BAB IV
Perubahan
Status dan Perkembangan Kampung Mattoanging 1950- 1975
4.1.
Pendahuluan
Seiring
hadirnya modernisasi sebagai suatu gejala umum pada masyarakat dan telah
terjadi hampir di seluruh muka bumi ini, maka semua bangsa terlibat dalam
proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada
abad ke-18 yang disebut refolusi industri[1]. Modernisme
dalam suatu masyarakat itu sendiri merupakan suatu proses transformasi, suatu
perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Satu aspek yang bisa dilihat
misalnya dari aspek ekonomi, modernisme berarti tumbuhnya kompleks industri
yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang
sarana peroduksi diadakan secara massal. Modernisme sebagai gejala umum ternyata
tidak hanya terlihat dinegara-negara yang maju, akan tetapi di negara-negara
sedang berkembang, pengaruh modernisme sudah menjadi suatu hal yang biasa. Di
Indonesia sendiri modernisasi dianggap oleh beberapa ahli sejarah perkotaan terjadi
sejak tahu 1870[2].
Sejak periode ini sebagian kota-kota dikembangkan menjadi kota moderen dengan
segala fasilitas pelengkapnya.
Apa yang coba dijelaskan diatas menjadi indikator
keberadaan kota dewasa ini khususnya di Makassar. Perkembangan yang begitu
pesat dan prestisius Kota Makassar dewasa ini menjadikan terjadinya banyak
perubahan diberbagai aspek sosial dan perkotaan, dan perubahan tersebut telah
dijelaskan dipembahasan sebelumnya. Selanjutnya, perubahan yang terjadi di
kelurahan Mattoanging yang sebelumnya adalah Kampung Mattoanging. Tidak bisa
dipungkiri bahwa perubahan Kota Makassar menjadikan seluruh aspek pemerintahan,
sosial dan perkotaan juga ikut berubah dan berkembang, temasuk di Kelurahan
Mattoanging yang akan diurai oleh penulis dibawah ini.
Dalam pembahasan bab yang keempat ini penulis akan
menjelaskan atau mengurai mengenai inti dari pembahasan kajian ini, yakni
perubahan dan perkembangan yang terjadi di Kampung Mattoanging khususnya di
tahun 1950 sampai tahun 1975. Sesuai dengan judul bab ini, ada dua pokok
bahasan. Yang pertama ialah perubahan status Kampung Mattoanging dalam hal ini
perubahan Kampung Mattoanging manjadi suatu kelurahan. Yang kedua penulis akan
melihat serta menguraikan perkembangan yang terjadi di Kampung Mattoanging atau
setelah menjadi kelurahan.
Khusus mengenai perubahan status, penulis hanya
menjelaskan, bagaimana peroses serta kapan Mattoanging menjadi suatu kelurahan.
Masalah perkembangan adalah masalah yang cukup banyak dijadikan penulis sebagai
kajian di bab ini. Perkembangan dalam hal sarana dan prasarana, pendidikan,
olah raga, serta fasilitas dan ruang publik perkotaan adalah aspek-aspek yang
akan diurai dalam pembahsan ini. Tak lupa pertumbuhan penduduk serta dinamika
sosial ekonomi yang selalu menjadi cerminan, dan tingkat kemapanan suatu
wilayah dalam perkembangannya.
4.2 Dari
Kampung Sampai Kelurahan: Perubahan Status Kampung Mattoanging
Suatu
kota tidak hadir dengan sendiri secara instan dan sekejap begitu saja. Suatu
kota pasti melalui perkembangan yang bertahap sesuai perkembangan zaman yang
dilauinya. Dalam bab pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana kemudian
Kota Makassar lahir sebagai suatu kota metropoloitan yang moderen seperti itu.
Sesuai dengan tema pembahasan yang menempatkan Kampung Mattoanging sebagi
tinjauan spasial pembahasan, penulis akan memberi gambaran bagaimana
perkembangan serta proses wilayah ini dari yang masih berbentuk Kampung di
bawah administrasi Districk Mariso dalam Pemerintahan Kolonial Belanda.
Perlu
disinggung sedikit kembali bahwa sejak tahun 1906 kota Makassar telah menjadi
suatu wilayah administrasi Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut bagian
Pemerintahan Makassar (Afdeeling Makassar)[3].
Sejak tahun tersebut bisa dikatakan Makassar telah berkembang mejadi kota yang
modern akan tetapi tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan
ciri kota kolonial akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah
yang dipenuhi oleh perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan
kelompok-kelompok pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang
penataannya telah memenuhi syarat perkotaan[4].
Dalam Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah pemerintahan Bagian Pemerintahan
Makassar dibagi atas lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros,
Pangkajene, Gowa Barat (West Gowa), dan Takalar[5].
Sebelum
berubah status menjadi suatu kelurahan, Kampung Mattoanging sendiri berada
dalam distrik Mariso bersama Kampung Dadi, Kampung Mamajang, Kampung Parang,
Kampung Sambungjawa, Kampung Jongayya, Kampung Balangboddong, Kampung
Kokolojia, Kampung Kunjungmae, Kampung Mario, Kampung Panambungang, Kampung
Lette, Kampung Mariso, Kampung Mattoanging, Kampung Buyang, Kampung Bontorannu[6].
Sebagai suatu kampung sama halnya dengan kampung-kampung lain, Kampung
Mattoanging juga memiliki kepala kampung sendiri yang bertugas untuk
memeilihara kekerabatan dalam kampung tersebut yang disebut Matoa. Matoa ini berada dibawah kepala
Districk. Diantara para Matoa yang pernah menjabat diantaranya, Matoa
Baharuddin Dg Tola yang menjabat di akhir-akhir masa pemerintahan Belanda[7].
