Selasa, 16 Juli 2013


BAB II
MAKASSAR DAN KAMPUNG MATTOANGING
DALAM LINTAS SEJARAH

Add caption
Makassar adalah sebuah kota yang tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui proses sejarahnya yang relatif panjang. Sepanjang sejarahnya, kota itu mengalami proses perkembangan dan perubahan baik fisik maupun non-fisik, yang pada tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang. Proses ini pula-lah yang dilalui oleh Makassar sampai menjadi sebuah kota. Kota Makassar tumbuh dari sebuah perjalanan sejarah yang panjang, telah menjadi wilayah penting sejak berkembangnya Kerajaan Gowa, kemudian bertambah penting setelah kedatangan orang-orang Eropa yang ingin berdagang ke wilayah Nusantara khususnya bagian timur yang kemudian menempatkan Makassar sebagai basis mereka. Keberadaannya sebagai kota semakin penting sejak pemerintah kolonial Belanda menempatkannya sebagai markas aktivitasnya, baik untuk keperluan ekonomi dan kemudian posisinya sebagai kota administratif pemerintahan kolonial yang penting[1].
 Pembentukan pemerintahan di daerah ini berdasarkan tradisi lisan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat menunjukkan bahwa tempat yang dipandang sebagai cikal bakal pemukiman pertama adalah tempat di mana ditemukan gaukang. Perkembangan dan pertambahan penduduk  yang dialami oleh kelompok kaum itu menimbulkan persebaran penduduk ke tempat-tempat di sekitar tempat pemukiman dengan membuka perkembangan-perkembangan baru. Kesatuan dari kelompok-kelompok ini yang kemudian merupakan satu kesatuan pemerintahan yang disebut bori. Konfedarasi Gowa, misalnya, muncul dari gabungan antara sembilan wilayah bori yaitu: Tombolo, Lakiung, Parang-parang, Data, agangjenne, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalli[2].  Pada permulaan abad ke-17, Makassar telah merupakan bandar niaga yang terpenting. Hal ini didorong oleh peranan yang dimainkan oleh pelaut-pelaut Makassar dan Bugis dalam dunia pelayaran dan perdagangan rempah-rempah[3].
Makassar merupakan satu dari sekian banyak kota di Indonesia yang mengambil peranan penting dalam periode awal abad ke-20. Dimana Makasaar merupakan salah satu daerah yang masuk dalam upaya penataan kota oleh pemerintah kolonial Belanda dalam Undang Undang Disentralisasi. Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi 1906, Makassar tergolong di dalam 5 kota di Hindia Belanda yang mendapat status Gemeentelijk Resort dan sekaligus dengan Gemeenteraad-nya. Dalam tahun 1917 afdeling Makassar, di bawah Gouvernement Celebes en Onderhoridgeden, meliputi: onderafdeling Makassar, Pangkajene, dan Maros[4]. 
            Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Provinsi Timur Besar. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai pemerintahan kota pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar.
 Sebelumnya kita perlu memahami istilah Makassar berdasarkan aspek historisnya. Istilah Makassar telah ditemukan sejak abad ke-14 di dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada jaman Gadjah Mada (1364) [5]. Makassar sendiri bisa berarti nama tempat yaitu Ibu kota dari Provinsi Sulawesi Selatan saat ini, juga bisa berarti nama suku bangsa yakni Suku Makassar. Istilah perkampungan sendiri mulai dikenal di Kota Makassar sejak pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan aturan perundangan disentralisasi atau penataan wilayah dan pemerintahan daerah. Ada beberapa kampung beserta distrik sendiri yang dibagi oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memudahkan penataan pemerintahan dan wilayah di kota Makassar.
            Makassar terus mengalami perubahan baik di tata pemerintahan, ciri fisik kota, sosial ekonomi, budaya, serta pertumbuhan penduduk, seiring bergantinya masa. Hal yang sangat mendasar dari perubahan Kota Makassar pasca-kolonial ialah Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan serta kota pelabuhan yang penting di bagian timur Indonesia. Luasnya hanya ± 21 km² dengan jumlah penduduk 432.242 jiwa pada tahun 1970, yang berarti mempunyai kepadatan penduduk  sebesar 20.582 jiwa/km. Suatu angka yang relatif terpadat di seluruh dunia pada waktu itu. Untuk itulah diperlukan pemekaran serta perluasan wilayahnya dengan mengambil beberapa Desa dari kabupaten tetangganya yaitu Kabupaten Gowa, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), dan Kabupaten Maros[6].

