BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pemukiman
atau tempat tinggal hadir sebagai suatu
aspek yang mengiringi berkembangnya kehidupan Manusia. Pemukiman sendiri
berawal dari kehidupan manusia pra sejarah. Dimana pemukiman tersebut menjadi
tempat tinggalnya secara berkelompok. Faktor pemilihan tempat pada masa itu
hanya didasari oleh kesuburan tanah serta faktor keamanan dari ancaman kelompok
lain ataupun hewan buas. Seiring berjalannya waktu, perkembangan hadir
mengiringi kehidupan manusia, dari yang awalnya pemukiman hanya dijadikan
tempat sementara pada masa selanjutnya pemukiman kemudian dijadikan sebagai
tempat tinggal tetap dengan faktor yang berbeda pula. Jika dahulunya pemukiman
hanya didasarkan pada faktor kesuburan tanah serta keamanan, faktor pemilihan
tempat bermukim pada masa selanjutnya didasari pada kebutuhan hidup yang lebih
meningkat. Mulai dari akses hidup, kemampuan manusianya, serta faktor
kenyamanan.
Hal
ini muncul seiring hadirnya modernisasi sebagai suatu gejala umum pada
masyarakat dan telah terjadi hampir di seluruh muka bumi ini. Semua bangsa
terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak
di Inggris pada abad ke-18 yang disebut refolusi industri[1].
Mula-mula ke daerah-daerah yang kebudayaannya semacam, yaitu ke Eropa dan
Amerika Utara, kemudian ke bagian-bagian dunia yang lain dengan daerah-daerah
yang kebudayaannya berbeda sama sekali dengan kebudayaan Eropa. Modernisme
dalam suatu masyarakat itu sendiri merupakan suatu proses transformasi, suatu
perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Satu aspek yang bisa dilihat
misalnya dari aspek ekonomi, modernisme berarti tumbuhnya kompleks industri
yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang
sarana peroduksi diadakan secara massal.
Modernisme
merupakan suatu perkembangan yang dialami oleh suatu wilayah ataudaerah
diberbagai aspek, misalnya dari segi wilayah, pemerintahan, ekonomi,
kependudukan, dan sosial budaya. Sebagai .gejala umum ternyata tidak hanya
terlihat dinegara-negara yang maju, akan tetapi di negara-negara sedang
berkembang, pengaruh modernisme sudah menjadi suatu hal yang biasa. Di Indonesia
sendiri modernisasi dianggap oleh beberapa ahli sejarah perkotaan terjadi sejak
tahu 1870[2].
Sejak periode ini sebagian kota-kota dikembangkan menjadi kota moderen dengan
segala fasilitas pelengkapnya.
Apa yang coba dijelaskan di atas
menjadi indikator keberadaan kota dewasa ini khususnya di Makassar. Pemukiman
yang dalam kehidupan kota Makassar sebelumya berupa perkampungan-perkampungan,
khususnya pada masa Hindia Belanda sebagai suatu penataan wilayah pemerintahan
kini mengalami perubahan dari segala aspek. Hal yang mungkin terlintas di kepala
kita jika menyebut perkampungan adalah hal yang identik dengan kehidupan
kampung, masih tradisional, serta jauh dari gemerlap modernisme. Perkampungan
di Kota Makassar dewasa ini sebenarnya masih ada, akan tetapi yang nampak bukan
lagi perkampungan atau kampung yang mencirikan hal di atas. Sekarang
perkampungan di Makassar hampir semuanya telah tertutupi oleh perkembangan
modernisme yang menjadikan gemerlap kota lebih dominan. Apa yang terjadi
sebenarnya dalam perkembangan kota ini merupakan suatu masalah yang menjadi
tanda tanya besar, khususnya bagi kita peneliti sejarah yang selalu menempatkan
perubahan dalam kehidupan sebagai suatu aspek sejarah.
Di
Kota Makassar terdapat puluhan perkampungan yang memiliki cerita dan dinamika
kehidupan sosial tersendiri. Sangat luas jika kita melihat masalah ini secara
keselurahan. Dari banyaknya perkampungan tersebut membuat kita bebas memilih
salah satu di antaranya. Untuk studi ini penulis mencoba melihat Kampung Mattoanging.
Kampung Mattoangin merupakan suatu kampung yang berada pada Distrik
Mariso sebagai suatu pemukiman yang telah tertata rapi sesuai dengan status
Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 1900-an sampai 1950[3].
Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari Bahasa Bugis
yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[4].
Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang
juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Marisso. Untuk sebelah
utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat
berbatasan dengan Kampung Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung
Parang dibatasi oleh Kampung Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan
dengan Kampung Bonto Rannu[5].
Berbicara mengenai penduduk, Kampung Mattoanging banyak dihuni oleh penduduk
yang berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa. Mata
pencahariannya pun hanya berkisar pada bertani, buruh/kuli dan sebahagian yang
berjualan.
Pada pemerintahan Hindia Belanda
daerah kampung Mattoanging ini merupakan wilayah perkebunan serta peternakan.
Seperti kita ketahui bahwa lahan yang kemudian dijadikan tempat pembangunan
Stadion Mattoanging atau lebih dikenal sekarang dengan nama Stadion Andi
Mattalatta dalam rangka diselenggarakannya PON ke IV tahun 1957 merupakan bekas
lahan perkebunan[6].
Pada masa itu pula terdapat sebuah peternakan. Ditahun 1950-an tepatnya pada
masa pemerintahan Ratulangi daerah Kampung Mattoangin pernah didirikan suatu
sekolah yang disebut Perguruan Nasional[7]. Selanjutnya
di Kampung Mattoanging ini, juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas
(SMOA) pada tahun 1954-1958[8].
Selanjutnya berkaitan dengan
keberadaan perkebunan serta lahan peternakan di Kampung Mattoanging pada masa
pemerintahan Hindia Belanda yang saat ini sudah tidak terlihat juga menjadi
suatu rasa penasaran tersendiri atau tanda tanya besar dalam benak penulis.
Dalam hal ini penulis ingin mencoba menelusuri bagaimana peroses beralih
fungsinya tempat-tempat tersebut. Bagaimana dinamika sosial yang mengiringi
perubahan tersebut. Hal lain yang sangat menarik dalam hal ini yakni masalah
pemindahan kepemilikan tanah di wilayah kampung Mattoaging ini, melihat dari
kepemilikan Pemerintah Hindia Belanda, penduduk setempat hingga pemindahan
kepemilikan tanah-tanah tersebut sampai masa pemerintahan pasca kemerdekaan.
Lahan Stadion Mattoanging yang dulunya merupakan lahan perkebunan misalnya,
perubahan fungsi dari lahan tersebut pasti menciptakan dinamika sosial yang
sangat penting didalamnya.
Hal yang membuat tema ini menarik selanjutnya
yaitu karena kampung-kampung yang ada di kota Makassar termasuk Kampung
Mattoanging telah terjadi beberapa kali perubahan besar dari beberapa aspek
seiring bergantinya pemerintahan di kota Makassar. Perubahan ditata
pemerintahan misalnya, dimana beberapa Districk
menjadi kecamatan dan beberapa diantaranya mengalami pemekaran, serta kampung
yang saat ini menjadi kelurahan bahkan ada yang hanya tinggal menjadi
lingkungan. Sangat perihatin rasanya jika kita tidak mengetahui bagaimana
peroses dinamika sejarah tersebut terjadi. Dalam artian keberadaan Kampung
Mattoanging saat masih Pemerintahan kolonial Belanda, kedatangan Jepang, hingga
Pemerintahan pasca-penjajahan.
1.2 Lingkup Penelitian dan Rumusan Masalah
Kota
adalah suatu kajian yang sangat menarik untuk melihat berbagai hal, diantaranya
bagaimana masyarakat serta dinamika perkotaan didalamnya. Dalam kajian ini
menempatkan perkampungan sebagai suatu objek yang sering dijadikan studi
perkotaan sebagai suatu tinjauan kajian untuk melihat masyarakat khususnya
perubahahan yang terjadi didalamnya. Suatu wilayah perkampungan seringkali terjadi
perubahan yang sangat elementer terutama ciri fisik dan dinamika sosial yang
selalu setia mengiringi perubahan dari zaman ke zaman. Secara umum kajian ini
ingin mencoba melihat perkembangan yang terjadi pada kampung Mattoanging.