Pada
tahun 1961 Kampung Mattoanging kemudian menjadi suatu kelurahan bersamaan
dengan pembentukan Kecamatan Mariso sebagai upaya penata-kelolaan kota
Makassar.
“Pembentukan
ini berdasar pada terbitan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang
pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi terbentuklah 27 Daerah Tingkat II
yang terdiri dari 2 kotapraja yaitu
Kotapraja Makassar dan Kotapraja Pare – pare, dan 25 Daerah Tingkat II
Lainnnya. Sebagai tindak lanjut dari terbentuknya Kotapraja Makassar selang 2
(dua) tahun kemudian Kecamatan Mariso dibentuk beserta kelurahan yang berada
dalam administrasi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara
Nomor: 1100 dan 2067 A Tahun 1961 yang menetapkan:
1.
Membubarkan
Distrik bentk lama di daerah-daerah II dalam Wilayah Tingkat I Sulawesi
Selatan.
2.
Membentuk
struktur pemerintahan baru yang disebut Kecamatan di Daerah-daerah Tingkat II
dalam Wilayah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara.
Kecamatan
Mariso termasuk dalam 8 (delapan) Kecamatan pangkal daro Kotapraja Makassar
yang dibentuk pada saat lahirnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan
Tenggara Nomor: 1100 dan 2067 A Tahun 1961[8].”
Setelah menjadi suatu kelurahan,
Kelurahan Mattoanging khususnya pada saat ini memiliki luas 3,8 Km
persegi.
Luas tersebut sebenarnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan luas Kampung
Mattoanging saat masih menjadi kampung dizaman pemerintahan Belanda. Dimana seperti
yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya bahwa kampung Mattoanging
meliputi wilayah yang sangat luas yakni, sebelah utara Kampung Mattoanging
berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat berbatasan dengan Kampung
Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Parang dibatasi oleh Kampung
Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Bonto Rannu[9].
Saat pertama kali ditetapkan sebagai
suatu kelurahan, Mattoanging memiliki wilayah yang cukup luas yakni mencakup
wilayah Kelurahan Mattoanging pada saat ini ditambah dengan wilayah Kelurahan
Buyang. Akan tetapi dalam perkembangannya dalam hal pemerinthan, pada tahun
1992 Kelurahan Mattoanging pernah dimekarkan menjadi dua kelurahan, yakni
Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan Buyang[10].
Pada
masa awal pembentukan hingga akhir tahun 1960-an Kelurahan Mattoanging belum
mengalami perkembangan yang begitu signifikan dalam pembangunan dan penataan,
serta pemenuhan insfraktuktur kota. Perubahan itu baru dirasakan dan terlihat
dizaman kepemimpinan walikota Kolonel. H. Muhammad Daeng Patompo di tahun 70-an[11].
Dimasa pemerintahan H.M. Daeng Patompo, kota Makassar mengalami perkembangan
yang begitu pesat baik dari segi pembangunan, maupun kepadatan penduduk. Hal
ini memaksa adanya perluasan batas wilayah kota Makassar. Dalam perluasan
tersebut, kota Makassar mengambil sebagian wilayah Kabupaten Maros dan juga
Kabupaten Gowa. Meski tidak mudah, akan tetapi batas wilayah kota Makassar
akhirnya mampu dilakukan perluasan hingga akhirnya diterbitkannya Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 1971 tentang perubahan batas-batas daerah kota Makassar
dan Kabupaten-kabupaten Gowa, Maros, dan Pangkajene dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Selatansan dilakukan perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang[12].
Setelah
perluasan wilayah tersebut, Walikota Makassar H.M Daeng Patompo melakukan
pembangunan-pembangunan infrastruktur fasilitas perkotaan seperti jalan dan
perbaikan fasilitas pemerintahan. Untuk di Kelurahan Mattoanging sendiri adanya
perbaikan jalan, sarana kesehatan, dan pendidikan dirasakan warga sangat
membantu, terlebih lagi dengan dibangunnya tanggul Patompo yang berhasil
mengurangi bahaya banjir yang selalu melanda Kelurahan Mattoanging dan
Kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Mariso[13].
Selama
menjadi kelurahan, Mattoanging telah dipimpin oleh sekitar sembilan Lurah.
Adapun nama-nama lurah yang mampu ditelusuri oleh penulis dapat dilihat tabel
dibawah ini:
Tabel 1
Jumlah Kepala Kelurahan (Lurah)
Mattoanging Beserta Masa Jabatannya Terhitung Dari Tahun 1973
No
|
Nama
Lurah Mattoanging
|
Masa
Jabatan
|
1
|
Drs. Usman Nassa
|
1973-1977
|
2
|
Drs. Yunus Rahman
|
1977-1982
|
3
|
Rusman Abu Thalib
|
1982-1986
|
4
|
Drs. Arsyad Rajab
|
1986-1994
|
5
|
Drs. Muhtar Kasim
|
1994-2000
|
6
|
Drs. Arsyad Rajab
|
2000-2003
|
7
|
Rustan Latif S.Sos
|
2003-2004
|
8
|
A.
Mappatoto
|
2004-2006
|
9
|
Basir S.Sos
|
2006-Sekarang
|
Sumber: Kelurahan Mattoanging
Kecamatan Mariso Makassar.
Untuk menunjang kehidupan
masyarakat, pemerintah telah beupaya melakukan dan membuat sejumlah kebijakan
pembangunan sarana dan prasarana guna mempermudah masyarakat dalam mengakses
segala kebutuhan mendasar. Dalam hal sarana dan prasarana untuk masyarakat
Kelurahan Mattoanging, baik dari segi pendidikan, kesehatan serta infrastruktur
publik lainnya bisa dikatan ketersediaannya cukup memadai jika diukur
keberadaan sampai saat ini sudah lebih 50 tahun menjadi suatu kelurahan.