Setelah diadakan survey baik dari Pemerintah Pusat, maupun dari Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, pada tahun 1970 Walikotamadya Makassar H.M.Dg.Patompo membentuk tim yang bertugas bersama-sama dengan tim dari Propinsi Sulawesi Selatan untuk mengadakan pembicaraan rencana perluasan Kota.  Sejak itulah Makassar kemudian berkembangan menjadi Kota yang moderen, terutama dengan gebrakan pembangunan di masa pemerintahan Patompo.
2.1       Goeografi/ Kewilayahan.
Secara geografis kota Makassar berada di sepanjang pesisir pantai yang diapit oleh dua buah muara sungai yakni sungai Jenneberang dan sungai Tallo, dan kedua sungai  itu berfungsi sebagai jalur lalu-lintas penduduk di pedalaman terutama kalau mereka memasarkan hasil pertaniannya ke kota Makassar. Di tinjau dari geografis kota, Makassar dalam sepanjang sejarahnya mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dibandingkan dengan kota-kota pantai lainnya di Nusantara bagian timur. Perekonomian Makassar ditunjang oleh potensi ekonomi dari pedalaman agraris Sulawesi Selatan serta sumber ekonomi yang berasal dari pelayaran dan perdagangan, sektor yang terakhir ini berkembang terus, yang menyebabkan pelabuhan Makassar semakin penting artinya bagi dunia perekonomian sejak di masa kerajaan sampai dengan masa kemerdekaan. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, Makassar dilengkapi dengan bangunan-bangunan perkantoran, pergudangan, dan perumahan para pejabat pemerintah, selain itu prasarana jalan dan pemukiman penduduk disempurnakan dan diatur menurut tata kota pusat pemerintahan, kota niaga, dan kota pelabuhan.
Tonggak penting Makassar sebagai pusat aktifitas kerajaan yakni setelah Perang Makassar tahun 1669, dimana perang tersebut telah melahirkan kesadaran baru akan pentingnya kesatuan territorial. Setelah perjanjian Bungaya Benteng Ujung Pandang, diambil alih oleh VOC-Belanda, Speelman menduduki benteng itu dan mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam, dan kampung-kampung disekitarnya kemudian disebut Stad Vlaardingen.  Lambat laun sekitaran benteng menjadi ramai oleh kedatangan sekutu-sekutu Belanda, Ujung Pandang menjadi pusat kekuasaan dan Vlaardingen menjadi pusat niaga baru, menggantikan peran yang pernah dimainkan oleh Somba Opu.[7] Sejak saat itu terjadi pemisahan-pemisahan pemukiman, Makassar dibagi tiga bagian; pusat pemerintahan di Fort Rotterdam, pusat perdagangan di “Negory Vlaardingen”, dan pemukiman penduduk (kampung). Pejabat dan pegawai Belanda tinggal dalam benteng dan sekitarnya, sementara pedagang Eropa dan Cina tinggal di pusat perdagangan. Di kampung bermukim petani, nelayan, pedagang, dan pelaut bumiputera. Bangsawan Gowa diijinkan membangun pemukiman di selatan Fort Rotterdam yang dikenal dengan Kampung Beru. Kampung ini kemudian menjadi tempat tinggal kelompok mestizo (peranakan), bumiputera yang beragama Kristen, dan golongan merdeka (budak yang telah dimerdekakan). Mereka umumnya bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun anggota militer. Di wilayah ini, dalam perkembangannya, dibangun kantor pemerintah, pengadilan, tangsi militer, rumah sakit, dan pemukiman pegawai. Ketika Makassar ditata, para saudagar Melayu, Bugis, dan Makassar ditempatkan di kampung Melayu, sebelah utara pusat niaga. Sementara itu penduduk Wajo yang mengungsi ke Makassar diberi tempat di sebelah timur Vlaardingen yang kemudian dikenal dengan kampung Wajo. Orang Cina karena jumlahnya semakin banyak, diberikan pemukiman di bagian utara kampung Wajo, yang disebut kampung Cina. [8] 
Sejak tahun 1906 Kota Makassar telah menjadi suatu wilayah administrasi Pemerintahan Hindia Belanda yang disebut bagian Pemerintahan Makassar (Afdeeling Makassar)[9]. Sejak tahun tersebut bisa dikatakan Makassar telah berkembang mejadi kota yang modern akan tetapi tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan ciri kota kolonial akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah yang dipenuhi oleh perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan kelompok-kelompok pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang penataannya telah memenuhi syarat perkotaan[10]. Dalam Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah pemerintahan Bagian Pemerintahan Makassar dibagi atas lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros, Pangkajene, Gowa Barat (West Gowa), dan Takalar[11].
Selanjutnya sebelum tahun 1921, kota Makassar terbagi atas enam distrik yaitu: Distrik Makassar, Wajo, Melayu, Ende, Ujung Tanah, dan Distrik Mariso[12]. Distrik Makassar, Wajo, Melayu, dan Ende masing-masing diperintah oleh seorang kepala dengan gelar Kapiten, sedangkan Ujung Tanah dan Mariso masing-masing dikepalai oleh seorang Gallarang.[13]. Dari distrik-distrik tersebutlah terdapat sejumlah kampung-kampung. 
Berkaitan dengan kewilayaahan di Makassar dari suatu periode keperiode atau dari masa ke masa yang lain selalu mengalami perubahan bergantung pada kepentingan dan kebutuhan yang ada pada penguasa. Dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950 sudah menyinggung persoalan ini secara garis besar seperti berikut ini:
“Ketika Pemerintahan Jepang, “struktur pemerintahan yang ada tetap dimafaatkan dengan mengambilnya sebagai model misalnya hubungan kerjasama dengan para raja-raja tetap dipelihara. Wilayah administrasi mengenai Afdeeling tetap dipertahankan. Begitu juga dengan pengaturan tata perkotaan dan pemukiman tidak terlalalu mengalami perubahan. Namun di kota Makassar, terjadi suatu peristiwa yag perlu dicatat dalam masa pejajahan Jepang(1942-1945) ini, yaitu dilakukannya “rasionalisasi batas-batas kampong, pada waktu itu akibat perintah Jepang agar pindah rumah maka beberapa kampong digabungkan dan yang lain harus pula dipisahkan. Salah satu informan menjelaskan antara lain bahwa: “perpindahan penduduk yang terjadi pada zaman Jepang yaitu dari distrik Ujung Tanah, antara lain Kampung dari kampong Ujung Tanah dan kampong Tamalabba. Mereka dipindahkan antara lain ke kampong Kalukuanng bagian timur, yaitu disebelah Jalan Pongtiku sekarang, berbatasan dengan Kampung Rappojawa.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17-8-1945, kemudian Negara Indonesia Timur (NIT) terbentuk yang wilayahnya termasuk diantaranya Sulawesi yang ibu kotanya Makassar, perubahan penting yang terjadi berhubungan dengan penataan kota Makassar, ialah keluarnya surat keputusan Residen Celebes Selatan Nomor 427 tanggal 3 Juni 1947 yang menetapkan. “Seleuruh daerah Onderafdeeling Makassar yang berada di daratan (maksudnya di luar daerah pulau-pulaunya) dijadikan kotapraja Makassar. Dalam pemekaran kota Makassar ini, termasuk kampong Tallo, Kalukubodoa, Rappokalling, Rappojawa, dan sebagian dari Kalukuang. Kelima Kampung tersebut termasuk wilayah distrik Ujung Tanah yang sebelumnya belum masuk ke dalam Kotapraja Makassar[14]. 