Melihat
serta mengkaji suatu masalah yang kompleks seperti Kampung Mattoanging hingga
melihat perubahan yang terjadi dalam beberapa zaman, sebut saja keberadaan
Kampung Mattoanging di masa pemerintahan Hindia Belanda, masuknya Jepang, pasca
proklamasi hingga zaman modern beberapa tahun setelahnya disadari oleh penulis
sebagai suatu perkara yang tidak mudah. Olehnya itu pendekatan sejarah yang
kritis dan tentunya objektif sangat diperlukan untuk mendapatkan dan
selanjutnya mengungkap inti-inti dari permasalahan yang sesungguhnya serta tidak
keluar dari tema. Untuk dapat mewakili totalitas dari permasalah yang ada
tersebut perlu ada penyederhanaan dari masalah tersebut ke dalam bentuk-bentuk
pertanyaan yang sistematis.
Agar
dapat mengungkap secara jelas pokok-pokok permasalah yang kompleks, Penulis
berusaha agar fokus pada dua bagian atau dua aspek penelitian. Yang pertama
penulis mencoba melihat bagaimana keadaan Kampung Mattoanging pada masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai awal kemerdekaan Republik
Indonesia. Selanjutnya yang kedua penulis mencoba melihat bagaimana perubahan
yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah kemerdekaan atau pasca-penjajahan.
Berbicara
mengenai rentang waktu yang juga menjadi aspek penting dalam penelitian sejarah
penulis mencoba membatasi kampung Mattoanging dari tahun 1900 sampai 1975.
Ilham Dg Makkelo mengutarakan beberapa peristiwa penting yang masuk dalam
periode ini.
“Apakah yang
tidak dialami bangsa ini pada kurun waktu itu. Penyebaran semangat
nasionalisme, krisis ekonomi, perang pasifik, pendudukan militer Jepang,
revolusi nasional yang diselang-seling
oleh “revolusi sosial”, pemberontakan, belajar hidup demokrasi,
kegagalan partai, usaha nasionalisasi perusahaan asing, mulainya orde baru dan
sebagainya. Periode ini dari sudut pandang sejarah dapat disebut sebagai dekade
terpanjang dalam sejarah sosial kontemporer kita. Dan dalam periode ini pula
sesungguhnya seluruh daerah di tanah air kita berada dalam suasana kesejarahan
yang sama-sama dialami dan rasakan”[9].
Periode ini
sendiri penulis anggap penting karena Sejak tahun 1906 kota Makassar telah
menjadi suatu wilayah administrasi Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut
bagian Pemerintahan Makassar ( OnderAfdeeling
Makassar)[10].
Sejak itu, Kota Makassar telah berkembang mejadi kota yang modern akan tetapi
tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan ciri kota kolonial
akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah yang dipenuhi oleh
perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan kelompok-kelompok
pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang penataannya telah
memenuhi syarat perkotaan[11].
Dalam penataan perkampungan di Kota Makassar khususnya di awal tahun 1900-an,
Kampung Mattoanging juga menyisahkan cerita yang berbeda dari perkampungan lain
yang ada di kota Makassar. Selanjutnya tahun 1975 sengaja dipilih sebagai
periode dimana pembangunan yang sudah sangat pesat dan berkembang, khususnya di
zaman pemerintahan Walikota Makassar Dg Patompo yang melakukan pembangunan
serta usaha perluasan batas Kota Makassar. Tentunya dari periode tersebut,
penulis telah dapat melihat perubahan yang sudah sangat nampak dari
perkembangan kota, khususnya di Kampung Mattoanging yang dijadikan tempat
pembangunan beberapa fasilitas penting perkotaan, misalnya Stadion Sepak Bola
Mattoanging, Stasiun Televisi TVRI Makassar, Kantor Pos, dan tentunya Tanggul
Patompo yang diperuntukkan untuk mengatasi masalah banjir.
Persoalan
periodisasi yang dipilih tentunya memiliki arti yang menyertai masalah yang
menjadi fokus studi dan berkaitan secara berjenjang. Akan tetapi, menurut Kuntowijoyo, cakupan
waktu dalam studi sejarah tidaklah secara langsung menunjuk pada suatu
periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan
maupun akhir[12]. Artinya
dalam kajian ini akan dijumpai beberapa bahasan di luar temporal yang
ditentukan akan tetapi juga bahasan pada peroide sebelumnya sebagai suatu acuan
untuk melihat bagaimana masyarakat, sosial budaya, serta aspek historis dari
objek yang menjadi fokus kajian.