Berikut beberapa sarana dan prasarana yang tersedia bagi masyarakat pada tahun
1970-an di Kelurahan Mattoanging:
Tabel. 2
Sarana Dan Prasarana Di Kelurahan
Mattoanging Kecamatan Mariso
Kotamadya Makassar Tahun 1975
No
|
Sarana
dan Prasarana
|
Jumlah
(Unit)
|
1
|
Sarana Peribadatan (Mesjid)
|
1
|
2
|
Sekolah Dasar
|
3
|
3
|
Posyandu
|
1
|
4
|
Kantor Lurah
|
1
|
5
|
Apotik
|
1
|
Sumber: Kelurahan Mattoanging
Kecamatan Mariso Makassar.
Dari
tabel di atas dapat kita lihat bahwa secara umum masyarakat yang bermukim di
Kelurahan Mattoanging dapat dengan mudah mengakses sarana dan prasarana baik
itu akses kesehatan, pendidikan, dan akses publik lainnya. Disamping itu
keberadaan Kelurahan Mattoanging berada di pusat kota Makassar menjadikan akses
yang lebih besar seperti rumah sakit umum mapun swasta, pusat perbelanjaan,
rekreasi dan akses lainnya berada tidak
jauh dari Kelurahan Mattoanging, misalnya
pusat perbelanjaan Mall Ratulangi, Rumah Sakit Umum Haji, Pasar Sentral,
Hotel, serta Pantai Losari, dan Tanjung Bunga. Selanjutnya ketersediaan
beberapa perumahan untuk hunian menjadikan kehidupan masyarakat bisa dikatakan
sudah pada taraf kelayakan perkotaan, meski tetap masih adanya beberapa
masyarakat yang hidup dengan ekonomi rendah.
4.3
Perkembangan Kampung Mattoanging
Setelah Kampung Mattoanging berubah
status menjadi suatu kelurahan, barulah terlihat beberapa perkembangan yang
cukup mendasar. Setelah kemerdekaan Indonesia yang dicapai pada tahun 1945, dan
pemrintahan dijalankan sendiri, terlihat beberapa kebijakan yang berupaya untuk
peningkatan teraf manusia khususnya pendidikan. Selain itu, khususnya beberapa
tahun setelah kemerdekaan atau tepatnya ditahun 1960-an sampai 1970-an,
perkembangan dalam hal infrastruktur dan fasilitas kota terjadi bagitu pesat di
Kota Makassar dan Kampung Mattoanging yang telah menjadi suatu kelurahan.
Perkembangan itu akan diurai penulis di bawah ini.
4.3.1 Pendidikan Dan Perjuangan di Mattoanging
Kampung
Mattoanging menjadi salah satu daerah dimana terdapat sekolah-sekolah khususnya
dimasa awal kemerdekaan Indonesia. selain sebagai suatu tempat untuk menuntut
ilmu, sekolah yang berdiri di Kampung Mattoanging umunya juga berfungsi sebagai
wadah perlawanan dan perjuangan, khususnya dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan dan juga sebagai upaya eksistensi awal pemuda dalam mengisi
kemerdekaan yang baru diperoleh. Seperti yang kita pahami bersama bahwa sekolah
yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kebanyakan hanya diperuntukkan
kepada anak-anak pejabat Pemerintah Belanda, tentara, dan bangsawan pribumi.
Hal ini tentu saja tidak menguntungkan ataupun merugikan anak atau putra-putra
bangsa yang tidak lahir dari kalangan bangsawan ataupun pejabat dipemrintahan
Kolonial Belanda.
Keterbatasan pendidikan bagi
putra-putri pribumi secara umum terus berlanjut baik disaat penjajahan Belanda
hingga kedatangan dan pendudukan Jepang di Makassar. Seperti yang kita ketahui
bahwa Jepang hanya terfokus pada pendidikan perang baik dalam Heiho, maupun
Saynendan bagi para pemuda dengan tujuan untuk membantu mereka dalam
menghadapai musuh sekutu. Meskipun demeikian, setidaknya dari pendidikan
kemiliteran yang diajarkan oleh tentara Jepang, putra-putri bangsa dalam hal
ini di Makassar memiliki keterampilan yang kemudian diterapkan dalam usaha
kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia
tercapai, barulah pemerintah mulai mengusahakan adanya pendidikan yang
diperuntukan untuk putra-putri bangsa secara umum dan merata. Ditahun 1950an
tepatnya pada masa pemerintahan Ratulangi daerah Kampung Mattoangin pernah
didirikan suatu sekolah yang disebut Perguruan Nasional. Sekolah ini didirikan
agar sekolah Belanda bukanlah satu-satunya tempat menuntut ilmu. Sekolah ini
banyak diikuti oleh pelajar- pelajar yang kemudian beberapa diantaranya menjadi
pejuang. Para pejuang yang dimaksud diantaranya Mongongsidi, tidak heran jika
sekolah ini kemudian disebut-sebut sebagai sekolah perjuangan[14].
Bukan
hanya sekolah perjuangan yang sempat hadir di Kampung Mattoanging ini, akan
tetapi di wilayah ini juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA)
dan Sekolah Tinggi Olahraga(STO) pada tahun 1954-1958[15].
Meski periodenya tidak begitu lama bahkan bisa dikatakan sebentar saja akan
tetapi kehadiran SMOA dan STO ini memiliki cerita sejarah sendiri khususnya
dalam kaitan perjuangan pemuda Sulawesi Selatan diperiode awal pasca
kemerdekaan ini. Sekolah ini dibangun atas prakarsa seorang guru yang berasal dari
Jawa yang bernama Amiruddin Mahmud[16].
