutan dari setiap penataan tersebut.
Buku di atas jelas merupakan buku acuan utama penulis dalam mengungkap masalah perkampungan di kota Makassar tadi, disamping itu,  literatur pembanding juga sangat diperlukan untuk melihat sebuah kasus. Untuk masalah yang akan diteliti, buku yang ditulis oleh Bedjo Riyanto,  Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915), (Yogyakarta: Tarawang, 2000) merupakan buku pembanding yang cukup membantu. Dalam buku tersebut diungkap mengenai kota-kota yang mulai berkembang khususnya sejak tahun 1870-an. Disamping itu kota-kota yang mulai memperlihatkan ciri modernisme juga dibahasnya. Hal ini tentu sangat membantu untuk melihat bagaimana awal perkembangan kota-kota di Indonesia, serta penempatan perkampugan yang dimana mejadi ciri dari kota kolonial. Melihat perkampungan saat kota-kota mulai berkembang adalah suatu hal yang sangat membantu dalam kajian ini.
Literatur lainnya yang dianggap penulis dapat dijadikan bahan pembading yakni buku yang ditulis oleh  Purnawan Basudoro, Dua  Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009). Dalam beberapa Bab dalam buku tersebut mengangkat masalah penguasa pemukiman-pemukimanan serta kontrol dari pemerintah Hindia Brlanda. Selanjutya disinggung mengenai perkampungan partikler di Surabaya. Satu hal yang cukup menarik jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Makassar. Disamping itu arsip-arsip Belanda, Catatan-catatan laporan pemerintah Hidia Belanda masalah penataan perkampungan, serta data-data penduduk adalah literatur yang harus dipakai dalam mengkaji masalah ini.
Disamping itu untuk melihat bagaimana penggunaan ruang kota, buku yang ditulis oleh Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja, Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Meski perspektifnya lebih pada kasus keagamaan, akan tetapi setidaknya penulis mampu menjadikan buku tersebut sebagai suatu pembanding dengan tema yang dipilih oleh penulis.
1.5       Metode Dan Sumber Penelitian
Hakikat sejarah sendiri menurut Kuntowijoyo ialah ilmu yang mandiri, mandiri artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri[14]. Study ini diharapkan menjadi suatu kajian yang dapat dipercaya, olehnya itu dalam study dilakukan beberapa metodelogi, metodelogi yang dimaksud tentunya metodelogi sejarah. Yang pertama adalah pengumpulan data atau dalam kajian ilmu sejarah dikenal dengan Heuristic. Dalam pengumpulan data, dilakukan beberapa cara yakni mulai dari pengumpulan data yang berupa arsip data sekunder maupun dari hasil wawancara. untuk pencarian data arsip, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi tempat yang banyak digunakan oleh penulis untuk memperoleh data.
 Selanjutnya untuk buku, penulis banyak menggunakan buku pribadi serta buku pinjaman dari dosen dan teman-teman lainnya. Untuk wawancara sendiri, penulis banyak melakukan wawancara dengan para dosen untuk memperoleh data awal sebelum penulis melanjutkan dengan turun langsung ke lokasi penelitian dalam hal ini Kampung Mattoanging. Ada beberapa narasumber yang sempat penulis wawancarai misalnya, aparat pemerintahan dalam hal ini Lura dan jajarannya, kemudian para RT dan RW, tukang parkir, tukang becak, serta tokoh masyarakat yang dianggap kompeten dengan tema yang dipilih oleh penulis. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam pembahasan adalah benar-benar apa yang menjadi harapan yang akan dicapai dari rumusan masalah diatas. Selanjutnya heuristic atau pengumpulan data merupakan elemen penting dalam penulisan atau penelitian sejarah. Data sumber atau dokumen merupakan pintu masuk mendapatkan fakta-fakta sejarah yang akan dibaca atau dianalisa untuk mendapatkan tulisan sejarah (no fact, no history). Maksud dari pengumpulan sumber atau data adalah agar konstruksi (bangunan) sejarah menjadi kuat dengan adanya bahan-bahan fital tersebut.  Metode penelusuran sumber ini, pada hakikatnya tak bisa dilepaskan dengan metodologi sejarah pada umumnya dengan penekanan pada writing sources[15].   Metode lainnya yakni dengan sejarah lisan (oral history). Metode ini pertama kali dipraktekkan pada tahun 1704 oleh seorang sejarawan bernama Bode. Dia mengandalkan teknik wawancara dalam penulisan karyanya ‘History of English Church and People’. Salah satu sumbangsih metode ini adalah menjadi alternatif memahami suatu peristiwa dengan sumber tertulis yang sangat terbatas. Selain itu metode ini membuat perubahan dari sejarah elitis ke sejarah egalitarian. Semula orang-orang kecil tidak masuk dalam karya sejarah, kemudian berubah menjadi pelaku sejarah[16]. Di kawasan timur sendiri, kita memeliki Prof. Dr. Abdul Rasyid Asba. M.A yang mulai mengembangkan sejarah lisan dalam bukunya Katalog Sejarah Jepang Lisan Di Sulawesi Selatan, Pada Tahun 2007.
