Selasa, 16 Juli 2013


BAB IV
Perubahan Status dan Perkembangan Kampung Mattoanging 1950- 1975

4.1.      Pendahuluan
Seiring hadirnya modernisasi sebagai suatu gejala umum pada masyarakat dan telah terjadi hampir di seluruh muka bumi ini, maka semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut refolusi industri[1]. Modernisme dalam suatu masyarakat itu sendiri merupakan suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Satu aspek yang bisa dilihat misalnya dari aspek ekonomi, modernisme berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana peroduksi diadakan secara massal. Modernisme sebagai gejala umum ternyata tidak hanya terlihat dinegara-negara yang maju, akan tetapi di negara-negara sedang berkembang, pengaruh modernisme sudah menjadi suatu hal yang biasa. Di Indonesia sendiri modernisasi dianggap oleh beberapa ahli sejarah perkotaan terjadi sejak tahu 1870[2]. Sejak periode ini sebagian kota-kota dikembangkan menjadi kota moderen dengan segala fasilitas pelengkapnya.
            Apa yang coba dijelaskan diatas menjadi indikator keberadaan kota dewasa ini khususnya di Makassar. Perkembangan yang begitu pesat dan prestisius Kota Makassar dewasa ini menjadikan terjadinya banyak perubahan diberbagai aspek sosial dan perkotaan, dan perubahan tersebut telah dijelaskan dipembahasan sebelumnya. Selanjutnya, perubahan yang terjadi di kelurahan Mattoanging yang sebelumnya adalah Kampung Mattoanging. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan Kota Makassar menjadikan seluruh aspek pemerintahan, sosial dan perkotaan juga ikut berubah dan berkembang, temasuk di Kelurahan Mattoanging yang akan diurai oleh penulis dibawah ini.
            Dalam pembahasan bab yang keempat ini penulis akan menjelaskan atau mengurai mengenai inti dari pembahasan kajian ini, yakni perubahan dan perkembangan yang terjadi di Kampung Mattoanging khususnya di tahun 1950 sampai tahun 1975. Sesuai dengan judul bab ini, ada dua pokok bahasan. Yang pertama ialah perubahan status Kampung Mattoanging dalam hal ini perubahan Kampung Mattoanging manjadi suatu kelurahan. Yang kedua penulis akan melihat serta menguraikan perkembangan yang terjadi di Kampung Mattoanging atau setelah menjadi kelurahan.
            Khusus mengenai perubahan status, penulis hanya menjelaskan, bagaimana peroses serta kapan Mattoanging menjadi suatu kelurahan. Masalah perkembangan adalah masalah yang cukup banyak dijadikan penulis sebagai kajian di bab ini. Perkembangan dalam hal sarana dan prasarana, pendidikan, olah raga, serta fasilitas dan ruang publik perkotaan adalah aspek-aspek yang akan diurai dalam pembahsan ini. Tak lupa pertumbuhan penduduk serta dinamika sosial ekonomi yang selalu menjadi cerminan, dan tingkat kemapanan suatu wilayah dalam perkembangannya.
4.2       Dari Kampung Sampai Kelurahan: Perubahan Status Kampung Mattoanging
Suatu kota tidak hadir dengan sendiri secara instan dan sekejap begitu saja. Suatu kota pasti melalui perkembangan yang bertahap sesuai perkembangan zaman yang dilauinya. Dalam bab pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana kemudian Kota Makassar lahir sebagai suatu kota metropoloitan yang moderen seperti itu. Sesuai dengan tema pembahasan yang menempatkan Kampung Mattoanging sebagi tinjauan spasial pembahasan, penulis akan memberi gambaran bagaimana perkembangan serta proses wilayah ini dari yang masih berbentuk Kampung di bawah administrasi Districk Mariso dalam Pemerintahan Kolonial Belanda.   
Perlu disinggung sedikit kembali bahwa sejak tahun 1906 kota Makassar telah menjadi suatu wilayah administrasi Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut bagian Pemerintahan Makassar (Afdeeling Makassar)[3]. Sejak tahun tersebut bisa dikatakan Makassar telah berkembang mejadi kota yang modern akan tetapi tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan ciri kota kolonial akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah yang dipenuhi oleh perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan kelompok-kelompok pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang penataannya telah memenuhi syarat perkotaan[4]. Dalam Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah pemerintahan Bagian Pemerintahan Makassar dibagi atas lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros, Pangkajene, Gowa Barat (West Gowa), dan Takalar[5].
Sebelum berubah status menjadi suatu kelurahan, Kampung Mattoanging sendiri berada dalam distrik Mariso bersama Kampung Dadi, Kampung Mamajang, Kampung Parang, Kampung Sambungjawa, Kampung Jongayya, Kampung Balangboddong, Kampung Kokolojia, Kampung Kunjungmae, Kampung Mario, Kampung Panambungang, Kampung Lette, Kampung Mariso, Kampung Mattoanging, Kampung Buyang, Kampung Bontorannu[6]. Sebagai suatu kampung sama halnya dengan kampung-kampung lain, Kampung Mattoanging juga memiliki kepala kampung sendiri yang bertugas untuk memeilihara kekerabatan dalam kampung tersebut yang disebut Matoa. Matoa ini berada dibawah kepala Districk. Diantara para Matoa yang pernah menjabat diantaranya, Matoa Baharuddin Dg Tola yang menjabat di akhir-akhir masa pemerintahan Belanda[7].
Pada tahun 1961 Kampung Mattoanging kemudian menjadi suatu kelurahan bersamaan dengan pembentukan Kecamatan Mariso sebagai upaya penata-kelolaan kota Makassar.
“Pembentukan ini berdasar pada terbitan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi terbentuklah 27 Daerah Tingkat II yang terdiri dari 2  kotapraja yaitu Kotapraja Makassar dan Kotapraja Pare – pare, dan 25 Daerah Tingkat II Lainnnya. Sebagai tindak lanjut dari terbentuknya Kotapraja Makassar selang 2 (dua) tahun kemudian Kecamatan Mariso dibentuk beserta kelurahan yang berada dalam administrasi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor: 1100 dan 2067 A Tahun 1961 yang menetapkan:
1.      Membubarkan Distrik bentk lama di daerah-daerah II dalam Wilayah Tingkat I Sulawesi Selatan.
2.      Membentuk struktur pemerintahan baru yang disebut Kecamatan di Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara.
Kecamatan Mariso termasuk dalam 8 (delapan) Kecamatan pangkal daro Kotapraja Makassar yang dibentuk pada saat lahirnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor: 1100 dan 2067 A Tahun 1961[8].”  