Adapun tenaga pengajar yang mendidik di sekolah ini didominasi oleh guru dari
Medan dan Padang, mengingat masih sangat terbatasnya tenaga pengajar yang
berasal dari Makassar pada khususnya, dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
“Menurut
Dahlan Siwa, Sekoalah ini dibangun atau didiriak dengan tujuan untuk
menghindari sentimen-sentimen suku atau etnis yang mulai marak saling berlomba
meperlihatkan eksistensi diawal kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan mampunya
kita mendirikan sekolah sendiri di Sulawesi Selatan, itu menunjukkan bahwa kita
pemuda di Sulawesi Selatan juga mampu memperlihatkan eksistensi dalam mengisi
kemerdekaan. Adapun sekolah ini yang ditonjolkan adalah olahraganya, karena
sudah mulai banyak berdiri sekolah-sekolah umum, sedang pelajar yang diterima
sekolah ini ialah yang diutamakan adalah
mereka yang memilki bakat dibidang olahraga, jadi tidak semua murid juga
diterima hanya yang memilki bakat saja”[17].
Ramang sendiri yang terkenal sebagai pemain sepakbola legendaris di Sulawesi
Selatan pernah sekolah sepakbola bersama Francio. Sekolah ini kemudian ditutup
karena pendiri tidak mampu mendapatkan donatur sehingga tidak bisa mengatasi
masalah keuangan yang melilit. Adapun bekas SMOA dan STO tadi sekarang dijadikan
area pembangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)No 29 Mattoanging[18].”
Dari
dua sekolah yang pernah berdiri di Makassar, khususnya di wilayah kampung
Mattoanging tersebut dapat kita jadikan alasan bahwa dalam perkembangan awal
kota Makassar, Kampung Mattoanging memilki peranan yang cukup penting tidak
hanya dalam menunjang perkembangan kota akan tetapi juga dari aspek pendidikan.
4.3.
2 Pasar Senggol Makassar
Suatu
kota hadir dan berkembang dengan ciri dan aspek-aspek pembeda dari daerah-daerah
atau kota-kota lainnya. Dari segi negara, Indonesia hadir dengan monasnya,
Malaysia dengan Gedung Petronas kembarnya, dan begitu dengan negara-negara
sterusnya. Dari skala lebih kecil dalam negara Indonesia sendiri, beberapa kota
hadir dengan bangunan bangunan, adat, budaya tersendiri. Dalam hal bangunan,
Palembang misalnya hadir dengan Jembata Amperanya, Jakarta dengan Monasnya,
Bandung dengan Gedung Satenya, serta Makassar sendiri dengan Pantai Losarinya.
Dalam
kajian ini penulis mencoba mengangkat hal yang menjadi pembeda yang terdapat di
keluraha Mattoanging dengan wilayah-wilayah lainnya. Dalam hal ini penulis
mencoba melihat Pasar Senggol dan Stadion Mattoanging yang menjadi sesuatu yang
yang beda dan menarik dari objek kajian ini, terutama dilihat dari kehadiran
dan dinamika sosial perkotaan yang juga turut hadir di dalamnya.
Pasar
senggol yang cukup
terkenal dan sering dikunjungi oleh para muda-mudi dan pelancong yang
berkunjung ke Makassar merupakan salah satu pasar malam terbesar yang berada di
Kelurahan
Mattoanging. Penulis
sengaja pilih
dan masukkan pasar yang hanya digelar pada sore dan malam hari ini sebagai
suatu kajian atau tinjauan fakta sebagai
suatuhal yang menjadi pembeda Kelurahan Mattoanging dari
kelurahan-kelurahan lainnya yang ada di Makassar ini. Pasar senggol ini sendiri
sudah ada sejak tahun 1962, dimana pasar ini pada awalnya diperuntukkan hanya
untuk para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya yang diperoleh dari hasil
melaut di Selat Makassar[19].
“Pasar ikan tadi hanya berlangsung selama tiga
tahun. Pada tahun 1965 pasar ini dibongkar dimasa pemerintahan Walikota Makassar H.M
Daeng Patompo, Walikota Makassar waktu itu
membongkarnya. Para penjual ikan dan pedagang kaki lima ini kemudaian
dipindahkan di dua tempat berdua. Sebagian dipindahkan ke Jln. Hati Mulia,
sebagian lainnya dipindahkan ke Jln. Hos Cokro Aminoto. Pada tahun 1966, para
penjual ikan dan pedagang kaki lima ini digeser lagi ke sisi utara Stadion
Mattoanging. Pada tahun 1967, mereka kemudian dipindahkan lagi ke Jln. Merpati.
Di tempat ini mereka sempat bertahan cukup lama, sekitar sembilan tahun.
Pada tahun 1976, para pedagang
pindah lagi Jln. Cendrawasih, depan Stadion Mattoanging.
Di depan markas kesebelasan PSM itu, mereka bertahan selama dua tahun lantaran pada tahun 1978 dipindahkan
lagi ke Jln. Samratulangi. Keberadaan mereka bermasalah karena tidak mendapat
persetujuan dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulawesi Selatan. Mereka
mendesak pasar ini dipindahkan arena
diaanggap mengganggu aktivitas olahraga di Stadion Mattoanging. Pada tahun
1980, mereka dikembalikan ke bagian selatan lokasi awal, sekitar Pantai Losari,
tepatnya di depan rumah jabatan Walikota sekarang. Lokasi baru ini ternyata
tidak mampu menampung seluruh penjual ikan dan pedagang kaki lima itu. Atas
usulan Nur Salim, Pemda yang kesulitan mencari lokasi akhirnya memindahkan
mereka ke depan Pasar Sambungjawa di Jln. Hati Murni, Kelurah Mattoanging
Kecamatan Mariso. Sama halnya dengan para penjual ikan dan pedagang kaki lima
yang di Jln. HOS Cokroaminoto tadi juga selalu berpindah pindah. Meski lokasi mereka selalu
berpindah-pindah nama dan ciri khas mereka tetap sama, orang masih mengenalnya
sebagai pasar senggol[20].