Metode atau langkah berikutnya ialah memilah atau kritik sumber. Metode ini bermafaat untuk memilih semua data yang telah didapatkan, mana data yang sebenarnya sesuai dengan tema yang diangkat dan data yang tidak mengena dengan studi. Metode ini juga digunakan penulis untuk meguji data yang akurat dan terpercaya dalam artian bagaimana kita menemukan kebenaran yang betul-betul bisa terpercaya dan dapat dibuktikan dari sekian banyak sumber yang diperoleh. Misalnya dalam hal wawancara terdapat perbedaan pendapat dari beberapa narasumber mengenai wilayah dari Kampung Mattoanging. Melihat hal tersebut, penulis mencoba memilih satu yang memang dianggap benar dan dapat dipercaya, apalagi jika kita kembali pada hakekat dari seorang peneliti sejarah yang dituntut kejujurannnya dalam penyajian suatu data ataupun fakta-fakta sejarah. 
Dalam metode kritik sumber ini ada dua langkah yang dapat ditempuh, kritik internal dan kritik eksternal. Kritik interal dalam hal ini kritik yang dilakukan terhadap isi keabsahan dan keakuratan dari sumber tersebut. Sedangkan kritik eksteral adalah suatu keritik terhadap keautentikan dari bahan-bahan dokumen, misalnya tinta, kertas, dan gambar. Kritik ekstern ini biasanya dilakukan oleh badan arsip.  
Selanjutnya interpertasi sebagai suatu langkah untuk menyimpulkan sendiri atau tafsiran awal mengenai data-data yang diperoleh adalah salah satu metode yang sangat penting. Biasanya interpretasi ini bersifat sementara dalam merekonstruksi sejarah.
Historiografi merupakan langkah terakhir dalam metodelogi sejarah. Historiografi adalah langkah dimana kita mengakumulasikan semua data-data yang kita dapat dalam penelitian yang kemudian disajikan dalam bentuk tulisan sejarah. Ilmu bantu sangatlah penting dalam mengungkap masalah yang di atas. Olehnya itu penulis berupaya memakai ilmu bantu sejarah politik, sosial budaya serta statistik kependudukan. Harapannya  tiada lain untuk menghasilkan karya atau tulisan yang sesuai dengan rumusan masalah sebelumnya. Serta tetap megutamakan objektifitas dalam mengungkap suatu masalah.
Mengenai sumber penelitian, penulis melakukan pencarian data mulai dari melakukan wawancara dengan beberapa dosen yang dianggap berkompeten dengan kajian penulis. Setelah itu penulis mulai mendatangi Arsip Wilayah Profinsi Sulawesi Selatan untuk mencari data yang berkaitan dengan tinjauan kajian. Setelah itu, penulis mencari sumber dengan menggunakan Arsip Kelurahan Mattoanging, dan juga Arsip Kotamadya Makassar, Kabag Kependudukan, Pemerintahan, dan Perencanaan Pembangunan. Di samping menggunakan Arsip dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian, penulis juga menggunakan data wawancara dengan melakukan wawncara dengan aparat kelurahan, kecamatan, serta beberapa tokoh masyarakat yang dianggap berkompeten dan mengerti sejarah dan perkembangan yang terjadi di Kampung Mattoanging.   
 1.6      Sistematikan Pembahasan
Sistematika penulisan yang bisanya terdiri atas urutan pokok-pokok bahasan atau bab dan sub bab yang berhubungan dengan tema pokok tulisan. Seharusnya sudah tersusun sebelum memulai penelitian atau penulisan, karena itu akan menjadi pemandu dan kerangka bahasan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, sistematika pembahasan itu sering berubah,  apakah karena ketersediaan data atau keterbatasan menjelaskan fakta-fakta sejarah. Tulisan inipun mempunyai sistematika penulisan, meskipun ini juga sudah mengalami perubahan dari susunan awal.