     Dari kutipan di atas jelas perkampungan adalah suatu element yang sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap sejarah kota Makassar. Selain itu, jelas bahwa perkampungan itu sendiri telah banyak terjadi perubahan-perubahan mendasar terutama untuk penataan serta masyarakat yang mendiaminya.
Untuk Kampung Mattoanging sendiri dilihat dari  pembagian dan penataan wilayah oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan suatu kampung yang berada pada Distrik Mariso sebagai suatu pemukiman yang telah tertata rapi sesuai dengan status Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 1900-an sampai 1950[15]. Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari bahasa Bugis yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[16]. Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Mariso.
Untuk masa sekarang ini, Kampung Mattoanging hanya menyisahkan cerita panjang mengenai perkembangan kota Makassar. Dari segi wilayah misalnya mengalami perubahan yang begitu signifikan, adapun batas-batas kampung Mattoanging untuk saat ini adalah; Sebelah Utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Jln. Haji Bau, Sebelah Barat berbatasan dengan Jln. Cendrawasih, Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Parang dibatasi oleh Jln. Ratulangi, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Mariso atau Jln. Kakatua. Secara administratif pemerintahan Kampung mattoanging termasuk dalam wilayah Kelurahan Mariso, Kecamatan Mariso, Kotamadya Makassar. Kampung Mattoanging saat ini hanyalah tinggal pengakuan bahwa wilayah ini pernah ada dan menjadi wilayah yang memegang peranan penting dalam perkembangan Kota Makassar hingga saat ini.
2.2       Masyarakat dan Persebaran Penduduk.
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup secara bersama dalam suatu tempat dengan aturan-aturan dan cara-cara, serta adat istiadat tertentu. Makassar adalah sebuah kota yang dihuni oleh berbagai macam etnis, suku, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan Kota Makassar sebagi kota metropolitan yang fluralisme[17]. Berkaitan dengan penataan wilayah yang telah disinggung sebelumnya, sejak Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan aturan mengenai penataan wilayah melalui Undang-undang disentralisasi, Kelompok Kelompok Masyarakat yang berbeda beda tadi ditempatkan pada satu lokasi tersendiri berdasarkan suku, etnis. Misalnya orang Melayu ditempatkan di Kampung Melayu, masyarakat Tiong Hoa di Kampung Cina/pecinan, begitu seterusnya.
Masyarakat dari etnis setempat atau suku asli lah yang tidak begitu kentara pemisahannya dalam suatu tempat. Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja tetap hidup berdampingan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kompleks. Hal ini disebabkan karena kelompok-kelompok masyarakat ini telah terjalin bahkan sejak masih Kerajaan Gowa.
Seperti diketahui bahwa Makassar mulai banyak didatangi oleh bangsa asing dan penduduk pulau lain seiring dengan berkembangnya Kerajaan Makassar sebagai kerajaan Maritim dilintas sejarah Indonesia. sekitar tahun 1600, Makassar menjadi bandar naiaga yang sangat penting artinya, karena perdagangan transito yang luas dalam rempah-rempah dan beras yang diperlukan di timur dan barat Nusantara, untuk selanjutnya untuk diperdagangkan ke Eropa dan Cina[18].
Makassar berkembang di masa kerajaan baru di tahun 1600-an akan tetapi mengenal atau berinteraksi dengan dunia luar dalam hal ini penduduk dan masyarakat luar telah tercipta sejak lama. Itu di tandai dengan kedatangan bangsa Portugis masih di masa Karaeng Pattingaloang. Keberhasilan Kerajaan Makassar menjadi bandar niaga telah menarik para pedagang-pedagang asing seperti, Bangsa Eropa, Cina, Gujarat, Melayu, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Makassar telah beragam dan berkontaminasi secara berkala dan berkelanjutan dari masa kerajaan Gowa hingga Makassar berkembang menjadi Kota yang moderen dewasa ini.
Dari adanya persebaran masyarakat tersebut, menjadikan hampir semua wilayah di Makassar dihuni tidak satu etnis, suku, maupun agama seja, melainkan dalam suatu wilayah sangat memungkinkan terjadinya kelompok masyarakat yang beragam asal-usul-nya. Untuk penduduk di Makassar khususnya sejak tahun 1900-1950 mengalami pertumbuhan yang sangat pesat[19].
Perkembangan penduduk atau laju pertambahan penduduk di Kota makassar ini tidak semata-mata karena faktor kelahiran, tetapi juga faktor urbanisasi yakni berpindahnya penduduk dari pedalaman terutama dengan maksud mencari pekerjaan. Sesudah tahn 1930-an, selain mencari pekerjaan beberapa datang untuk melanjutkan pelajaran, ditambah lagi yang datang dari Sulawesi Selatan, diantara mereka adalah bekas romusha-romusha yang didatangkan dan ditinggalkan oleh Jepang[20].
Selanjutnya untuk Kampung Mattoanging sendiri pada awalnya hanya dihuni oleh penduduk yang berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya waktu khususnya saat gelombang transmigrasi dari Jawa pada tahun 1950-an datang ke Makassar. Kampung Mattoanging adalah salah satu tempat yang dijadikan tujuan selain tempat-tempat seperti Sambung Jawa, Lette, Mariso, Kunjung Mae, Bontorannu, bahkan gelombang transmigran ini memiliki tempat khusus orang jawa di daerah Mattoanging bagian barat[21]. Selanjtnya penduduk pendatang di Kampung Mattoanging kembali bertambah sejak dibangunnya asrama tentara pada tahun 1950-an. Kebanyakan dari tentara tersebut berasal Jawa.
Kampung Mattoanging saat kedatangan Jepang atau biasa kita sebut zaman pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Penduduk di kawasan Mattoanging ini juga ikut kembali bertambah seiring kedatangan para romusha dari daerah lain di Indonesia. Kaitannya dengan Mattoanging ialah wilayah ini adalah tempat dimana romusha-romusaha itu bermukim dalam pelaksanaan pembangunan oleh Jepang.