Dari data di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya pasar
senggol ini adalah suatu pasar yang bermasalah dalam hal ini illegal. Meski
demikian pasar ini masih tetap bertahan sampai sekarang, bahkan salah seorang
pagawai kelurahan Mattoanging mengaggap bahwa pasar senggol ini sangat mustahil
untuk ditertibkan[21].
Nama pasar ini sendiri diambil dari sempitnya lahan dari pasar ini sendiri.
Karena sempitnya wilayah pasar ini, maka pengunjung yang datang berkunjung
harus bersenggolan, bahkan tak sedikit dari pengunjung khususnya pria yang
sengaja bersenggolan dengan lawan jenisnya.
Pasar senggol Makassar ini, buka mulai pkl. 16.00 wita sampai Pkl. 22.00
Wita, dengan berbagai barang dagangan, mulai dari, iakan, sayuran, pakaian,
perlengkapan keluarga, hingga kue-kue tradisional Bugis Makassar, serta
macam-macam gorengan.
Pasar senggol ini, menjadi cerita dan warna tersendiri
dalam dinamika sosial masyarakat dan perkotaan di Kota Makassar. Keberadaannya
mungkin tidak diharapkan oleh Pemerintah Kota Makassar karena mengganggu
fasilitas umum yakni jalan, serta seringkali menimbulkan masalah kemacetan di
tengah Kota Makassar, namun demikian keberadaan Pasar Senggol ini menjadi suatu
hal yang sangat dibutuhkan bagi para penjual ikan dan pedagang kaki lima untuk
mengantungkan nasib, di samping itu bagi masyarakat golongan bawah juga
merasa terbantu karena dijadikan tempat berbelanja berbagai
jenis barang dan kebutuhas sekaligus sebagai tempat untuk jalan-jalan sekaligus
berwisata malam.
4.3.3
Stadion
Mattoanging dan Dinamika Sosial Masyarakat
Stadion Andi Mattalata yang terletak
di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan adalah home base (kandang)
PSM Makassar, sebuah klub sepakbola yang biasa dijuluki “Juku Eja”. Lokasi
stadion ini dulunya merupakan area perkebunan milik Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1957, area perkebunan tersebut kemudian diubah menjadi stadion
olahraga atas prakarsa Andi Mattalata, mantan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin.
Pada awal berdirinya, stadion ini diberi nama Stadion Mattoanging. Kata
“Mattoanging” berasal dari bahasa Makassar, yaitu mattoa yang berarti
melirik atau menengok, dan anging yang berarti angin. Dinamakan demikian
karena di sekitar stadion merupakan daerah pantai tempat berlabuhnya perahu
Pinisi (perahu khas suku Bugis-Makassar). Pada saat-saat tertentu, para awak
kapal Pinisi tersebut biasanya mattoanging atau “menengok angin” untuk
mengetahui keadaan cuaca di laut sebelum melakukan pelayaran. Belakangan, nama
stadion ini kemudian diganti menjadi Stadion Andi Mattalata untuk menyesuaikan
nama pemrakarsanya[22].
Sebelum
Stadion Utama Glora Bung Karno dibangun pada 1962, Stadion Andi Mattalata
disebut-sebut sebagai stadion terbesar di Indonesia dan sering digunakan untuk
menggelar pertandingan sepakbola internasional. Stadion
Mattoanging atau sekarang ini dikenal dengan nama stadion A. Mattalatta merupakan satu-satunya stadion
yang berada di Kota Makassar. Stadion
ini hadir sebagai suatu follow up dan
keseriusan dari Pemerintah Kota Makassar
dan Provinsi sulawesi Selatan dalam upaya persiapan menghadapi Pekan Olahraga
Nasional PON IV tahun 1957. Olehnya itu pada tahun yang sama pula diputuskanlah
untuk membangun stadion Mattoanging ini,
disamping belum tersedianya fasilitas olehraga yang representatif dan memenuhi
syarat yang disarankanoleh Komite Olimpiade Indonesia Pusat[23].
Adapun penentuan atau penunjukan Kota Makassar sebagai tuan rumah pada PON ke
IV ialah dari hasil rpat panitia besar PON II yang diselenggarakan oleh KOI
pada tahun 1951.
Keputusan
pembangunan stadion Mattoanging disepakati pada suatu pertemuan yang dihadiri
oleh sekitar 500 tokoh masyarakat yang dioundang baik dari kalangan sipil,
maupun militer, termasuk pengusaha, pimpinan oraganisasi, olahraga dengan
agenda pembentukan Panitia Pembangunan Stadion Makassar. Rapat ini sendiri
diadakan di lobby gubernuran yang difasilitasi oleh gubernur Sulawesi, Raden
Sudiro pada tahun 1952. Dalam rapat
tersebut terbentuklah suatu Yayasan Stadion Makassar (YSM), serta disepakatinya
formatur/ susunan pengurus YSM[24].
Adapun beberapa nama yang dikukuhkan sebagai pengurus pertama YSM ialah dr.
Soemarno Sastroatmojo, Juhannes Lumbertus Manusama, Sompy Adolf Salden,
Mappakaja Daeng Sidjalling, dan Ince Saleh Daeng Tompo, setelah sebelumnya
nama-nama tersebut menjadi penghadap untuk pembuatan notaris pembentukan
Stadion Mattoanging Makassar, disebutkan pula dalam penghadapan pada notaris
telah menerima uang sebesar Rp. 9.000, - dari Panitia PON Daerah Sulawesi
Selatan sebagai dana awal[25].