            Setelah menjadi suatu kelurahan, Kelurahan Mattoanging khususnya pada saat ini memiliki luas 3,8 Km persegi. Luas tersebut sebenarnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan luas Kampung Mattoanging saat masih menjadi kampung dizaman pemerintahan Belanda. Dimana seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya bahwa kampung Mattoanging meliputi wilayah yang sangat luas yakni, sebelah utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat berbatasan dengan Kampung Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Parang dibatasi oleh Kampung Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Bonto Rannu[9].
            Saat pertama kali ditetapkan sebagai suatu kelurahan, Mattoanging memiliki wilayah yang cukup luas yakni mencakup wilayah Kelurahan Mattoanging pada saat ini ditambah dengan wilayah Kelurahan Buyang. Akan tetapi dalam perkembangannya dalam hal pemerinthan, pada tahun 1992 Kelurahan Mattoanging pernah dimekarkan menjadi dua kelurahan, yakni Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan Buyang[10]. 
Pada masa awal pembentukan hingga akhir tahun 1960-an Kelurahan Mattoanging belum mengalami perkembangan yang begitu signifikan dalam pembangunan dan penataan, serta pemenuhan insfraktuktur kota. Perubahan itu baru dirasakan dan terlihat dizaman kepemimpinan walikota Kolonel. H. Muhammad Daeng Patompo di tahun 70-an[11]. Dimasa pemerintahan H.M. Daeng Patompo, kota Makassar mengalami perkembangan yang begitu pesat baik dari segi pembangunan, maupun kepadatan penduduk. Hal ini memaksa adanya perluasan batas wilayah kota Makassar. Dalam perluasan tersebut, kota Makassar mengambil sebagian wilayah Kabupaten Maros dan juga Kabupaten Gowa. Meski tidak mudah, akan tetapi batas wilayah kota Makassar akhirnya mampu dilakukan perluasan hingga akhirnya diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1971 tentang perubahan batas-batas daerah kota Makassar dan Kabupaten-kabupaten Gowa, Maros, dan Pangkajene dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatansan dilakukan perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang[12].
Setelah perluasan wilayah tersebut, Walikota Makassar H.M Daeng Patompo melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur fasilitas perkotaan seperti jalan dan perbaikan fasilitas pemerintahan. Untuk di Kelurahan Mattoanging sendiri adanya perbaikan jalan, sarana kesehatan, dan pendidikan dirasakan warga sangat membantu, terlebih lagi dengan dibangunnya tanggul Patompo yang berhasil mengurangi bahaya banjir yang selalu melanda Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Mariso[13].
Selama menjadi kelurahan, Mattoanging telah dipimpin oleh sekitar sembilan Lurah. Adapun nama-nama lurah yang mampu ditelusuri oleh penulis dapat dilihat tabel dibawah ini:



Tabel 1
Jumlah Kepala Kelurahan (Lurah) Mattoanging Beserta Masa Jabatannya Terhitung Dari Tahun 1973
No
Nama Lurah Mattoanging
Masa Jabatan
1
Drs. Usman Nassa
1973-1977
2
Drs. Yunus Rahman
1977-1982
3
Rusman Abu Thalib
1982-1986
4
Drs. Arsyad Rajab
1986-1994
5
Drs. Muhtar Kasim
1994-2000
6
Drs. Arsyad Rajab
2000-2003
7
Rustan Latif S.Sos
2003-2004
8
A.    Mappatoto
2004-2006
9
Basir S.Sos
2006-Sekarang
Sumber: Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Makassar.
            Untuk menunjang kehidupan masyarakat, pemerintah telah beupaya melakukan dan membuat sejumlah kebijakan pembangunan sarana dan prasarana guna mempermudah masyarakat dalam mengakses segala kebutuhan mendasar. Dalam hal sarana dan prasarana untuk masyarakat Kelurahan Mattoanging, baik dari segi pendidikan, kesehatan serta infrastruktur publik lainnya bisa dikatan ketersediaannya cukup memadai jika diukur keberadaan sampai saat ini sudah lebih 50 tahun menjadi suatu kelurahan. Berikut beberapa sarana dan prasarana yang tersedia bagi masyarakat pada tahun 1970-an di Kelurahan Mattoanging:


Tabel. 2
Sarana Dan Prasarana Di Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso
 Kotamadya Makassar Tahun 1975
No
Sarana dan Prasarana
Jumlah (Unit)
1
Sarana Peribadatan (Mesjid)
1
2
Sekolah Dasar
3
3
Posyandu
1
4
Kantor Lurah
1
5
Apotik
1
Sumber: Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Makassar.
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa secara umum masyarakat yang bermukim di Kelurahan Mattoanging dapat dengan mudah mengakses sarana dan prasarana baik itu akses kesehatan, pendidikan, dan akses publik lainnya. Disamping itu keberadaan Kelurahan Mattoanging berada di pusat kota Makassar menjadikan akses yang lebih besar seperti rumah sakit umum mapun swasta, pusat perbelanjaan, rekreasi dan akses lainnya  berada tidak jauh dari Kelurahan Mattoanging, misalnya  pusat perbelanjaan Mall Ratulangi, Rumah Sakit Umum Haji, Pasar Sentral, Hotel, serta Pantai Losari, dan Tanjung Bunga. Selanjutnya ketersediaan beberapa perumahan untuk hunian menjadikan kehidupan masyarakat bisa dikatakan sudah pada taraf kelayakan perkotaan, meski tetap masih adanya beberapa masyarakat yang hidup dengan ekonomi rendah.
4.3    Perkembangan Kampung Mattoanging
         Setelah Kampung Mattoanging berubah status menjadi suatu kelurahan, barulah terlihat beberapa perkembangan yang cukup mendasar. Setelah kemerdekaan Indonesia yang dicapai pada tahun 1945, dan pemrintahan dijalankan sendiri, terlihat beberapa kebijakan yang berupaya untuk peningkatan teraf manusia khususnya pendidikan. Selain itu, khususnya beberapa tahun setelah kemerdekaan atau tepatnya ditahun 1960-an sampai 1970-an, perkembangan dalam hal infrastruktur dan fasilitas kota terjadi bagitu pesat di Kota Makassar dan Kampung Mattoanging yang telah menjadi suatu kelurahan. Perkembangan itu akan diurai penulis di bawah ini.

4.3.1      Pendidikan Dan Perjuangan di Mattoanging
Kampung Mattoanging menjadi salah satu daerah dimana terdapat sekolah-sekolah khususnya dimasa awal kemerdekaan Indonesia. selain sebagai suatu tempat untuk menuntut ilmu, sekolah yang berdiri di Kampung Mattoanging umunya juga berfungsi sebagai wadah perlawanan dan perjuangan, khususnya dalam usaha mempertahankan kemerdekaan dan juga sebagai upaya eksistensi awal pemuda dalam mengisi kemerdekaan yang baru diperoleh. Seperti yang kita pahami bersama bahwa sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kebanyakan hanya diperuntukkan kepada anak-anak pejabat Pemerintah Belanda, tentara, dan bangsawan pribumi. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan ataupun merugikan anak atau putra-putra bangsa yang tidak lahir dari kalangan bangsawan ataupun pejabat dipemrintahan Kolonial Belanda.
            Keterbatasan pendidikan bagi putra-putri pribumi secara umum terus berlanjut baik disaat penjajahan Belanda hingga kedatangan dan pendudukan Jepang di Makassar. Seperti yang kita ketahui bahwa Jepang hanya terfokus pada pendidikan perang baik dalam Heiho, maupun Saynendan bagi para pemuda dengan tujuan untuk membantu mereka dalam menghadapai musuh sekutu. Meskipun demeikian, setidaknya dari pendidikan kemiliteran yang diajarkan oleh tentara Jepang, putra-putri bangsa dalam hal ini di Makassar memiliki keterampilan yang kemudian diterapkan dalam usaha kemerdekaan Indonesia.
            Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, barulah pemerintah mulai mengusahakan adanya pendidikan yang diperuntukan untuk putra-putri bangsa secara umum dan merata. Ditahun 1950an tepatnya pada masa pemerintahan Ratulangi daerah Kampung Mattoangin pernah didirikan suatu sekolah yang disebut Perguruan Nasional. Sekolah ini didirikan agar sekolah Belanda bukanlah satu-satunya tempat menuntut ilmu. Sekolah ini banyak diikuti oleh pelajar- pelajar yang kemudian beberapa diantaranya menjadi pejuang. Para pejuang yang dimaksud diantaranya Mongongsidi, tidak heran jika sekolah ini kemudian disebut-sebut sebagai sekolah perjuangan[14].
Bukan hanya sekolah perjuangan yang sempat hadir di Kampung Mattoanging ini, akan tetapi di wilayah ini juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) dan Sekolah Tinggi Olahraga(STO) pada tahun 1954-1958[15]. Meski periodenya tidak begitu lama bahkan bisa dikatakan sebentar saja akan tetapi kehadiran SMOA dan STO ini memiliki cerita sejarah sendiri khususnya dalam kaitan perjuangan pemuda Sulawesi Selatan diperiode awal pasca kemerdekaan ini. Sekolah ini dibangun atas prakarsa seorang guru yang berasal dari Jawa yang bernama Amiruddin Mahmud[16]. Adapun tenaga pengajar yang mendidik di sekolah ini didominasi oleh guru dari Medan dan Padang, mengingat masih sangat terbatasnya tenaga pengajar yang berasal dari Makassar pada khususnya, dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
“Menurut Dahlan Siwa, Sekoalah ini dibangun atau didiriak dengan tujuan untuk menghindari sentimen-sentimen suku atau etnis yang mulai marak saling berlomba meperlihatkan eksistensi diawal kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan mampunya kita mendirikan sekolah sendiri di Sulawesi Selatan, itu menunjukkan bahwa kita pemuda di Sulawesi Selatan juga mampu memperlihatkan eksistensi dalam mengisi kemerdekaan. Adapun sekolah ini yang ditonjolkan adalah olahraganya, karena sudah mulai banyak berdiri sekolah-sekolah umum, sedang pelajar yang diterima sekolah ini ialah yang diutamakan  adalah mereka yang memilki bakat dibidang olahraga, jadi tidak semua murid juga diterima hanya yang memilki bakat saja”[17]. Ramang sendiri yang terkenal sebagai pemain sepakbola legendaris di Sulawesi Selatan pernah sekolah sepakbola bersama Francio. Sekolah ini kemudian ditutup karena pendiri tidak mampu mendapatkan donatur sehingga tidak bisa mengatasi masalah keuangan yang melilit. Adapun bekas SMOA dan STO tadi sekarang dijadikan area pembangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)No 29 Mattoanging[18].”