Ekonomi penduduk kampung Mattoanging di masa selanjutnya khususnya di era moderen dewasa ini mata pencaharian penduduk juga semakin beragam, bertani mungkin sudah tidak dijumpai lagi karena memang sudah tidak ada lagi lahan pertanian di wilayah ini, yang ada hanyalah wiraswasta seperti kita lihat di sepanjang jalan cendrawasih berdiri ruku-ruko, pegawai negeri sipil, buruh atau kuli serta peegawai swasta.  
2.3       Sosial Politik Perkotaan
Sebelum membahas mengenai keadaan sosial politik di daerah perkotaan Makassar sebelumnya kita melihat bagaimana keadaan sosial dan politik yang terjadi di wilayah Makassar khususnya saat masih masa kerajaan agar dapat memperoleh perbandingan dari rentetan sejarah yang terjadi dari masa ke masa khususnya masalah sosial dan politik yang pernah terjadi, ini mengingat studi sejarah yang selalu melihat perubahan itu sebagai suatu aspek yang sangat fital dalam pembahasan.
            Di Sulawesi Selatan pada awalnya sangat banyak ditemukan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kerajaan-kerajaanya masing-masing. Berdasarkan tradisi lisan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat menunjukkan bahwa tempat yang dipandang  sebagai cikal bakal pemukiman pertama adalah tempat dimana ditemukan gaukang, yang selanjutnya kesatuan dari kelompok kaum ini yang kemudian merupakan satu kesatuan pemerintahan yang disebut bori[22].  Konfederasi Gowa, misalnya, muncul dari gabungan antara sembilan wilayah bori yaitu: Tombolo, Lakiung, Saotana, Parang-parang, Data, Agangje’ne, Bisei, Sero, dan Kall[23]. Kesembilan bori tersebut pada awalnya merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kerajaan-kerajaanya masing-masing, hingga pada awalnya terjadi situasi politik yang tidak kondusif diantara kerajaan-kerajaan tersebut. Terjadi pertikaian saling menunjukkan kekuatan dan berlomba menjadi yang terdepan diantara mereka. Situasi politik yang tidak kondusif tersebut berlangsung lama sampai munculnya istilah dalam bahasa Makassar “sikanre juku tauwwa”. 
Kehadiran Konfederasi Gowa menjadi satu kerajaan diawali dengan diketumakannya seorang tokoh yang diriwayatkan berasal dari kayangan, seorang putri yang cantik. Tokoh itu yang kemudian dinamai Tu’manurung. Tokoh itu, yang berdasarkan mufakat dari dewan hadat Konfedarasi Gowa, dinobatkan menjadi ratu Kerajaan Gowa. Penobatan dan pengukuhan kedudukan Tu’manurung sebagai ratu Kerajaan Gowa didasarakan atas ikrar (Getting Bicara) yang dicapai antara dewan hadat Kerajaan Gowa dan Tu’manurung[24].
Selanjutnya memasuki masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 diwilayah ini merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda secara seutuhnya dan menyeluruh.  Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, melalui penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan[25].
Setelah itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan setelah penguasaan diseluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah bentuk pemerintahan militer-sipil[26].  Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[27].
Disaat pemerintahan Hindia Belanda inilah keadaan sosial politik di Makassar tidak terlalu kondusif. Meskipun Pemerintah Kolonial mengupayakan penataan pemerintahan, akan tetapi tetap saja ada perjuangan-perjuangan pemberontakan dari sisa-sisa kekuatan dari kelompok-kelompok tertentu yang ada di Makassar[28].
Selanjutnya di masa kemerdekaan, pergolakan sosial politik kembali terjadi di Makassar. Kali ini usaha perbutan kembali kekuasaan dari tentara sekutu NICA pada tahun 1946, serta usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan dimana saat itu Makassar adalah wilayah utama dalam masa Negara Indonesia Timur (NIT), hingga Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950-an. Pada masa itu Makassar menjadi pusat dan tumpuan pemerintahan Indonesia di bagian timur[29]. Dalam situasi ini mobilitas sosial dan politik di Makassar memperlihatkan pergolakan. Yang sangat nampak ialah bagaimana penguasa-penguasa lokal atau tradisional kembali memegang pengaruh penting dalam birokrasi pemerintahan.
Hal berikutnya yang menjadi aspek penting dalam hal sosial dan politik di makassar yaitu kembalik bergejolaknya perlawanan terhadap pemerintahan atau biasa disebut dengan pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan yang sangat penting di masa-masa awal kemerdekaan ialah bagaimana pemberontakan Andi Asis ditahun 1950-an kemudian disusul dengan pemberontakan DI/TII pimpinan Abdul Kahar Musakkar yang berlangsung sampai tahun 1965.   
Tentunya kampung Mattoanging menjadi bagian cerita panjang sejarah yang terjadi di Makassar selama beberapa tahun tersebut. Satu contoh, pada tahun 1950-an tepatnya pada masa pemerintahan Ratulangi, di Kampung Mattoanging berdiri sekolah yang disebut Perguruan Nasional. Sekolah ini didirikan agar sekolah Belanda bukanlah satu-satunya tempat menuntut ilmu. Sekolah ini banyak diikuti oleh pelajar- pelajar yang kemudian beberapa diantaranya menjadi pejuang. Para pejuang yang dimaksud diantaranya Mongongsidi, tak heran jika sekolah ini kemudian disebut-sebut sebagai sekolah perjuangan[30]. Bukan hanya sekolah perjuangan yang sempat hadir di Kampung Mattoanging, akan tetapi di wilayah ini juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) pada tahun 1954-1958[31]. Meski periodenya tidak begitu lama bahkan bisa dikatakan sebentar saja akan tetapi kehadiran SMOA ini memiliki cerita sejarah sendiri khususnya dalam kaitan perjuangan pemuda Sulawesi Selatan diperiode awal pasca kemerdekaan ini.