Setelah
pengurus YSM terbentuk, diadakanlah survey lokasi ke tempat-tempat yang
dianggap layak untuk lokasi pembangunan Stadion Makassar pada bulan Maret 1952.
Dalam upaya inilah kita dapat melihat bagaimana dinamika sosial yang terjadi
beriringan rencana upaya pembangunan Stadion Mattoanging. Pada awalnya tim
survey bersama Walikota Makassar pada waktu itu dijabat oleh Sampara Daeng Lili
mendatangi lokasi eks peternakan sapi dan perusahaan susu milik warga negara
Belanda yang disewakan kepada warga negara Jerman yang bernama Zwenziger untuk
jangka waktu selama tujuh puluh tahun. Pada masa pendudukan Jepang, lokasi ini
dijadikan sebagai markas pertahanan udara. Lokasi ini memiliki luas sekitar 50
hektar dengan batas-batas sebagai berikut: disebalah utara berbatasan dengan
Jalan Kasuari, di sebelah timur berbatasan dengan Goa-Weg (sekarang jalan DR.
Ratulangi), sebelah selatan berebatasan dengan Mattoanging –Weg (sekarang Jalan
Kakatua), dan sebelah barat berbatasan dengan Samboengdjawa-Weg (sekarang Jalan
Cendrawasih), ternyata telah diserobot dan dibanguni gubuk-gubuk liar oleh
masyarakat, beberapa diantaranya merupakan eks pejuang kemerdekaan. Eks pejuang kemerdekaan inilah yang memimpin
penyerobot lainnya untuk menentang rombongan dari YSM, serta mempertahankan
tanah yang mereka serobot dengan parang, linggis, sekopang, alu, badik, dan apa
saja yang bisa digunakan untuk melawan. Melihat tersebut rombongan YSM pun
akhirnya mebatalkan survey itu dan menunggu momentum yang lebih tepat[26].
Ada
banyak masalah yang dihadapi oleh pengurus YSM dan Panitia PON Provinsi
Sulawesi Selatan, diantaranya perombakan pengurus YSM, masalah pendanaan, dan
terlebih lagi masalah penyerobotan lahan yang direncanakan untuk pembengunan
Stadion Makassar. Untuk masalah penyerobotan dan penolakan pembangunan stadion
di wilayah Kampung Mattoanging ini, berbagai cara dilakukan oleh pengurus YSM
dan pemerintah Makassar sendiri akan tetapi belum juga mengasilkan suatu kabar
baik, termasuk dalam survey satu tahun stelahnya yakni pada tahun 1953, dibawah
pimpinan Letkol Kretarto yang juga tidak membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya
pengurus YSM beberapa kali melakukan gonta ganti lokasi pembangunan. Kali ini
lokasi yang dipilih ialah tanah kompleks eks Zend Station (Komp. PTT) yang
berada satu lokasi dengan asrama Induk Koprasi Kopra Indonesia (IKKI) dan PU
yang didiami oleh sekitar 60 kepala keluarga. Letak kompleks ini tidak jauh
dari Mesjid Mariso dibagian utara stadion. Selanjutnya keterlibatan langsung A.
Mattalatta dalam upaya pembangunan ini adalah langkah strategis yang diambil
oleh pengurus YSM, khususnya untuk mengatasi para penyerobot;
Pada
tahun 1957, A. Mattalatta bersama Mas Junus Daeng Mile, mengadakan kunjungan
dan peninjauan pada lokasi bekas peternakan sapi dan perusahaan susu Boerderij
dan Malkerij Frisisan yang telah didapati bangunan gubuk liar. Setelah
rombongan A. Mattalatta tiba di tempat tersebut, keluarlah dari dalam
gubuk-gubuk itu para penyerobot-penyerobot tanah dengan bersenjatakan parang,
linggis, sekopang, alu, badik, dan apa saja yang bisa digunakan untuk melawan.
Begitu salah satu dari mereka yang merupakan eks pejuang kemerdekaan melihat
dan mengenal A. Mattalatta, senjatanya pun disembunyikan. Kemudian A.
Mattalatta mendekati salah seorang dan menegur dalam bahasa makassar:”Hei, lanubunoa’?”( hai, engkau mau bunuh
saya?), dan mereka menjawab, “anggapai
nakikkana kamma Karaeng, sa’dang kisuroa’ mange lamate andelakkangi Balandayya
natena nakisitangnga-tangga, apa seng punna lanisurojaki’ ampilari tompaka
anne.”( Mengapa bapak mengatakan demikian? Sedangkan bapak suruh daya untuk
kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu-ragu, apalagi kalau mau
disuruh saja meninggalkan tempat ini)[27].
“Saya tidak akan
mengusir kalian dari tempat ini, akan tetapi saya akan membantu kalian dan
memberikan uang untuk membangun rumah yang lebih baik, di tempat yang sudah
disiapkan oleh para staf saya. Ada 60 truk baru yang siap membantu mengangkat
barang-barang kalian. Saya berdosa kalau saya biarkan kalian tinggal di
gubuk-gubuk tidak sehat ini, padahal saya mampu membantu kalian sebagaimana
janji kita satu sama lainnya dalam perjuangan perang kemerdekaan.[28]”
Setelah melakukan negosiasi pengurus
YSM yang dipimpin oleh A. Mattalatta dengan para penduduk penyerobot, akhirnya
lokasi tersebut dapat dikosongkan dengan bersedianya para penyerobot tersbut,
bahkan masyarakat tersebut menyerbu A. Mattalatta untuk menyampaikan rasa
terimah kasih dengan caranya masing-masing. Setelah melakukan pengososngan,
akhirnya pembangunan stadion Mattoanging dapat dimulai dibawah pimpinan
langsung A. Mattalatta. Peresmian pembukaan pintu Stadiaon Mattoanging
dilakukan oleh Nyonya Gubernur Sulawesi, A. Pangerang Pettarani pada bulan Juli
1957 dan pembukaan prasasti oleh Panglima KDMSST Letkol. A. Mattalatta.
Stadion Mattoanging dibangun mulain
tanggal 17 April 1957 dan selesai pada tanggal 21 September 1957, dengan
berbagai dinamika sosial yang terjadi di Kampung Mattoanging dan sekitarnya.
Penyerobotan, perlawanan, dan upaya mempertahankan lokasi bekas peternakan sapi
dan perusahaan susu Boerderij dan Malkerij Frisisan yang telah mereka jadikan
sebagai tempat pembangunan gubuk adalah cerita dinamika sosial sndiri yang
sangat menarik dalam mengiringi pembangunan Stadion Mattoanging.
4.3. Pertumbuhan
Penduduk Dan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat.
Laju perkembangan suatu kota
akan selalu berbanding lurus
dengan pertumbuhan penduduk dalam kota itu pula. Sama halnya dengan kota
Makassar yang seiring bergantinya zaman juga memperlihatkan laju perkembangan
kota yang jgua begitu luar biasa. Berbicara mengenai pertumbuhan penduduk,
Makassar memang dari dulu sudah sangat ramai saat masih berbentu kerajaan,
dimana kehadiran Pelabuhan Makassar secara tidak langsung mengundang kedatangan
para saudagar serta penduduk untuk dating bahkan menetap di Makassar. Hal ini
terlihat dari terdapatnya beberapa perkampungan khusus untuk penduduk dari luar
yang bertransmigrasi ke Makassar, misalnya Kampung Melayu bagi orang-orang
Melayu, Kampung Ende bagi orang-orang ende, dan seterusnya. Di zaman Jepang
dengan adanya romusha mengakibatkan datangnya gelombang transmigrasi khususnya
dari Jawa cukup besar. Khusus di Kampung Mattoanging, orang-orang Jawa yang
dating bias dikatakan cukup besar, dan hal itu menjadikan Kelurahan Mattoanging
saat ini terdapat orang-orang dari Jawa dalam jumlah yang cukup besar.
Sebelum
menjadi hunian layak, Kelurahan Mattoanging pada awalnya terdiri dari
lahan-lahan kososng bekas-bekas pabrik dizaman Belanda, misalnya perumahan
Pesona Dahliah, daerah yang dijadikan perumahan tersebut merupakan bekas pabrik
penggilingan. Sama haknya dengan perumahan yang sekarang beradad diantara Jln.
Hati Mulya, Jln. Mawar, Jln, Hati Murni dan Jaln Nuri, sebelumnya merupakan
lahan kososng yang dijadikan penguburan massal para tentara Jepang, dan warga
pribumi saat diserang oleh sekutu pada tahun 1945-1950-an sebelum akhirnya
direlokasi oleh Pemerintah Kota Makassar pada awal tahun 1960-an[29].
Selanjutnya data kependudukan di Kelurahan Mattoanging pada tahun
1971, penduduk Mattoanging mencapai 3.721 jiwa dan selama 20 tahun lebih
tepatnya ditahun 1996 mengalami
peningkatan jumlah yakni menjadi 4.254-Jiwa[30].
Selanjutnya kurang lebih 5 tahun kemudian tepatnya ditahun 2001 penduduk di
Kelurah Mattoanging tercatat sebanyak 5.275 Jiwa[31] .
berikut data penduduk Kelurahan Mattoanging dalam beberapa tahun terakhir.
Tabel 3
Data Penduduk Kelurahan
Mattoanging Beberapa Tahun Terakhir
No
|
Tahun
|
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
|
|
1971
|
3.121
|
|
1973
|
3.495
|
|
1975
|
3.856
|
|
1996
|
4.254
|
|
2010
|
3.341
|
Sumber: Inventari Arsip Kelurahan Mattoanging
Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar
Bila
diperhatikan keadaan pertumbuhan penduduk di Kelurahan Mattoanging pada tabel
di atas, dapat kita pahami bahwa pertumbuhan penduduk di Kelurahan ini sejak
tahun 1970-an hingga tahun 2000-an mengalami pertumbuhan yang cukup besar.
Selama kurang lebih 30 tahun, penduduk di Kelurahan Mattoanging mengalami
pertumbuhan sebanyak 1000 Jiwa lebih. Hal ini disebabkan oleh faktor
perkembangan Kota Makassar yang mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun
1970-an. Di samping itu kehadiran transmigran dari Jawa, khususnya yang
berprofesi sebagai tentara yang bermarkas di Kelurahan Mattoanging menjadi
faktor lain dari perkembangan penduduk.
Selanjutnya
berbicara mengenai kehidupan sosial, khususnya berbicara mengenai agama dan
kepercayaan, penduduk Mattoanging mayoritas menganut Agama Islam, sama halnya
dengan daerah-daerah lain memang dimana Agama Islam merupakan agama mayoritas,
apalagi negara kita terkenal sebagai negara yang terbesak penduduknya memeluk
Agama Islam. Adapun beberapa diantara penduduk atau sebahagian kecil penduduk
Mattoanging memeluk Agama masing-masing Kristen, Khatolik, Budha, dan
Khonhuchu. Adapun Agama Kristen menjadi agama kedua yang terbanyak dianut oleh
Masyarakat atau penduduk Kelurahan Mattoanging dengan 75 jiwa. Penduduk yang
menganut Agama Kristen ini adalah beberapa penduduk keturunan Tionghoa, Toraja,
Maluku, dan Menado. Agama Khatolik menjadi agama yang juga cukp banyak
penganutnya dengan jumlah penganut sebanyak 70 jiwa, tidak terlalu jauh beda
dengan penganut Agama Kristen. Sama halnya dengan penganut Kristen, penduduk
yang menganut Agama Khatolik adalah penduduk yang berasal dari Tionghoa,
Toraja, Maluku, dan Menado. Agama Hindu dengan 35 jiwa, Budha dengan 32 jiwa,
dan Khonhucu 24 jiwa. Penduduk yang menganut ketiga agama ini adalah penduduk
yang berasal dari Tionghoa dan Bali. Adapun data rinci mengenai penduduk
berdasarkan agama yang dianut adalah sebagai berikut.