Dari dua sekolah yang pernah berdiri di Makassar, khususnya di wilayah kampung Mattoanging tersebut dapat kita jadikan alasan bahwa dalam perkembangan awal kota Makassar, Kampung Mattoanging memilki peranan yang cukup penting tidak hanya dalam menunjang perkembangan kota akan tetapi juga dari aspek pendidikan.
4.3. 2      Pasar Senggol Makassar
Suatu kota hadir dan berkembang dengan ciri dan aspek-aspek pembeda dari daerah-daerah atau kota-kota lainnya. Dari segi negara, Indonesia hadir dengan monasnya, Malaysia dengan Gedung Petronas kembarnya, dan begitu dengan negara-negara sterusnya. Dari skala lebih kecil dalam negara Indonesia sendiri, beberapa kota hadir dengan bangunan bangunan, adat, budaya tersendiri. Dalam hal bangunan, Palembang misalnya hadir dengan Jembata Amperanya, Jakarta dengan Monasnya, Bandung dengan Gedung Satenya, serta Makassar sendiri dengan Pantai Losarinya.
Dalam kajian ini penulis mencoba mengangkat hal yang menjadi pembeda yang terdapat di keluraha Mattoanging dengan wilayah-wilayah lainnya. Dalam hal ini penulis mencoba melihat Pasar Senggol dan Stadion Mattoanging yang menjadi sesuatu yang yang beda dan menarik dari objek kajian ini, terutama dilihat dari kehadiran dan dinamika sosial perkotaan yang juga turut hadir di dalamnya.
Pasar senggol yang cukup terkenal dan sering dikunjungi oleh para muda-mudi dan pelancong yang berkunjung ke Makassar merupakan salah satu pasar malam terbesar yang berada di Kelurahan Mattoanging. Penulis sengaja pilih dan masukkan pasar yang hanya digelar pada sore dan malam hari ini sebagai suatu kajian atau tinjauan fakta sebagai suatuhal yang menjadi pembeda Kelurahan Mattoanging dari kelurahan-kelurahan lainnya yang ada di Makassar ini. Pasar senggol ini sendiri sudah ada sejak tahun 1962, dimana pasar ini pada awalnya diperuntukkan hanya untuk para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya yang diperoleh dari hasil melaut di Selat Makassar[19].
Pasar ikan tadi hanya berlangsung selama tiga tahun. Pada tahun 1965 pasar         ini dibongkar dimasa pemerintahan Walikota Makassar H.M Daeng Patompo, Walikota Makassar waktu itu membongkarnya. Para penjual ikan dan pedagang kaki lima ini kemudaian dipindahkan di dua tempat berdua. Sebagian dipindahkan ke Jln. Hati Mulia, sebagian lainnya dipindahkan ke Jln. Hos Cokro Aminoto. Pada tahun 1966, para penjual ikan dan pedagang kaki lima ini digeser lagi ke sisi utara Stadion Mattoanging. Pada tahun 1967, mereka kemudian dipindahkan lagi ke Jln. Merpati. Di tempat ini mereka sempat bertahan cukup lama, sekitar sembilan tahun.

Pada tahun 1976, para pedagang pindah lagi Jln. Cendrawasih, depan Stadion       Mattoanging. Di depan markas kesebelasan PSM itu, mereka bertahan selama dua     tahun lantaran pada tahun 1978 dipindahkan lagi ke Jln. Samratulangi. Keberadaan mereka bermasalah karena tidak mendapat persetujuan dari Komite Olahraga             Nasional Indonesia (KONI) Sulawesi Selatan. Mereka mendesak pasar ini dipindahkan arena diaanggap mengganggu aktivitas olahraga di Stadion Mattoanging. Pada tahun 1980, mereka dikembalikan ke bagian selatan lokasi awal, sekitar Pantai Losari, tepatnya di depan rumah jabatan Walikota sekarang. Lokasi baru ini ternyata tidak mampu menampung seluruh penjual ikan dan pedagang kaki lima itu. Atas usulan Nur Salim, Pemda yang kesulitan mencari lokasi akhirnya memindahkan mereka ke depan Pasar Sambungjawa di Jln. Hati Murni, Kelurah Mattoanging Kecamatan Mariso. Sama halnya dengan para penjual ikan dan pedagang kaki lima yang di Jln. HOS Cokroaminoto tadi juga selalu berpindah             pindah. Meski lokasi mereka selalu berpindah-pindah nama dan ciri khas mereka tetap sama, orang masih mengenalnya sebagai pasar senggol[20].