Secara
spesifik penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa bentuk pertanyaan di
bawah ini:
1. Bagaimana
keadaan Kampung Mattoanging di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Masa
pendudukan Jepang, hingga awal kemerdekaan dilihat dari segi fungsi ruang,
sosial ekonomi dan budaya, kependudukan, serta pemerintahan?,
2. Perubahan
seperti apa yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah proklamasi khususnya
di masa Pemerintahan Kotapraja, Republik Indonesia Serikat (RIS), Negara
Indonesia Timur (NIT), serta pemerintahan sekarang, dilihat dari segi fungsi
ruang, ciri fisik perkotaan, sosial ekonomi dan budaya, kependudukan, serta
pemerintahan?,
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Melihat
realitas menarik dalam kajian sejarah, entah itu kajian sejarah perkotaan
ataupun yang lainnnya merupakan dambaan
semua insan sejarah. Dengan mencoba mengkaji kehidupan perkampungan masa lampau
di kota Makassar khususnya Kampung Mattoanging diharapkan mampu memperbanyak
perbendaharaan kajian sejarah lokal khususnya untuk melihat perkotaan di
Makassar pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Untuk kota-kota di
Jawa, sampai saat ini sudah mendapat perhatian yang cukup, namun sesuai dengan
keadaan ilmiah secara umum bahwa daerah luar Jawa tidak begitu mendapat
perhatian[13].
Tujuan umum dari kajian ini ialah bagaimana melihat perkembangan Kampung
Mattoanging sejak awal perkembangannya hingga terjadinya perubahan seiring
dengan bergantinya kekuasaan dari zaman-kezaman. Dengan menempatkan Mattoanging
sebagai perkampungan adalah upaya untuk melihat perkembangan perkotaan di
Makassar pada masa lampau. Hal ini juga
diharapkan memberi gambaran dan perbandingan bagaimana kota Makassar
dalam kurung waktu 1900-1965. Dimana perkampungan, Mattoanging khususnya
memiliki peran dalam perjalanan kota Makassar. Orang terkadang melupakan bahwa
situasi yang tercipta hari ini tidaklah dengan mudah dipisahkan sebagai sebuah
rangkaian peristiwa yang berlangsung lama dan saling berkaitan. Dalam ilmu sejarah
trend seperti itu dikenal dengan proses ‘sebab-akibat’ (kausalitas).
Pada
pembahasan dalam kajian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yakni;
1. Secara
umum akan menjelaskan bagaimana perkembangan Kampung Mattoanging, Kota Makassar
sejak awal perkembangannya terutama dalam masa pemerintahan Hindia Belanda,
hingga mengalami beberapa perubahan terutama sejak kedatangan Jepang dan
setelah proklamasi kemerdekaan.
2. Menjelaskan
bagaimana dinamika perkampungan mempengaruhi pemerintahan serta penggunaan
ruang. Dimana perkampungan hampir terdapat disemua wilayah kota Makassar dan
dimafaatkan sebagai tempat bermukim, bangunan, serta beberapa aktifitas
pemerintahan.
Berdasarkan
atas tujuan penulisan, seperti dikatakan di atas, tulisan ini paling tidak akan
memberi berbagai manfaat yang berhubungan dengan perkembangan Kampung
Mattoanging di kota Makassar. Manfaat yang diharapkan diantaranya;
1. Menambah
referensi lokal, khususnya yang berkaitan dengan kajian perkampungan sebagai
aspek suatu kota.
2. Kajian
diharapkan mampu memberi pengetahuan pada pembaca dalam kaitannya perbandingan
kota Makassar pada masa lampau dengan kehidupan perkotaan Makassar di zaman
sekarang atau lebih khususnya kampung Mattoanging pada masa lalu dengan masa
sekarang ini. Dimana perkampungan pada masa lampau memiliki manfaat dan peran
yang sangat besar.
3. Pada
akhirnya penelitian ini diharapkan menjadi bahan pembanding dengan penelitian
terdahulu dan menjadi langkah awal untuk studi yang lebih mendalam pada masa
mendatang, atas begitu banyaknya sejarah dan realitas-realitas atas kota yang
masih belum diketahui atau bahkan dianggap tidak penting oleh sebahagian
orang.