2.4       Penataan Ruang Kota dan Perkampungan
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 diwilayah ini merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda secara seutuhnya dan menyeluruh.  Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan pendek (korte verklaring) yang disodorkan[32].
Setelah itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan setelah penguasaan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah bentuk pemerintahan militer-sipil[33].  Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[34].
Untuk mengefektifkan pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijakan pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah pemerintahan pada masa antara 1906-1910 didasarkan pada surat keputusan Gubernur H. N. A. Swart (1906-1908), tertangal 31 Desember 1906, No. 6041/2. Akan tetapi pengaturan ini masih bersifat sementara, nanti pada tahun 1911 baru ada pengesahan.
Pemerintahan wilayah Makassar dibagi dalam lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros, Pangkajene, Gowa Barat, dan Takalar. Menurut penataan wilayah pemerintahan, cabang pemerintahan (Onder Afdeeling) merupakan wilayah pemerintahan terkecil untuk pejabat Pemerintah Belanda. Pada tahun 1915 mulai banyak terjadi perubahan penataan pemerintahan misalnya yang dulunya hanya Kotapraja Makassar kemudian dibagi menjadi dua taitu Makassar dan Bonthain, ini disebabkan karena Makassar terlampau luas untuk seorang asisten residen. Kemudian pada tahun 1917 dibagi menjadi tiga yaitu Makassar, Bonthain, dan Sungguminasa. Selanjutnya pada pemerintahan Gubernur J. L. M. Swaab (1933-1937), terjadi lagi banyak perubahan penataan wilayah pemerintahan. Pada pemerintahan ini bekas Kerajaan Gowa menjadi wilayah pemerintahan bumiputra dan berpemerintahan sendiri sebagai suatu kerajaan, akan tetapi kedudukannya secara langsung berada pada pengawasan Asisten residen Makassar. Terjadinya perubahan-perubahan penataan wilayah pemerintahan ini sebenarnya didasarkan pada kurangnya tenaga kerja untuk menjalankan pemerintahan.
Selanjutnya untuk melihat bagaimana dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya Makassar, hal lain yang perlu kita bahas yakni masalah hubungan antar pemerintahan dalam artian bagaiman hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa ata kaum bangsawan serta masyarakat lokal yang dalam hal ini merupakan penduduk asli. Penataan struktur Pemerintahan Hindia Belanda menempatkan daerah adat sebagai wilayah pemerintahan bagi pejabat pemerintahan bumiputera, bagian dan bawahan dari wilayah cabang pemerinahan dan kontrolir, tujuannya ialah untuk menjalin kerjasama dengan kaum bangsawan diwilayah itu untuk menjalankan pemerintahan dan manguatkan kedudukan bori bagian pemerintahan daerah dari bentuk pemerintahan kerajaan atau konfederasi pemerintahan bumiputra dan mengguanakan penguasa bori sebagai regen [35]. Hal ini sebenarnya merupakan masalah bagi pemerintahan Hindia Belanda yang dianggap hanya sebagai pemerintahan yang legal rasional sebaliknya kekuasaan bumiputra dianggap sebagai kekuasaan tradisional. Dalam pengangkatan pejabat bumiputra didasarkan atas pengaruhnya terhadap masyarakat misalkan seorang raja, bagsawan terlebih lagi mereka yang memilik kalompoang.