Tabel. 4
Penduduk Kelurahan Mattoanging Dilihat Dari Agama
Yang Dianut
Tahun 1975
No
|
Agama
|
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
|
1
|
Islam
|
3631
|
2
|
Kristen
|
75
|
3
|
Khatolik
|
70
|
4
|
Hindu
|
35
|
5
|
Budha
|
32
|
6
|
Konghuchu
|
13
|
|
Total
|
3.667
|
Sumber:
Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Kotamadya
Makassar
Yang terakhir ialah mengenai taraf
ekonomi penduduk Kelurahan Mattoanging. Secara umum dengan label penduduk
perkotaan, masyarakat Mattoanging dapat digolongkan dalam penduduk dengan taraf
ekonomi menengah ke atas, meski tidak bisa kita pungkiri bahwa tetap masih ada
masyarakat yang hidup dengan taraf ekonomi lemah. Pekerjaan atau profesi yang
dilakoni oleh penduduk Mattoanging cukup beragam, mulai dari Pegawai Negri
Sipil, Pegawai Swasta, Wirausaha, TNI/POLRI, Buruh/ Kuli, dan lain-lain. Adapun
rincian profesi penduduk Kelurahan mattoanging dapat kita lihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel. 5
Penduduk Kelurahan Mattoanging Dilihat Dari Profesi
atau Pekerjaan
Tahun 1975
No
|
Pekerjaan
|
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
|
1
|
Pegawai
Negeri Sipil
|
384
|
2
|
Pegawai
Swasta
|
276
|
3
|
Wirausaha
|
176
|
4
|
TNI/POLRI
|
141
|
5
|
Tidak
Memilki Pekerjaan
|
150
|
6
|
Pelajar
|
1257
|
7
|
Buruh/
Kuli
|
219
|
8
|
Lain-lain
|
369
|
|
Total
|
2.972
|
Sumber:
Inventaris Arsip Kelurahan Mattoanging Kecamatan Mariso Kotamadya
Makassar
Tabel
di atas menunjukkan bahwa penduduk Mattoanging dengan profesi jelas lebih
banyak bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil dengan jumlah penduduk sebanyak 384 jiwa. Adapun Pegawai Negri Sipil,
kemudian terbai diberbagai instansi pemerintahan kota dan proponsi, kesehatan,
dan guru. Selanjutnya profesi sebagai pegawai swasta adalah profesi kedua
terbanyak yang dilakoni oleh penduduk Mattoanging. Adapun penduduk yang
berprofesi sebagai wirausaha yang juga cukup tinggi lebih banyak didominasi
oleh pengusaha Tionghoa dengan skala usaha yang besar, selebihnya penduduk
pribumi yang menjadi wirausaha kecil-kecilan seperti menjual kebutuhan rumah
tangga dan makanan.
[1]J.
W. Schoorl, Modernisiasi Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang, (Jakarta: PT. Gramedia 1980), hlm. 1.
[2]
Purnawan Basudoro, Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak
Kolonial Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 5.
[3] Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan
Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit
Ombak),2004), hlm. 1.
[4]Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso,
Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah
Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta:
Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai
Tradisional, 1984), hlm. 10.
[7] Sayang sekali penulis tidak mampu
menemukan dan memaparkan semua nama-nama Kepala Kampung yang pernah menjabat di
Kampung Mattoanging, dikarenakan tidak adanya data dan informan yang dapat
dijadikan bahan untuk menemukan hal tersebut.
[8]Arsip Pemerintah Kotamadya
Makassar, Kabag Pemerintahan, Pembentukan
dan Perkembangan Tahunan Pemerintahan di Kota Makassar, terbitan tahun
2011, hlm. 23.
[9]
Ibid, hlm. 7.
[10] Arsip Kelurahan Mattoanging, Berita Acara Musyawarah Pembahasan Batas-Batas Kelurahan Mattoanging
dan Kelurahan Buyang, 1992.
[12] Andi Mulya Sultani, Perkembangan
Kotamadya Ujung Pandang1971-1999, (Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas
Hasanuddin, 2008), hlm. 27.
[14]Nasaruddin Koro,
Ayam Jantan Kota Daeng, (Jakarta:
Penerbit Ajuara Raya Pasar Minggu No. 8 B, 2006), hlm. 231.
[15]Wawancara:
Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.
[16]Amiruddin Mahmud adalah seorang
guru dari Jawa yang mendirikan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA), sekaligus
Kepala Sekolah tersebut.
[19] Anwar J Rahman, Dkk, Makassar Nol Kilometer, (Makassar: Penerbit Ininnawa 2011), hlm.
243.
[22] Dokumen Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan, tampa tahun, Asal-Usul Compleks Sarana Olahraga
mattoanging dan Terbentuknya Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS), hlm. 4.
[23] Nasaruddin, Stadion
Mattoanging Makassar 1957-1982. (Makassar: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah,
fakultas Sastra Universitas hasanuddin, 2008), hlm. 34.
[25]Arsip Kotamadya Makassar, Akte
Pendirian Yayasan Stadion Makassar, Nomor 342, hlm. 1.