1.4 Karya- karya Terdahulu
Sejarah
adalah suatu rekonstruksi kejadian masa lampau yang identik dengan adanya
perubahan yang berusaha memberi penjelasan-penjelasan dari masa lampau tersebut
tentunya dengan fakta-fakta yang ada. Tentunya sangat susah untuk mengungkap
masalah tampa melakukan perbandingan dengan permasalahan yang ada sebelumnya.
Buku
yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Sejarah Sosial
Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, merupakan
acuan penulis untuk mengembangkan masalah sejarah perkampungan yang sudah
diungkap secara sederhana. Dari buku tersebut penulis melihat hal menarik dan
sangat terinspirasi untuk menggali lebih dalam lagi masalah perkampungan di
kota Makassar tersebut, khususnya Kampung Mattoanging. Masalah ini penulis
anggap sebagai suatu kajian sejarah yang sangat menarik karena menjadi suatu
element yang mempengaruhi tatanan masyarakat di Makassar.
Berkaitan
dengan buku Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950, buku yang ditulis oleh Nasaruddin Koro dengan judul Ayam Jantan Tanah Daeng, Arjuna Jalan
Pasar Minggu No. 8B, Jakarta, 2008 juga membahas mengenai keberadaan
perkampungan di Kota Makassar. Akan tetapi pembahasan Nasaruddin koro dalam
bukunya itu belum mengupas secara mendalam mengenai perkampungan di Kota
Makassar. Meskipun demikian setidaknya penulis dapat memperoleh pengetahuan
awal mengenai Kampung Mattoanging.
Disamping
itu pertarungan kepentingan sangat nampak pada perkampungan tersebut antara
penguasa Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa lokal yang dimana merekalah yang
memegang pengaruh kuat pada masyarakat di perkampungan tersebut. Kepala kampung
sendiri disebut Matoa. Untungnya, Edward L. Poeliggomang telah menyinggung
masalah ini dalam bukunya Perubahan
Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942, Ombak, Yoyakarta, 2004.
Pembagian kekuasaan serta hubungan kekuasaan dalam pemerintahan adalah suatu
aspek yang berpengaruh terhadap keberlangsungan perkampugan di kota Makassar.
Setiap kebijakan untuk menata ulang tatanan perkampungan adalah suatu masalah
yang sangat menarik, dan hal inilah yang dicoba oleh penulis untuk ditelusuri
penyebab serta bagaimana kelanjutan dari setiap penataan tersebut.
Buku
di atas jelas merupakan buku acuan utama penulis dalam mengungkap masalah perkampungan
di kota Makassar tadi, disamping itu, literatur pembanding juga sangat diperlukan
untuk melihat sebuah kasus. Untuk masalah yang akan diteliti, buku yang ditulis
oleh Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di
Jawa Masa Kolonial (1870-1915), (Yogyakarta: Tarawang, 2000) merupakan buku
pembanding yang cukup membantu. Dalam buku tersebut diungkap mengenai kota-kota
yang mulai berkembang khususnya sejak tahun 1870-an. Disamping itu kota-kota
yang mulai memperlihatkan ciri modernisme juga dibahasnya. Hal ini tentu sangat
membantu untuk melihat bagaimana awal perkembangan kota-kota di Indonesia,
serta penempatan perkampugan yang dimana mejadi ciri dari kota kolonial.
Melihat perkampungan saat kota-kota mulai berkembang adalah suatu hal yang
sangat membantu dalam kajian ini.
Literatur
lainnya yang dianggap penulis dapat dijadikan bahan pembading yakni buku yang
ditulis oleh Purnawan Basudoro, Dua
Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan,
(Yogyakarta: Ombak, 2009). Dalam beberapa Bab dalam buku tersebut mengangkat
masalah penguasa pemukiman-pemukimanan serta kontrol dari pemerintah Hindia
Brlanda. Selanjutya disinggung mengenai perkampungan partikler di Surabaya.
Satu hal yang cukup menarik jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di
Makassar. Disamping itu arsip-arsip Belanda, Catatan-catatan laporan pemerintah
Hidia Belanda masalah penataan perkampungan, serta data-data penduduk adalah
literatur yang harus dipakai dalam mengkaji masalah ini.
Disamping
itu untuk melihat bagaimana penggunaan ruang kota, buku yang ditulis oleh Ilham
Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja,
Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado. Meski perspektifnya
lebih pada kasus keagamaan, akan tetapi setidaknya penulis mampu menjadikan
buku tersebut sebagai suatu pembanding dengan tema yang dipilih oleh penulis.
1.5 Metode Dan Sumber Penelitian
Hakikat
sejarah sendiri menurut Kuntowijoyo ialah ilmu yang mandiri, mandiri artinya
mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri[14].
Study ini diharapkan menjadi suatu kajian yang dapat dipercaya, olehnya itu
dalam study dilakukan beberapa metodelogi, metodelogi yang dimaksud tentunya
metodelogi sejarah. Yang pertama adalah pengumpulan data atau dalam kajian ilmu
sejarah dikenal dengan Heuristic.
Dalam pengumpulan data, dilakukan beberapa cara yakni mulai dari pengumpulan
data yang berupa arsip data sekunder maupun dari hasil wawancara. untuk
pencarian data arsip, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan
menjadi tempat yang banyak digunakan oleh penulis untuk memperoleh data.
Selanjutnya untuk buku, penulis banyak
menggunakan buku pribadi serta buku pinjaman dari dosen dan teman-teman
lainnya. Untuk wawancara sendiri, penulis banyak melakukan wawancara dengan
para dosen untuk memperoleh data awal sebelum penulis melanjutkan dengan turun
langsung ke lokasi penelitian dalam hal ini Kampung Mattoanging. Ada beberapa
narasumber yang sempat penulis wawancarai misalnya, aparat pemerintahan dalam
hal ini Lura dan jajarannya, kemudian para RT dan RW, tukang parkir, tukang
becak, serta tokoh masyarakat yang dianggap kompeten dengan tema yang dipilih
oleh penulis. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam pembahasan adalah
benar-benar apa yang menjadi harapan yang akan dicapai dari rumusan masalah
diatas. Selanjutnya heuristic atau
pengumpulan data merupakan elemen penting dalam penulisan atau penelitian
sejarah. Data sumber atau dokumen merupakan pintu masuk mendapatkan fakta-fakta
sejarah yang akan dibaca atau dianalisa untuk mendapatkan tulisan sejarah (no fact, no history). Maksud dari
pengumpulan sumber atau data adalah agar konstruksi (bangunan) sejarah menjadi kuat dengan adanya bahan-bahan fital
tersebut. Metode penelusuran sumber ini,
pada hakikatnya tak bisa dilepaskan dengan metodologi sejarah pada umumnya
dengan penekanan pada writing sources[15]. Metode lainnya yakni dengan sejarah lisan (oral history). Metode ini pertama kali
dipraktekkan pada tahun 1704 oleh seorang sejarawan bernama Bode. Dia
mengandalkan teknik wawancara dalam penulisan karyanya ‘History of English Church and People’. Salah satu sumbangsih
metode ini adalah menjadi alternatif memahami suatu peristiwa dengan sumber
tertulis yang sangat terbatas. Selain itu metode ini membuat perubahan dari
sejarah elitis ke sejarah egalitarian. Semula orang-orang kecil
tidak masuk dalam karya sejarah, kemudian berubah menjadi pelaku sejarah[16].
Di kawasan timur sendiri, kita memeliki Prof. Dr. Abdul Rasyid Asba. M.A yang
mulai mengembangkan sejarah lisan dalam bukunya Katalog Sejarah Jepang Lisan Di Sulawesi Selatan, Pada Tahun 2007.
Metode
atau langkah berikutnya ialah memilah atau kritik sumber. Metode ini bermafaat
untuk memilih semua data yang telah didapatkan, mana data yang sebenarnya
sesuai dengan tema yang diangkat dan data yang tidak mengena dengan studi.
Metode ini juga digunakan penulis untuk meguji data yang akurat dan terpercaya
dalam artian bagaimana kita menemukan kebenaran yang betul-betul bisa
terpercaya dan dapat dibuktikan dari sekian banyak sumber yang diperoleh.
Misalnya dalam hal wawancara terdapat perbedaan pendapat dari beberapa
narasumber mengenai wilayah dari Kampung Mattoanging. Melihat hal tersebut,
penulis mencoba memilih satu yang memang dianggap benar dan dapat dipercaya,
apalagi jika kita kembali pada hakekat dari seorang peneliti sejarah yang dituntut
kejujurannnya dalam penyajian suatu data ataupun fakta-fakta sejarah.
Dalam
metode kritik sumber ini ada dua langkah yang dapat ditempuh, kritik internal
dan kritik eksternal. Kritik interal dalam hal ini kritik yang dilakukan
terhadap isi keabsahan dan keakuratan dari sumber tersebut. Sedangkan kritik
eksteral adalah suatu keritik terhadap keautentikan dari bahan-bahan dokumen,
misalnya tinta, kertas, dan gambar. Kritik ekstern ini biasanya dilakukan oleh
badan arsip.
Selanjutnya
interpertasi sebagai suatu langkah untuk menyimpulkan sendiri atau tafsiran
awal mengenai data-data yang diperoleh adalah salah satu metode yang sangat
penting. Biasanya interpretasi ini bersifat sementara dalam merekonstruksi
sejarah.
Historiografi
merupakan langkah terakhir dalam metodelogi sejarah. Historiografi adalah
langkah dimana kita mengakumulasikan semua data-data yang kita dapat dalam
penelitian yang kemudian disajikan dalam bentuk tulisan sejarah. Ilmu bantu
sangatlah penting dalam mengungkap masalah yang di atas. Olehnya itu penulis
berupaya memakai ilmu bantu sejarah politik, sosial budaya serta statistik
kependudukan. Harapannya tiada lain
untuk menghasilkan karya atau tulisan yang sesuai dengan rumusan masalah
sebelumnya. Serta tetap megutamakan objektifitas dalam mengungkap suatu
masalah.
Mengenai
sumber penelitian, penulis melakukan pencarian data mulai dari melakukan
wawancara dengan beberapa dosen yang dianggap berkompeten dengan kajian
penulis. Setelah itu penulis mulai mendatangi Arsip Wilayah Profinsi Sulawesi
Selatan untuk mencari data yang berkaitan dengan tinjauan kajian. Setelah itu,
penulis mencari sumber dengan menggunakan Arsip Kelurahan Mattoanging, dan juga
Arsip Kotamadya Makassar, Kabag Kependudukan, Pemerintahan, dan Perencanaan
Pembangunan. Di samping menggunakan Arsip dan buku-buku yang berkaitan dengan
kajian, penulis juga menggunakan data wawancara dengan melakukan wawncara
dengan aparat kelurahan, kecamatan, serta beberapa tokoh masyarakat yang
dianggap berkompeten dan mengerti sejarah dan perkembangan yang terjadi di
Kampung Mattoanging.
1.6 Sistematikan Pembahasan
Sistematika penulisan yang bisanya terdiri atas
urutan pokok-pokok bahasan atau bab dan sub bab yang berhubungan dengan tema
pokok tulisan. Seharusnya sudah tersusun sebelum memulai penelitian atau
penulisan, karena itu akan menjadi pemandu dan kerangka bahasan. Meskipun
demikian, dalam kenyataannya, sistematika pembahasan itu sering berubah, apakah karena ketersediaan data atau
keterbatasan menjelaskan fakta-fakta sejarah. Tulisan inipun mempunyai
sistematika penulisan, meskipun ini juga sudah mengalami perubahan dari susunan
awal.
Tulisan
ini pada dasarnya terdiri atas tiga pembahasan pokok. Yang pertama penulis
mencoba melihat bagaimana Keadaan Kampung Mattoanging pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda sampai datangnya Jepang. Selanjutnya yang kedua penulis mencoba
melihat bagaimana perubahan yang nampak pada Kampung Mattoanging setelah
kemerdekaan atau pasca-kemerdekaan. Lebih jelasnya tersusun atas bab-bab seperti
berikut; Pada bab satu adalah pendahuluan yang tersusun atas latar belakang
masalah, lingkup penelitian dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, metode dan
sumber penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab
dua adalah penjelasan mengenai gambaran awal Kota Makassar secara umum, sejak
awal kota ini muncul, dan menjadi kota colonial dengan berbagai fasilitasnya hingga
sebagai kota di Indonesia. Penulis memberi judul bab ini; Makassar Dan Kampung
Mattoanging Dalam Lintas Sejarah. Pada pembahasannya, bab ini diberi sub-sub
judul sebagai berikut; Geografi/ Kewilayahan, Masyarakat dan Perseberan
Penduduk, Sosial Politik Perkotaan, Penataan Ruang Kota dan Perkampungan. Bab
ini dijadikan penulis sebagai pintu masuk untuk mengungkap atau membahas
perkembangan kota secara spesifik dan substansional.
Pada
bab tiga, penulis mulai melihat keadaan awal dari inti pembahasan dalam hal ini
keadaan Kampung Mattoanging sampai awal kemerdekaan Indonesia. Pada bab ini
penulis menjelaskan bagaimana sejarah awal Kampung Mattoanging mulai dari
sejarah penamaan, sosial budaya, dan ekonomi, serta pemerintahan awal hingga
perkembangan yang dialaui. Di samping itu penulis mengungkap bagaimana
perjuangan-perjuangan serta keadaan yang dilalui oleh masyarakat Mattoanging
pada masa pemerintihan kolonial Hindia Belanda, kedatangan dan pendudukan
Jepang, hingga keadaan sosial politik di awal-awal kemerdekaan Indonesia.
olehnya itu pada bab ini diberi judul;
Kampung Mattoanging Sampai Awal Kemerdekaan Republik Indonesia. adapun rincian
sub bab sebagai berikut; Mattoanging Sebagai Kampung Kota, Kampung Mattoanging
Dari Kolonial Sampai Masa Pendudukan Jepang 1905-1945, dan Kampung Mattoanging
di Awal Kemerdekaan 1945-1950.
Di bab empat penulis
melihat perubahan-perubahan apa yang terjadi atau yang nampak pada Kampung
Mattoanging setelah kemerdekaan khususnya ditahun 1950-an dan seterusnya.
Penulis juga menjelaskan pembangunan-pembangunan apa yang menjadi ciri pembeda
dari masa sebelumnya atau dengan kampung lain yang ada di Kota Makassar.
Terakhir penulis melihat dari segi masyarakat khususnya dinamika sosial yang
mengiringi perubahan dan perkembangan tersebut. Bab empat ini diberi judul; Perubahan Status dan Perkembangan
Kampung Mattoanging Hingga Zaman Patompo 1950- 1975. Adapun rincian sub babnya
ialah; Pendahuluan, dimana penulis
akan menjelaskan secara ringkas mengenai gambaran pembahasan di bab empat ini.
Yang kedua ialah perubahan status Kampung Mattoanging, Dari
Kampung Sampai Kelurahan. Selanjutnya
penulis akan menjelaskan bagaimana perkembangan Kampung Mattoanging, khususnya
setelah menjadi suatu kelurahan. Pembangunan-Pembangunan
di Masa Patompo, Stadion Mattoanging dan Dinamika Sosial Masyarakat, Pendidikan Dan
Perjuangan di Mattoanging, serta
kehadiran Pasar Senggol dan dinamika sosial di dalamnya. Yang terakhir ialah Pertumbuhan Penduduk. Sedangkan bab terakhir atau bab lima adalah
bab penutup yang merupakan kesimpulan.
[1]J.
W. Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang, (Jakarta: PT. Gramedia 1980), hlm. 1.
[2]
Purnawan Basudoro, Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak
Kolonial Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 5.
[3]Pada
tahun 1900-an sampai 1950 kota Makassar merupakan Standsge meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi Gouverment Celebes en Onderhoorighenden
(Sulawesi dan daerah Taklukannya), Groote
Oost ( Provinsi Timur Besar), Residentiran,
Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (NIT: 1946-1950). Untuk lebih
lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di Makassar tahun 1900-1950
baca, Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M
Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial
Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta:
Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984).
[4]
Ibid. hlm. 46.
[5]
Ibid. hlm. 7.
[6]http//www/Stadion
Andi Mattalatta/ Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan.or.id.(Akses 12 Februari
2012).
[7]Nasruddin Koro, Ayam Jantan Kota Daeng, (Jakarta:
Penerbit Ajuara Raya Pasar Minggu No. 8 B, 2006), hlm. 231.
[8]Wawancara:
Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.
[9] Ilham Dg
Makkelo, Kota Seribu Gereja, Dinamika
Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado , (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2010), hlm. 13.
[10] Edward L.
Poelinggomang, Perubahan Politik &
Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2004),
hlm. 1.
[11]
Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984), hlm. 10.
[12]Kuntowijoyo,
Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris. Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 1.
[13]
Ibid, hlm. 26.
[14]
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah,
(Yogyakarta, Penerbit Tiara Wacana, 2008), hlm. 2.
[15]Ilham
Dg Makkelo, op. cit., hlm. 3.
[16]Ibid,
hlm. 4.