            Dari data di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya pasar senggol ini adalah suatu pasar yang bermasalah dalam hal ini illegal. Meski demikian pasar ini masih tetap bertahan sampai sekarang, bahkan salah seorang pagawai kelurahan Mattoanging mengaggap bahwa pasar senggol ini sangat mustahil untuk ditertibkan[21]. Nama pasar ini sendiri diambil dari sempitnya lahan dari pasar ini sendiri. Karena sempitnya wilayah pasar ini, maka pengunjung yang datang berkunjung harus bersenggolan, bahkan tak sedikit dari pengunjung khususnya pria yang sengaja bersenggolan dengan lawan jenisnya.  Pasar senggol Makassar ini, buka mulai pkl. 16.00 wita sampai Pkl. 22.00 Wita, dengan berbagai barang dagangan, mulai dari, iakan, sayuran, pakaian, perlengkapan keluarga, hingga kue-kue tradisional Bugis Makassar, serta macam-macam gorengan.
            Pasar senggol ini, menjadi cerita dan warna tersendiri dalam dinamika sosial masyarakat dan perkotaan di Kota Makassar. Keberadaannya mungkin tidak diharapkan oleh Pemerintah Kota Makassar karena mengganggu fasilitas umum yakni jalan, serta seringkali menimbulkan masalah kemacetan di tengah Kota Makassar, namun demikian keberadaan Pasar Senggol ini menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan bagi para penjual ikan dan pedagang kaki lima untuk mengantungkan nasib, di samping itu bagi masyarakat golongan bawah juga merasa  terbantu  karena dijadikan tempat berbelanja berbagai jenis barang dan kebutuhas sekaligus sebagai tempat untuk jalan-jalan sekaligus berwisata malam.  