Pemerintah setelah penguasaan langsung secara menyeluruh wilayah Sulawesi Selatan pada 1905 memandang kelompok-kelompok bangsawan sebagai kekuatan tandingan utama. Kelompok bangsawan adalah kelompok yang merasa dirugikan secara langsung baik dari segi ekonomi maupun dari segi politik. Untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan penawaran darimkelompokmitu dan untuk dapat memperkuat serta mempertahankan kekuasaan, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan pemerintahan militer-sipil, berusaha untuk mendekati dan menguasai kelompok bangsawan, dengan maksud agar dapat menggunakan mereka untuk mempengaruhi bangsawan lainnya dan masyarakat umumnya untk mengakui kekuasaannya[36].
Dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950 ada 60 kampung yang terbagi dalam 4 distrik, dengan rincian sebagai berikut;
A.    Distrik Makassar:  wilayahnya meliputi;
(1) Kampung Maricayya,
(2) Kampung Maradekayya,
(3) Kampung Beru,
(4) Kampung Pisang,
(5) Ambon Kamp,
(6) Kampung Gotong-gotong,
(7) Kampung Renggang,
(8) Kampung Maloko,
(9) Kampung Mangkura,
(10) Kampung Lariangbangngi, dan
(11) Kampung Maccini.
B.     Distrik Wajo:  wilayahnya meliputi;
(1)   Kampung Bontoala,
(2) Kampung Wajo,
(3) Kampung Melayu,
(4) Kampung Pattunuang,
(5) Kampung Butung,
(6) Kampung Malimongang,
(7) Kampung Layang,
(8) Kampung Macciniayo,
(9) Kampung Mampu,
(10) Kampung Rompegading,
(11) Kampung Kecak,
(12) Kampung Arab,
(13) Kampung Ende,
(14) Kampung Cina,
(15) Kampung Cangirak,
(16) Kampung Balandaya,
(17) Kampung Barayya,
(18) Kampung Kawaka,
(19) Kampung Tompo balang, dan
(20) Kampung Gaddong.
C.     Distrik Ujung Tanah:  wilayahnya meliputi;
(1) Kampung Ujung Tanah,
(2) Kampung Tabaringang,
(3) Kampung Pannampu,
(4) Kampung Kalukuang,
(5) Kampung Tallo,
(6) Kampung Rappokaliing,
(7) Kampung Rappojawa,
(8) Kampung Lakkang,
(9) Kampung Busung,
(10) Kampung Pattingalloang, dan
(11) Kampung Cambaya.
D.    Distrik Mariso:  wilayahnya meliputi;
(1) Kampung Dadi,
(2) Kampung Mamajang,
(3) Kampung Parang,
(4) Kampung Sambungjawa,
(5) Kampung Jongayya,
(6) Kampung Balangboddong,
(7) Kampung Kokolojia,
(8) Kampung Kunjungmae,
(9) Kampung Mario,
(10) Kampung Panambungang,
(11) Kampung Lette,
(12) Kampung Mariso,
(13) Kampung Mattoanging,
(14) Kampung Buyang, dan
(15) Kampung Bontorannu[37].
Khusus untuk Kampung Mattoanging sendiri seperti kita lihat dari rincian distrik dan kampung-kampung di atas, berada dalam distrik Mariso. Artinya sebagai kampung, Kampung Mattoanging memilki kepala kampung sendiri. Kepala Kampung sendiri menjadi pemimpin dalam sebuah kampung hanya sampai periode awal kemerdekaan. Setelah administrasi pemerintahan mengalami perubahan seiring bergantinya masa. Kampung Mattoanging sendiri hingga saat ini hanya merupakan suatu kelurahan yang disebut sebagai Kelurahan Mattoanging dan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar.
Adapun penataan wilayah perkotaan atau ruang kota mulai nampak di Kampung Mattoanging ini sejak pemerintahan Patompo. Dimana Kampung Mattoanging dijadikan wilayah untuk pembangunan Stadion Mattoanging, kemudian pembangunan stasiun televisi TVRI Makassar, PDAM, dan juga Tanggul Patompo, ditahun 1970-an. Disini dapat dilihat beberpa perubahan fungsi dari ruang kota yang sangat nampak dari masa sebelumnya hingga masa-masa modernitas yang dialami oleh Makassar. Namun hal ini akan dibahas lebih mendalam di pembahasan selanjutnya.