Tulisan ini pada dasarnya terdiri atas tiga pembahasan pokok. Yang pertama penulis mencoba melihat bagaimana Keadaan Kampung Mattoanging pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sampai datangnya Jepang. Selanjutnya yang kedua penulis mencoba melihat bagaimana perubahan yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah kemerdekaan atau pasca-kemerdekaan. Lebih jelasnya tersusun atas bab-bab seperti berikut; Pada bab satu adalah pendahuluan yang tersusun atas latar belakang masalah, lingkup penelitian dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, metode dan sumber penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab dua adalah penjelasan mengenai gambaran awal Kota Makassar secara umum, sejak awal kota ini muncul, dan menjadi kota colonial dengan berbagai fasilitasnya hingga sebagai kota di Indonesia. Penulis memberi judul bab ini; Makassar Dan Kampung Mattoanging Dalam Lintas Sejarah. Pada pembahasannya, bab ini diberi sub-sub judul sebagai berikut; Geografi/ Kewilayahan, Masyarakat dan Perseberan Penduduk, Sosial Politik Perkotaan, Penataan Ruang Kota dan Perkampungan. Bab ini dijadikan penulis sebagai pintu masuk untuk mengungkap atau membahas perkembangan kota secara spesifik dan substansional.
Pada bab tiga, penulis mulai melihat keadaan awal dari inti pembahasan dalam hal ini keadaan Kampung Mattoanging sampai awal kemerdekaan Indonesia. Pada bab ini penulis menjelaskan bagaimana sejarah awal Kampung Mattoanging mulai dari sejarah penamaan, sosial budaya, dan ekonomi, serta pemerintahan awal hingga perkembangan yang dialaui. Di samping itu penulis mengungkap bagaimana perjuangan-perjuangan serta keadaan yang dilalui oleh masyarakat Mattoanging pada masa pemerintihan kolonial Hindia Belanda, kedatangan dan pendudukan Jepang, hingga keadaan sosial politik di awal-awal kemerdekaan Indonesia. olehnya itu pada  bab ini diberi judul; Kampung Mattoanging Sampai Awal Kemerdekaan Republik Indonesia. adapun rincian sub bab sebagai berikut; Mattoanging Sebagai Kampung Kota, Kampung Mattoanging Dari Kolonial Sampai Masa Pendudukan Jepang 1905-1945, dan Kampung Mattoanging di Awal Kemerdekaan 1945-1950.
Di bab empat penulis melihat perubahan-perubahan apa yang terjadi atau yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah kemerdekaan khususnya ditahun 1950-an dan seterusnya. Penulis juga menjelaskan pembangunan-pembangunan apa yang menjadi ciri pembeda dari masa sebelumnya atau dengan kampung lain yang ada di Kota Makassar. Terakhir penulis melihat dari segi masyarakat khususnya dinamika sosial yang mengiringi perubahan dan perkembangan tersebut. Bab empat ini diberi judul; Perubahan Status dan Perkembangan Kampung Mattoanging Hingga Zaman Patompo 1950- 1975. Adapun rincian sub babnya ialah; Pendahuluan, dimana penulis akan menjelaskan secara ringkas mengenai gambaran pembahasan di bab empat ini. Yang kedua ialah perubahan status Kampung Mattoanging, Dari Kampung Sampai Kelurahan. Selanjutnya penulis akan menjelaskan bagaimana perkembangan Kampung Mattoanging, khususnya setelah menjadi suatu kelurahan. Pembangunan-Pembangunan di Masa Patompo, Stadion Mattoanging dan Dinamika Sosial Masyarakat, Pendidikan Dan Perjuangan di Mattoanging, serta kehadiran Pasar Senggol dan dinamika sosial di dalamnya. Yang terakhir ialah Pertumbuhan Penduduk. Sedangkan bab terakhir atau bab lima adalah bab penutup yang merupakan kesimpulan.








[1]J. W. Schoorl, Modernisasi,  Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakarta: PT. Gramedia 1980), hlm. 1. 
[2] Purnawan Basudoro, Dua  Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 5. 
[3]Pada tahun 1900-an sampai 1950 kota Makassar merupakan Standsge meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi Gouverment Celebes en  Onderhoorighenden (Sulawesi dan daerah Taklukannya), Groote Oost ( Provinsi Timur Besar), Residentiran, Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (NIT: 1946-1950). Untuk lebih lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di Makassar tahun 1900-1950 baca,  Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984).
[4] Ibid. hlm. 46.
[5] Ibid. hlm. 7.
[6]http//www/Stadion Andi Mattalatta/ Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan.or.id.(Akses 12 Februari 2012).
[7]Nasruddin Koro, Ayam Jantan Kota Daeng, (Jakarta: Penerbit Ajuara Raya Pasar Minggu No. 8 B, 2006), hlm. 231.

[8]Wawancara: Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.
[9] Ilham Dg Makkelo, Kota Seribu Gereja, Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado , (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010), hlm. 13.
[10] Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2004), hlm. 1.
[11] Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984), hlm. 10.
[12]Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris. Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 1.
[13] Ibid, hlm. 26.
[14] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta, Penerbit Tiara Wacana, 2008), hlm. 2.
[15]Ilham Dg Makkelo, op. cit., hlm. 3.
[16]Ibid, hlm. 4.