4.3.3        Stadion Mattoanging dan Dinamika Sosial Masyarakat
Stadion Andi Mattalata yang terletak di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan adalah home base (kandang) PSM Makassar, sebuah klub sepakbola yang biasa dijuluki “Juku Eja”. Lokasi stadion ini dulunya merupakan area perkebunan milik Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1957, area perkebunan tersebut kemudian diubah menjadi stadion olahraga atas prakarsa Andi Mattalata, mantan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin. Pada awal berdirinya, stadion ini diberi nama Stadion Mattoanging. Kata “Mattoanging” berasal dari bahasa Makassar, yaitu mattoa yang berarti melirik atau menengok, dan anging yang berarti angin. Dinamakan demikian karena di sekitar stadion merupakan daerah pantai tempat berlabuhnya perahu Pinisi (perahu khas suku Bugis-Makassar). Pada saat-saat tertentu, para awak kapal Pinisi tersebut biasanya mattoanging atau “menengok angin” untuk mengetahui keadaan cuaca di laut sebelum melakukan pelayaran. Belakangan, nama stadion ini kemudian diganti menjadi Stadion Andi Mattalata untuk menyesuaikan nama pemrakarsanya[22].
Sebelum Stadion Utama Glora Bung Karno dibangun pada 1962, Stadion Andi Mattalata disebut-sebut sebagai stadion terbesar di Indonesia dan sering digunakan untuk menggelar pertandingan sepakbola internasional. Stadion Mattoanging atau sekarang ini dikenal dengan nama stadion  A. Mattalatta merupakan satu-satunya stadion yang berada di Kota Makassar.  Stadion ini hadir  sebagai suatu follow up dan keseriusan  dari Pemerintah Kota Makassar dan Provinsi sulawesi Selatan dalam upaya persiapan menghadapi Pekan Olahraga Nasional PON IV tahun 1957. Olehnya itu pada tahun yang sama pula diputuskanlah untuk membangun  stadion Mattoanging ini, disamping belum tersedianya fasilitas olehraga yang representatif dan memenuhi syarat yang disarankanoleh Komite Olimpiade Indonesia Pusat[23]. Adapun penentuan atau penunjukan Kota Makassar sebagai tuan rumah pada PON ke IV ialah dari hasil rpat panitia besar PON II yang diselenggarakan oleh KOI pada tahun 1951.
Keputusan pembangunan stadion Mattoanging disepakati pada suatu pertemuan yang dihadiri oleh sekitar 500 tokoh masyarakat yang dioundang baik dari kalangan sipil, maupun militer, termasuk pengusaha, pimpinan oraganisasi, olahraga dengan agenda pembentukan Panitia Pembangunan Stadion Makassar. Rapat ini sendiri diadakan di lobby gubernuran yang difasilitasi oleh gubernur Sulawesi, Raden Sudiro pada tahun 1952.  Dalam rapat tersebut terbentuklah suatu Yayasan Stadion Makassar (YSM), serta disepakatinya formatur/ susunan pengurus YSM[24]. Adapun beberapa nama yang dikukuhkan sebagai pengurus pertama YSM ialah dr. Soemarno Sastroatmojo, Juhannes Lumbertus Manusama, Sompy Adolf Salden, Mappakaja Daeng Sidjalling, dan Ince Saleh Daeng Tompo, setelah sebelumnya nama-nama tersebut menjadi penghadap untuk pembuatan notaris pembentukan Stadion Mattoanging Makassar, disebutkan pula dalam penghadapan pada notaris telah menerima uang sebesar Rp. 9.000, - dari Panitia PON Daerah Sulawesi Selatan sebagai dana awal[25].
Setelah pengurus YSM terbentuk, diadakanlah survey lokasi ke tempat-tempat yang dianggap layak untuk lokasi pembangunan Stadion Makassar pada bulan Maret 1952. Dalam upaya inilah kita dapat melihat bagaimana dinamika sosial yang terjadi beriringan rencana upaya pembangunan Stadion Mattoanging. Pada awalnya tim survey bersama Walikota Makassar pada waktu itu dijabat oleh Sampara Daeng Lili mendatangi lokasi eks peternakan sapi dan perusahaan susu milik warga negara Belanda yang disewakan kepada warga negara Jerman yang bernama Zwenziger untuk jangka waktu selama tujuh puluh tahun. Pada masa pendudukan Jepang, lokasi ini dijadikan sebagai markas pertahanan udara. Lokasi ini memiliki luas sekitar 50 hektar dengan batas-batas sebagai berikut: disebalah utara berbatasan dengan Jalan Kasuari, di sebelah timur berbatasan dengan Goa-Weg (sekarang jalan DR. Ratulangi), sebelah selatan berebatasan dengan Mattoanging –Weg (sekarang Jalan Kakatua), dan sebelah barat berbatasan dengan Samboengdjawa-Weg (sekarang Jalan Cendrawasih), ternyata telah diserobot dan dibanguni gubuk-gubuk liar oleh masyarakat, beberapa diantaranya merupakan eks pejuang kemerdekaan.  Eks pejuang kemerdekaan inilah yang memimpin penyerobot lainnya untuk menentang rombongan dari YSM, serta mempertahankan tanah yang mereka serobot dengan parang, linggis, sekopang, alu, badik, dan apa saja yang bisa digunakan untuk melawan. Melihat tersebut rombongan YSM pun akhirnya mebatalkan survey itu dan menunggu momentum yang lebih tepat[26].
            Ada banyak masalah yang dihadapi oleh pengurus YSM dan Panitia PON Provinsi Sulawesi Selatan, diantaranya perombakan pengurus YSM, masalah pendanaan, dan terlebih lagi masalah penyerobotan lahan yang direncanakan untuk pembengunan Stadion Makassar. Untuk masalah penyerobotan dan penolakan pembangunan stadion di wilayah Kampung Mattoanging ini, berbagai cara dilakukan oleh pengurus YSM dan pemerintah Makassar sendiri akan tetapi belum juga mengasilkan suatu kabar baik, termasuk dalam survey satu tahun stelahnya yakni pada tahun 1953, dibawah pimpinan Letkol Kretarto yang juga tidak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya pengurus YSM beberapa kali melakukan gonta ganti lokasi pembangunan. Kali ini lokasi yang dipilih ialah tanah kompleks eks Zend Station (Komp. PTT) yang berada satu lokasi dengan asrama Induk Koprasi Kopra Indonesia (IKKI) dan PU yang didiami oleh sekitar 60 kepala keluarga. Letak kompleks ini tidak jauh dari Mesjid Mariso dibagian utara stadion. Selanjutnya keterlibatan langsung A. Mattalatta dalam upaya pembangunan ini adalah langkah strategis yang diambil oleh pengurus YSM, khususnya untuk mengatasi para penyerobot;
Pada tahun 1957, A. Mattalatta bersama Mas Junus Daeng Mile, mengadakan kunjungan dan peninjauan pada lokasi bekas peternakan sapi dan perusahaan susu Boerderij dan Malkerij Frisisan yang telah didapati bangunan gubuk liar. Setelah rombongan A. Mattalatta tiba di tempat tersebut, keluarlah dari dalam gubuk-gubuk itu para penyerobot-penyerobot tanah dengan bersenjatakan parang, linggis, sekopang, alu, badik, dan apa saja yang bisa digunakan untuk melawan. Begitu salah satu dari mereka yang merupakan eks pejuang kemerdekaan melihat dan mengenal A. Mattalatta, senjatanya pun disembunyikan. Kemudian A. Mattalatta mendekati salah seorang dan menegur dalam bahasa makassar:”Hei, lanubunoa’?”( hai, engkau mau bunuh saya?), dan mereka menjawab, “anggapai nakikkana kamma Karaeng, sa’dang kisuroa’ mange lamate andelakkangi Balandayya natena nakisitangnga-tangga, apa seng punna lanisurojaki’ ampilari tompaka anne.”( Mengapa bapak mengatakan demikian? Sedangkan bapak suruh daya untuk kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu-ragu, apalagi kalau mau disuruh saja meninggalkan tempat ini)[27].
“Saya tidak akan mengusir kalian dari tempat ini, akan tetapi saya akan membantu kalian dan memberikan uang untuk membangun rumah yang lebih baik, di tempat yang sudah disiapkan oleh para staf saya. Ada 60 truk baru yang siap membantu mengangkat barang-barang kalian. Saya berdosa kalau saya biarkan kalian tinggal di gubuk-gubuk tidak sehat ini, padahal saya mampu membantu kalian sebagaimana janji kita satu sama lainnya dalam perjuangan perang kemerdekaan.[28]
            Setelah melakukan negosiasi pengurus YSM yang dipimpin oleh A. Mattalatta dengan para penduduk penyerobot, akhirnya lokasi tersebut dapat dikosongkan dengan bersedianya para penyerobot tersbut, bahkan masyarakat tersebut menyerbu A. Mattalatta untuk menyampaikan rasa terimah kasih dengan caranya masing-masing. Setelah melakukan pengososngan, akhirnya pembangunan stadion Mattoanging dapat dimulai dibawah pimpinan langsung A. Mattalatta. Peresmian pembukaan pintu Stadiaon Mattoanging dilakukan oleh Nyonya Gubernur Sulawesi, A. Pangerang Pettarani pada bulan Juli 1957 dan pembukaan prasasti oleh Panglima KDMSST Letkol. A. Mattalatta.
            Stadion Mattoanging dibangun mulain tanggal 17 April 1957 dan selesai pada tanggal 21 September 1957, dengan berbagai dinamika sosial yang terjadi di Kampung Mattoanging dan sekitarnya. Penyerobotan, perlawanan, dan upaya mempertahankan lokasi bekas peternakan sapi dan perusahaan susu Boerderij dan Malkerij Frisisan yang telah mereka jadikan sebagai tempat pembangunan gubuk adalah cerita dinamika sosial sndiri yang sangat menarik dalam mengiringi pembangunan Stadion Mattoanging.  
4.3.       Pertumbuhan Penduduk Dan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat.
            Laju perkembangan suatu kota akan selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk dalam kota itu pula. Sama halnya dengan kota Makassar yang seiring bergantinya zaman juga memperlihatkan laju perkembangan kota yang jgua begitu luar biasa. Berbicara mengenai pertumbuhan penduduk, Makassar memang dari dulu sudah sangat ramai saat masih berbentu kerajaan, dimana kehadiran Pelabuhan Makassar secara tidak langsung mengundang kedatangan para saudagar serta penduduk untuk dating bahkan menetap di Makassar. Hal ini terlihat dari terdapatnya beberapa perkampungan khusus untuk penduduk dari luar yang bertransmigrasi ke Makassar, misalnya Kampung Melayu bagi orang-orang Melayu, Kampung Ende bagi orang-orang ende, dan seterusnya. Di zaman Jepang dengan adanya romusha mengakibatkan datangnya gelombang transmigrasi khususnya dari Jawa cukup besar. Khusus di Kampung Mattoanging, orang-orang Jawa yang dating bias dikatakan cukup besar, dan hal itu menjadikan Kelurahan Mattoanging saat ini terdapat orang-orang dari Jawa dalam jumlah yang cukup besar.
            Sebelum menjadi hunian layak, Kelurahan Mattoanging pada awalnya terdiri dari lahan-lahan kososng bekas-bekas pabrik dizaman Belanda, misalnya perumahan Pesona Dahliah, daerah yang dijadikan perumahan tersebut merupakan bekas pabrik penggilingan. Sama haknya dengan perumahan yang sekarang beradad diantara Jln. Hati Mulya, Jln. Mawar, Jln, Hati Murni dan Jaln Nuri, sebelumnya merupakan lahan kososng yang dijadikan penguburan massal para tentara Jepang, dan warga pribumi saat diserang oleh sekutu pada tahun 1945-1950-an sebelum akhirnya direlokasi oleh Pemerintah Kota Makassar pada awal tahun 1960-an[29].
            Selanjutnya data kependudukan di Kelurahan Mattoanging pada tahun 1971, penduduk Mattoanging mencapai 3.721 jiwa dan selama 20 tahun lebih tepatnya ditahun 1996  mengalami peningkatan jumlah yakni menjadi 4.254-Jiwa[30]. Selanjutnya kurang lebih 5 tahun kemudian tepatnya ditahun 2001 penduduk di Kelurah Mattoanging tercatat sebanyak 5.275 Jiwa[31] . berikut data penduduk Kelurahan Mattoanging dalam beberapa tahun terakhir.
Tabel 3
Data Penduduk Kelurahan Mattoanging Beberapa Tahun Terakhir
No
Tahun
Jumlah Penduduk (Jiwa)

1971
3.121

1973
3.495

1975
3.856

1996
4.254

2010
3.341
Sumber:  Inventari Arsip Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar
            Bila diperhatikan keadaan pertumbuhan penduduk di Kelurahan Mattoanging pada tabel di atas, dapat kita pahami bahwa pertumbuhan penduduk di Kelurahan ini sejak tahun 1970-an hingga tahun 2000-an mengalami pertumbuhan yang cukup besar. Selama kurang lebih 30 tahun, penduduk di Kelurahan Mattoanging mengalami pertumbuhan sebanyak 1000 Jiwa lebih. Hal ini disebabkan oleh faktor perkembangan Kota Makassar yang mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1970-an. Di samping itu kehadiran transmigran dari Jawa, khususnya yang berprofesi sebagai tentara yang bermarkas di Kelurahan Mattoanging menjadi faktor lain dari perkembangan penduduk.
Selanjutnya berbicara mengenai kehidupan sosial, khususnya berbicara mengenai agama dan kepercayaan, penduduk Mattoanging mayoritas menganut Agama Islam, sama halnya dengan daerah-daerah lain memang dimana Agama Islam merupakan agama mayoritas, apalagi negara kita terkenal sebagai negara yang terbesak penduduknya memeluk Agama Islam. Adapun beberapa diantara penduduk atau sebahagian kecil penduduk Mattoanging memeluk Agama masing-masing Kristen, Khatolik, Budha, dan Khonhuchu. Adapun Agama Kristen menjadi agama kedua yang terbanyak dianut oleh Masyarakat atau penduduk Kelurahan Mattoanging dengan 75 jiwa. Penduduk yang menganut Agama Kristen ini adalah beberapa penduduk keturunan Tionghoa, Toraja, Maluku, dan Menado. Agama Khatolik menjadi agama yang juga cukp banyak penganutnya dengan jumlah penganut sebanyak 70 jiwa, tidak terlalu jauh beda dengan penganut Agama Kristen. Sama halnya dengan penganut Kristen, penduduk yang menganut Agama Khatolik adalah penduduk yang berasal dari Tionghoa, Toraja, Maluku, dan Menado. Agama Hindu dengan 35 jiwa, Budha dengan 32 jiwa, dan Khonhucu 24 jiwa. Penduduk yang menganut ketiga agama ini adalah penduduk yang berasal dari Tionghoa dan Bali. Adapun data rinci mengenai penduduk berdasarkan agama yang dianut adalah sebagai berikut.
Tabel. 4
Penduduk Kelurahan Mattoanging Dilihat Dari Agama Yang Dianut
Tahun 1975
No
Agama
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Islam
3631
2
Kristen
75
3
Khatolik
70
4
Hindu
35
5
Budha
32
6
Konghuchu
13