[1] Ilham  Dg Makkelo, Sejarah Kota Makassar, Artikle: Repository UNHAS, (Akses 23 September 2012).
[2] Edward. L. Poelinggoemang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. 25.

[3]Ibid, hlm. 33.

[4] Ilham Dg Makkelo, op.cit, hlm. 2.
[5]Daud Limbugau, Perjalanan Sejarah kota Maritim Makassar’ dalam Mukhlis (ed) Persepsi Sejarah Kawasan Pantai,( Makassar: P3MP Universitas Hasanuddin, 2003), hlm.1.
[6] Fitra, Sejarah Pemukiman Di Daerah Daya Kecamatan Biringkanayya Makassar, (Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, 2011), hlm. 42. 
[7]Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, 1998), hlm. 225-226.
[8]Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX; Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 171-172.

[9] Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2004), hlm. 1.

[11] Ibid, hlm. 89.

[12] Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984), hlm. 10.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 12.

[15]Pada tahun 1900-an smapai 1950 kota Makassar merupakan standsget meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi ibukota Celebes Onderhorighenden(Sulawesi dan daerah Taklukannya), Groote Oost (Timur Besar), Residentie Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (BIT: 1946-1950). Untuk lebih lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di Makassar tahun 1900-1950 baca,  Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984).

[16] Ibid. hlm. 46.
[17] Fluralisme adalah penerimaan terhadap keberagaman dan perbedaan baik suku, etnis, maupun agama.
[18] Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2011), Hlm. 56.