Total
3.667
Sumber:  Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar
            Yang terakhir ialah mengenai taraf ekonomi penduduk Kelurahan Mattoanging. Secara umum dengan label penduduk perkotaan, masyarakat Mattoanging dapat digolongkan dalam penduduk dengan taraf ekonomi menengah ke atas, meski tidak bisa kita pungkiri bahwa tetap masih ada masyarakat yang hidup dengan taraf ekonomi lemah. Pekerjaan atau profesi yang dilakoni oleh penduduk Mattoanging cukup beragam, mulai dari Pegawai Negri Sipil, Pegawai Swasta, Wirausaha, TNI/POLRI, Buruh/ Kuli, dan lain-lain. Adapun rincian profesi penduduk Kelurahan mattoanging dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. 5
Penduduk Kelurahan Mattoanging Dilihat Dari Profesi atau Pekerjaan
 Tahun 1975
No
Pekerjaan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Pegawai Negeri Sipil
384
2
Pegawai Swasta
276
3
Wirausaha
176
4
TNI/POLRI
141
5
Tidak Memilki Pekerjaan
150
6
Pelajar
1257
7
Buruh/ Kuli
219
8
Lain-lain
369

Total
2.972
Sumber:  Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar
Tabel di atas menunjukkan bahwa penduduk Mattoanging dengan profesi jelas lebih banyak bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil dengan jumlah penduduk sebanyak  384 jiwa. Adapun Pegawai Negri Sipil, kemudian terbai diberbagai instansi pemerintahan kota dan proponsi, kesehatan, dan guru. Selanjutnya profesi sebagai pegawai swasta adalah profesi kedua terbanyak yang dilakoni oleh penduduk Mattoanging. Adapun penduduk yang berprofesi sebagai wirausaha yang juga cukup tinggi lebih banyak didominasi oleh pengusaha Tionghoa dengan skala usaha yang besar, selebihnya penduduk pribumi yang menjadi wirausaha kecil-kecilan seperti menjual kebutuhan rumah tangga dan makanan.






[1]J. W. Schoorl, Modernisiasi  Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakarta: PT. Gramedia 1980), hlm. 1. 
[2] Purnawan Basudoro, Dua  Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 5. 
[3] Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit Ombak),2004), hlm. 1.

[4]Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984), hlm. 10.

[5] Edward L. Poelinggomang, op.cit., hlm. 89.

[6] Ibid. hlm.13-47.

[7] Sayang sekali penulis tidak mampu menemukan dan memaparkan semua nama-nama Kepala Kampung yang pernah menjabat di Kampung Mattoanging, dikarenakan tidak adanya data dan informan yang dapat dijadikan bahan untuk menemukan hal tersebut. 

[8]Arsip Pemerintah Kotamadya Makassar, Kabag Pemerintahan, Pembentukan dan Perkembangan Tahunan Pemerintahan di Kota Makassar, terbitan tahun 2011, hlm. 23.

[9] Ibid, hlm. 7.
[10] Arsip Kelurahan Mattoanging, Berita Acara Musyawarah Pembahasan Batas-Batas Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan Buyang, 1992.

[11] Kol. H. Muhammad. Daeng Patompo adalah Walikota Makassar yang menjabat pada periode 1962-1976.

[12] Andi Mulya Sultani, Perkembangan Kotamadya Ujung Pandang1971-1999, (Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, 2008), hlm. 27. 

[13] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.
[14]Nasaruddin Koro, Ayam Jantan Kota Daeng, (Jakarta: Penerbit Ajuara Raya Pasar Minggu No. 8 B, 2006), hlm. 231.
[15]Wawancara: Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.
[16]Amiruddin Mahmud adalah seorang guru dari Jawa yang mendirikan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA), sekaligus Kepala Sekolah tersebut.

[17] Ibid.

[18] Ibid.
[19] Anwar J Rahman, Dkk, Makassar Nol Kilometer, (Makassar: Penerbit Ininnawa 2011), hlm. 243.

            [20] Ibid. hlm. 243-244.

            [21] Pegawai kelurahan yang dimaksud adalah Bpk. Paharuddin, Sekertaris Kelurahan, 56 Tahun.

[22] Dokumen Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan, tampa tahun, Asal-Usul Compleks Sarana Olahraga mattoanging dan Terbentuknya Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS), hlm. 4.

[23] Nasaruddin, Stadion Mattoanging Makassar 1957-1982. (Makassar: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, fakultas Sastra Universitas hasanuddin, 2008), hlm. 34.

[24] Ibid.

[25]Arsip Kotamadya Makassar, Akte Pendirian Yayasan Stadion Makassar, Nomor 342, hlm. 1.
[26] Nasaruddin, op cit., hlm. 34.


[27] Ibid. hlm. 41.

[28] Ibid. hlm. 42.

[29] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.

            [30]Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging, Profil Kelurahan tahun 1996, hlm. 2.

            [31] Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging, Profil Kelurahan tahun 2001, hlm. 2.