[19] Dalam buku yang ditulis oleh Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984), menjelaskan bahwa pada tahun 1922 dalam suatu ensiklopedia disebutkan penduduk Makassar pada tahun 1916 berjumlah lebih kurang 39.000 jiwa orang yang terdiri dari golongan Cina 6.900 jiwa, Eropa 1.500 jiwa, Timur Jauh 300 jiwa, dan pribumi sisanya( lebih kurang 30.300 jiwa, penduduk). Kemudian laporan J W Klein, bahwa pada tahun 1947 penduduk Makassar lebih kurang dari 165.000 jiwa yang di dalamnya terdapat Cina 32.000 jiwa, Eropa 5.000 jiwa. Sedangkan menurut Adi Negoro, penduduk Makassar pada tahun 1954 berjumlah lebih kurang 200.000 jiwa. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa bila dibandingkan anatar jumlah penduduk antara tahun 1916 dengan tahun 1947, maka selama 31 tahun terdapat selisih penduduk sebanyak 126.000 jiwa. Dengan demikian rata-rata pertumbuhan peduduk setiap tahun lebih kurang 4.000 jiwa atau sekitar 3%. Dapat diperkirakan bahwa sampai tahun 1950, penduduk Makassar berjumlah lebih kurang 165.000 + 3 x 4.000 jiwa = 177.000 jiwa.

[20] Ibid, hlm. 63.

[21] Wawancara: Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.

[22]Edward L. Poelinggomang, op.cit., hlm. 23.

[23] Ibid, hlm. 25.

[24] Ibid, hlm. 27.
[25] Ibid, hlm. 2-3.

[26] Ibid, hlm. 69.

[27] Ibid, hlm. 88-97.

[28] Edward L. Pelinggoemang menjelaskan dalam bukunya Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942, sebagai gerakan gerakan rakyat. Gerakan ini yakni dalam hal perampokan yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh I Tollo dengan beberapa pengikutnya seperti Macan daeng Barani, Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji, Paciro daeng Mapata, dan Daeng Patompo Daeng Manyengka. Peristiwa ini berlangsung dari awal pemerintahan Hindia Belanda yakni dari tahun 1906-1915. Dalam pelaksaan pemeberontakan dilakukan secara terang-terangan di hadapan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan ini cukup kuat karena mendapat dukungan dari para elit-elit Kerajaan Gowa bekas petinggi yang sakit hati dan kedengkian, jadi bisa disimpulkan sebagai upaya politik balas dendam  atas pemerintah Kolonial Belanda. Selanjutnya ialah gerakan kepercaan, yaitu usaha perlawanan dengan memunculkan kepercayaan masyarakat akan hadirnya sosok Batara Gowa yang akan menjadi penyelamat. Gerakan ini muncul dari tahun 1916-1921. Dalam gerakan ini muncul sosok tokoh, Baso Ua Ta Esa yang berasal dari daerah Takalar dan mempengaruhi masyarakat dengan ramalan-ramalan dihari kemudiaan. Gerakan Baso Ua Ta Esa disadari akan berbahaya oleh Pemetintah Kolonial, makanya Baso Ua Ta Esa ditangkap dan dipenjarakan pada tanggal 10 Juli 1916. dipenjarakannya Baso Ua Ta Esa tidak lantas membuat gerakan-gerakan seperti ini berakhir, melainkan memunculkan gerakan gerakan yang sama dibelakangnya. Gerakan itu seperti yang dilakukan oleh Matuleleh, seorang petani asal wajo yang memulai gerakannya dari Malakaji pada tahun 1923. Setelah itu muncul kembali gerakan Ong Cing Beng pada tahun 1928, gerakan Karaeng Baba atau gerakan Pejjenekang yang dipimpin oleh Sattu Gandi pada tahun 1936. gerakan-gerakan yang sering disebut gerakan messianisme ini terus berlanjut di Makassar pada periode itu secara bergantian dan berentetan. Untuk lebih jelasnya lihat, Edward L. Pelinggoemang menjelaskan dalam bukunya Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2004. Atau Mukhlis Paeni, Edward L. Poelinggomang, Ina Mirawati, Batara Gowa Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Makassar, Arsip Nasional Republik Indonesia, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2002).

[29]Muchlis Paeni, dkk, op. cit., hlm. 85.
[30] Nasaruddin Koro, Ayam Jantan Kota Daeng, ( Jakarta: Penerbit Ajuara Raya Pasar Minggu No.8 B, 2006), hlm. 231.

[31] Wawancara: Dahlan Siwa, Mattoanging, 06 Mei 2012. Pkl. 15.30-16.00 Wita.

[32]Edward L. Poelinggomang, op, cit., hlm. 2-3.

[33] Ibid, hlm. 96.

[34] Ibid, hlm. 88-97.
[35]Ibid, hlm. 91-110.

[36] Ibid, Hlm.139.
[37] Muchlis Paeni, dkk, op.cit., hlm.13-47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar