BAB II
MAKASSAR DAN KAMPUNG MATTOANGING
DALAM LINTAS SEJARAH
Add caption |
Makassar
adalah sebuah kota yang tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui
proses sejarahnya yang relatif panjang. Sepanjang sejarahnya, kota itu mengalami
proses perkembangan dan perubahan baik fisik maupun non-fisik, yang pada
tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang. Proses ini
pula-lah yang dilalui oleh Makassar sampai menjadi sebuah kota. Kota Makassar
tumbuh dari sebuah perjalanan sejarah yang panjang, telah menjadi wilayah
penting sejak berkembangnya Kerajaan Gowa, kemudian bertambah penting setelah
kedatangan orang-orang Eropa yang ingin berdagang ke wilayah Nusantara
khususnya bagian timur yang kemudian menempatkan Makassar sebagai basis mereka.
Keberadaannya sebagai kota semakin penting sejak pemerintah kolonial Belanda
menempatkannya sebagai markas aktivitasnya, baik untuk keperluan ekonomi dan
kemudian posisinya sebagai kota administratif pemerintahan kolonial yang
penting[1].
Pembentukan pemerintahan di daerah ini
berdasarkan tradisi lisan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
menunjukkan bahwa tempat yang dipandang sebagai cikal bakal pemukiman pertama
adalah tempat di mana ditemukan gaukang.
Perkembangan dan pertambahan penduduk
yang dialami oleh kelompok kaum itu menimbulkan persebaran penduduk ke
tempat-tempat di sekitar tempat pemukiman dengan membuka
perkembangan-perkembangan baru. Kesatuan dari kelompok-kelompok ini yang
kemudian merupakan satu kesatuan pemerintahan yang disebut bori. Konfedarasi Gowa, misalnya, muncul dari gabungan antara
sembilan wilayah bori yaitu: Tombolo, Lakiung, Parang-parang, Data, agangjenne,
Saumata, Bissei, Sero, dan Kalli[2]. Pada permulaan abad ke-17, Makassar telah
merupakan bandar niaga yang terpenting. Hal ini didorong oleh peranan yang
dimainkan oleh pelaut-pelaut Makassar dan Bugis dalam dunia pelayaran dan
perdagangan rempah-rempah[3].
Makassar
merupakan satu dari sekian banyak kota di Indonesia yang mengambil peranan
penting dalam periode awal abad ke-20. Dimana Makasaar merupakan salah satu
daerah yang masuk dalam upaya penataan kota oleh pemerintah kolonial Belanda
dalam Undang Undang Disentralisasi. Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi 1906, Makassar tergolong di dalam 5 kota
di Hindia Belanda yang mendapat status Gemeentelijk Resort dan sekaligus
dengan Gemeenteraad-nya. Dalam tahun 1917 afdeling Makassar, di bawah Gouvernement Celebes en Onderhoridgeden,
meliputi: onderafdeling
Makassar, Pangkajene, dan Maros[4].
Pada awal
abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi,
Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Provinsi Timur Besar.
Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial
itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan,
dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam
kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas
ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai pemerintahan kota pada tahun 1906,
Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan
dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota
yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan
sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia
Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar.
Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya kembali
sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan
kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan
diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun
1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000
jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru
dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi
Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya
menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999
kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota
Makassar.
Sebelumnya kita perlu
memahami istilah Makassar berdasarkan aspek historisnya. Istilah Makassar telah
ditemukan sejak abad ke-14 di dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh
Prapanca pada jaman Gadjah Mada (1364) [5].
Makassar sendiri bisa berarti nama tempat yaitu Ibu kota dari Provinsi Sulawesi
Selatan saat ini, juga bisa berarti nama suku bangsa yakni Suku Makassar.
Istilah perkampungan sendiri mulai dikenal di Kota Makassar sejak pemerintah kolonial
Belanda mulai menerapkan aturan perundangan disentralisasi atau penataan
wilayah dan pemerintahan daerah. Ada beberapa kampung beserta distrik sendiri
yang dibagi oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memudahkan penataan
pemerintahan dan wilayah di kota Makassar.
Makassar
terus mengalami perubahan baik di tata pemerintahan, ciri fisik kota, sosial
ekonomi, budaya, serta pertumbuhan penduduk, seiring bergantinya masa. Hal yang
sangat mendasar dari perubahan Kota Makassar pasca-kolonial ialah Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan merupakan pusat
pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan serta kota pelabuhan yang penting di
bagian timur Indonesia. Luasnya hanya ± 21 km² dengan jumlah penduduk 432.242
jiwa pada tahun 1970, yang berarti mempunyai kepadatan penduduk sebesar
20.582 jiwa/km. Suatu angka yang relatif terpadat di seluruh dunia pada waktu itu. Untuk itulah diperlukan pemekaran serta
perluasan wilayahnya dengan mengambil beberapa Desa dari kabupaten tetangganya
yaitu Kabupaten Gowa, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), dan Kabupaten Maros[6].
Setelah diadakan survey baik dari Pemerintah
Pusat, maupun dari Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, pada
tahun 1970 Walikotamadya Makassar H.M.Dg.Patompo membentuk tim yang bertugas
bersama-sama dengan tim dari Propinsi Sulawesi Selatan untuk mengadakan
pembicaraan rencana perluasan Kota.
Sejak itulah Makassar kemudian berkembangan menjadi Kota yang moderen,
terutama dengan gebrakan pembangunan di masa pemerintahan Patompo.
2.1 Goeografi/ Kewilayahan.
Secara geografis kota Makassar berada di sepanjang
pesisir pantai yang diapit oleh dua buah muara sungai yakni sungai Jenneberang
dan sungai Tallo, dan kedua sungai itu
berfungsi sebagai jalur lalu-lintas penduduk di pedalaman terutama kalau mereka
memasarkan hasil pertaniannya ke kota Makassar. Di tinjau dari geografis
kota, Makassar dalam sepanjang
sejarahnya mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dibandingkan dengan kota-kota
pantai lainnya di Nusantara bagian timur. Perekonomian Makassar ditunjang oleh
potensi ekonomi dari pedalaman agraris Sulawesi Selatan serta sumber ekonomi
yang berasal dari pelayaran dan perdagangan, sektor yang terakhir ini
berkembang terus, yang menyebabkan pelabuhan Makassar semakin penting artinya
bagi dunia perekonomian sejak di masa kerajaan sampai dengan masa kemerdekaan. Sejak masa
pemerintahan kolonial Belanda, Makassar dilengkapi dengan bangunan-bangunan
perkantoran, pergudangan, dan perumahan para pejabat pemerintah, selain itu
prasarana jalan dan pemukiman penduduk disempurnakan dan diatur menurut tata
kota pusat pemerintahan, kota niaga, dan kota pelabuhan.
Tonggak penting Makassar sebagai pusat aktifitas kerajaan
yakni setelah Perang Makassar tahun 1669, dimana perang tersebut telah
melahirkan kesadaran baru akan pentingnya kesatuan territorial. Setelah
perjanjian Bungaya Benteng Ujung Pandang, diambil alih oleh VOC-Belanda,
Speelman menduduki benteng itu dan mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam, dan kampung-kampung
disekitarnya kemudian disebut Stad
Vlaardingen. Lambat laun sekitaran benteng menjadi ramai oleh kedatangan
sekutu-sekutu Belanda, Ujung Pandang menjadi pusat kekuasaan dan Vlaardingen menjadi pusat niaga baru,
menggantikan peran yang pernah dimainkan oleh Somba Opu.[7] Sejak saat itu terjadi pemisahan-pemisahan pemukiman,
Makassar dibagi tiga bagian; pusat pemerintahan di Fort Rotterdam, pusat
perdagangan di “Negory Vlaardingen”, dan pemukiman penduduk (kampung).
Pejabat dan pegawai Belanda tinggal dalam benteng dan sekitarnya, sementara
pedagang Eropa dan Cina tinggal di pusat perdagangan. Di kampung bermukim
petani, nelayan, pedagang, dan pelaut bumiputera. Bangsawan Gowa diijinkan
membangun pemukiman di selatan Fort Rotterdam yang dikenal dengan Kampung Beru.
Kampung ini kemudian menjadi tempat tinggal kelompok mestizo (peranakan),
bumiputera yang beragama Kristen, dan golongan merdeka (budak yang telah dimerdekakan). Mereka
umumnya bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun anggota militer. Di wilayah
ini, dalam perkembangannya, dibangun kantor pemerintah, pengadilan, tangsi
militer, rumah sakit, dan pemukiman pegawai. Ketika Makassar ditata, para
saudagar Melayu, Bugis, dan Makassar ditempatkan di kampung Melayu, sebelah
utara pusat niaga. Sementara itu penduduk Wajo yang mengungsi ke Makassar diberi
tempat di sebelah timur Vlaardingen
yang kemudian dikenal dengan kampung Wajo. Orang Cina karena jumlahnya semakin banyak, diberikan
pemukiman di bagian utara kampung Wajo, yang disebut kampung Cina. [8]
Sejak
tahun 1906 Kota Makassar telah menjadi suatu wilayah administrasi Pemerintahan
Hindia Belanda yang disebut bagian Pemerintahan Makassar (Afdeeling Makassar)[9].
Sejak tahun tersebut bisa dikatakan Makassar telah berkembang mejadi kota yang
modern akan tetapi tetap bercirikan kota kolonial. Meskipun telah menunjukan
ciri kota kolonial akan tetapi wilayah Makassar tetap merupakan sebuah wilayah
yang dipenuhi oleh perkampungan. Perkampungan-perkampungan tersebut merupakan
kelompok-kelompok pemukiman yang sudah teratur dalam bentuk kampung yang
penataannya telah memenuhi syarat perkotaan[10].
Dalam Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah pemerintahan Bagian Pemerintahan Makassar
dibagi atas lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros, Pangkajene, Gowa
Barat (West Gowa), dan Takalar[11].
Selanjutnya
sebelum tahun 1921, kota Makassar terbagi atas enam distrik yaitu: Distrik
Makassar, Wajo, Melayu, Ende, Ujung Tanah, dan Distrik Mariso[12].
Distrik Makassar, Wajo, Melayu, dan Ende masing-masing diperintah oleh seorang
kepala dengan gelar Kapiten, sedangkan
Ujung Tanah dan Mariso masing-masing dikepalai oleh seorang Gallarang.[13].
Dari distrik-distrik tersebutlah terdapat sejumlah kampung-kampung.
Berkaitan
dengan kewilayaahan di Makassar dari suatu periode keperiode atau dari masa ke masa
yang lain selalu mengalami perubahan bergantung pada kepentingan dan kebutuhan
yang ada pada penguasa. Dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950 sudah menyinggung persoalan ini secara garis besar seperti
berikut ini:
“Ketika
Pemerintahan Jepang, “struktur pemerintahan yang ada tetap dimafaatkan dengan
mengambilnya sebagai model misalnya hubungan kerjasama dengan para raja-raja
tetap dipelihara. Wilayah administrasi mengenai Afdeeling tetap dipertahankan.
Begitu juga dengan pengaturan tata perkotaan dan pemukiman tidak terlalalu
mengalami perubahan. Namun di kota Makassar, terjadi suatu peristiwa yag perlu
dicatat dalam masa pejajahan Jepang(1942-1945) ini, yaitu dilakukannya
“rasionalisasi batas-batas kampong, pada waktu itu akibat perintah Jepang agar
pindah rumah maka beberapa kampong digabungkan dan yang lain harus pula
dipisahkan. Salah satu informan menjelaskan antara lain bahwa: “perpindahan
penduduk yang terjadi pada zaman Jepang yaitu dari distrik Ujung Tanah, antara
lain Kampung dari kampong Ujung Tanah dan kampong Tamalabba. Mereka dipindahkan
antara lain ke kampong Kalukuanng bagian timur, yaitu disebelah Jalan Pongtiku
sekarang, berbatasan dengan Kampung Rappojawa.
Sesudah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17-8-1945, kemudian Negara Indonesia
Timur (NIT) terbentuk yang wilayahnya termasuk diantaranya Sulawesi yang ibu
kotanya Makassar, perubahan penting yang terjadi berhubungan dengan penataan
kota Makassar, ialah keluarnya surat keputusan Residen Celebes Selatan Nomor
427 tanggal 3 Juni 1947 yang menetapkan. “Seleuruh daerah Onderafdeeling Makassar yang berada di daratan (maksudnya di luar
daerah pulau-pulaunya) dijadikan kotapraja Makassar. Dalam pemekaran kota
Makassar ini, termasuk kampong Tallo, Kalukubodoa, Rappokalling, Rappojawa, dan
sebagian dari Kalukuang. Kelima Kampung tersebut termasuk wilayah distrik Ujung
Tanah yang sebelumnya belum masuk ke dalam Kotapraja Makassar[14].
Dari kutipan di atas jelas perkampungan
adalah suatu element yang sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap
sejarah kota Makassar. Selain itu, jelas bahwa perkampungan itu sendiri telah
banyak terjadi perubahan-perubahan mendasar terutama untuk penataan serta
masyarakat yang mendiaminya.
Untuk
Kampung Mattoanging sendiri dilihat dari
pembagian dan penataan wilayah oleh pemerintah kolonial Belanda
merupakan suatu kampung yang berada pada Distrik Mariso sebagai suatu pemukiman
yang telah tertata rapi sesuai dengan status Kota Makassar dalam kurun waktu
tahun 1900-an sampai 1950[15].
Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari bahasa Bugis
yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[16].
Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang
juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Mariso.
Untuk
masa sekarang ini, Kampung Mattoanging hanya menyisahkan cerita panjang
mengenai perkembangan kota Makassar. Dari segi wilayah misalnya mengalami
perubahan yang begitu signifikan, adapun batas-batas kampung Mattoanging untuk
saat ini adalah; Sebelah Utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Jln. Haji
Bau, Sebelah Barat berbatasan dengan Jln. Cendrawasih, Sebelah Timur berbatasan
dengan Kampung Parang dibatasi oleh Jln. Ratulangi, dan Sebelah Selatan
berbatasan dengan Mariso atau Jln. Kakatua. Secara administratif pemerintahan
Kampung mattoanging termasuk dalam wilayah Kelurahan Mariso, Kecamatan Mariso,
Kotamadya Makassar. Kampung Mattoanging saat ini hanyalah tinggal pengakuan
bahwa wilayah ini pernah ada dan menjadi wilayah yang memegang peranan penting
dalam perkembangan Kota Makassar hingga saat ini.
2.2 Masyarakat dan Persebaran Penduduk.
Masyarakat
adalah kumpulan manusia yang hidup secara bersama dalam suatu tempat dengan
aturan-aturan dan cara-cara, serta adat istiadat tertentu. Makassar adalah
sebuah kota yang dihuni oleh berbagai macam etnis, suku, serta
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan Kota
Makassar sebagi kota metropolitan yang fluralisme[17].
Berkaitan dengan penataan wilayah yang telah disinggung sebelumnya, sejak
Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan aturan mengenai penataan wilayah
melalui Undang-undang disentralisasi, Kelompok Kelompok Masyarakat yang berbeda
beda tadi ditempatkan pada satu lokasi tersendiri berdasarkan suku, etnis.
Misalnya orang Melayu ditempatkan di Kampung Melayu, masyarakat Tiong Hoa di
Kampung Cina/pecinan, begitu seterusnya.
Masyarakat
dari etnis setempat atau suku asli lah yang tidak begitu kentara pemisahannya
dalam suatu tempat. Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja tetap hidup
berdampingan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kompleks. Hal ini
disebabkan karena kelompok-kelompok masyarakat ini telah terjalin bahkan sejak
masih Kerajaan Gowa.
Seperti
diketahui bahwa Makassar mulai banyak didatangi oleh bangsa asing dan penduduk
pulau lain seiring dengan berkembangnya Kerajaan Makassar sebagai kerajaan
Maritim dilintas sejarah Indonesia. sekitar tahun 1600, Makassar menjadi bandar
naiaga yang sangat penting artinya, karena perdagangan transito yang luas dalam
rempah-rempah dan beras yang diperlukan di timur dan barat Nusantara, untuk
selanjutnya untuk diperdagangkan ke Eropa dan Cina[18].
Makassar
berkembang di masa kerajaan baru di tahun 1600-an akan tetapi mengenal atau
berinteraksi dengan dunia luar dalam hal ini penduduk dan masyarakat luar telah
tercipta sejak lama. Itu di tandai dengan kedatangan bangsa Portugis masih di masa
Karaeng Pattingaloang. Keberhasilan Kerajaan Makassar menjadi bandar niaga
telah menarik para pedagang-pedagang asing seperti, Bangsa Eropa, Cina,
Gujarat, Melayu, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di
Makassar telah beragam dan berkontaminasi secara berkala dan berkelanjutan dari
masa kerajaan Gowa hingga Makassar berkembang menjadi Kota yang moderen dewasa
ini.
Dari
adanya persebaran masyarakat tersebut, menjadikan hampir semua wilayah di
Makassar dihuni tidak satu etnis, suku, maupun agama seja, melainkan dalam
suatu wilayah sangat memungkinkan terjadinya kelompok masyarakat yang beragam
asal-usul-nya. Untuk penduduk di Makassar khususnya sejak tahun 1900-1950
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat[19].
Perkembangan
penduduk atau laju pertambahan penduduk di Kota makassar ini tidak semata-mata
karena faktor kelahiran, tetapi juga faktor urbanisasi yakni berpindahnya
penduduk dari pedalaman terutama dengan maksud mencari pekerjaan. Sesudah tahn
1930-an, selain mencari pekerjaan beberapa datang untuk melanjutkan pelajaran,
ditambah lagi yang datang dari Sulawesi Selatan, diantara mereka adalah bekas
romusha-romusha yang didatangkan dan ditinggalkan oleh Jepang[20].
Selanjutnya
untuk Kampung Mattoanging sendiri pada awalnya hanya dihuni oleh penduduk yang
berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa. Akan tetapi
seiring dengan berkembangnya waktu khususnya saat gelombang transmigrasi dari
Jawa pada tahun 1950-an datang ke Makassar. Kampung Mattoanging adalah salah
satu tempat yang dijadikan tujuan selain tempat-tempat seperti Sambung Jawa,
Lette, Mariso, Kunjung Mae, Bontorannu, bahkan gelombang transmigran ini
memiliki tempat khusus orang jawa di daerah Mattoanging bagian barat[21].
Selanjtnya penduduk pendatang di Kampung Mattoanging kembali bertambah sejak
dibangunnya asrama tentara pada tahun 1950-an. Kebanyakan dari tentara tersebut
berasal Jawa.
Kampung
Mattoanging saat kedatangan Jepang atau biasa kita sebut zaman pendudukan Jepang
tahun 1942-1945. Penduduk di kawasan Mattoanging ini juga ikut kembali
bertambah seiring kedatangan para romusha dari daerah lain di Indonesia. Kaitannya
dengan Mattoanging ialah wilayah ini adalah tempat dimana romusha-romusaha itu
bermukim dalam pelaksanaan pembangunan oleh Jepang.
Ekonomi
penduduk kampung Mattoanging di masa selanjutnya khususnya di era moderen
dewasa ini mata pencaharian penduduk juga semakin beragam, bertani mungkin
sudah tidak dijumpai lagi karena memang sudah tidak ada lagi lahan pertanian di
wilayah ini, yang ada hanyalah wiraswasta seperti kita lihat di sepanjang jalan
cendrawasih berdiri ruku-ruko, pegawai negeri sipil, buruh atau kuli serta
peegawai swasta.
2.3 Sosial Politik Perkotaan
Sebelum
membahas mengenai keadaan sosial politik di daerah perkotaan Makassar
sebelumnya kita melihat bagaimana keadaan sosial dan politik yang terjadi di
wilayah Makassar khususnya saat masih masa kerajaan agar dapat memperoleh
perbandingan dari rentetan sejarah yang terjadi dari masa ke masa khususnya
masalah sosial dan politik yang pernah terjadi, ini mengingat studi sejarah
yang selalu melihat perubahan itu sebagai suatu aspek yang sangat fital dalam
pembahasan.
Di Sulawesi Selatan pada awalnya
sangat banyak ditemukan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dan berdaulat
sendiri atas kerajaan-kerajaanya masing-masing. Berdasarkan tradisi lisan yang
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat menunjukkan bahwa tempat yang
dipandang sebagai cikal bakal pemukiman
pertama adalah tempat dimana ditemukan gaukang,
yang selanjutnya kesatuan dari
kelompok kaum ini yang kemudian merupakan satu kesatuan pemerintahan yang disebut
bori[22]. Konfederasi Gowa, misalnya, muncul dari
gabungan antara sembilan wilayah bori
yaitu: Tombolo, Lakiung, Saotana, Parang-parang, Data, Agangje’ne, Bisei, Sero,
dan Kall[23].
Kesembilan bori tersebut pada awalnya
merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas
kerajaan-kerajaanya masing-masing, hingga pada awalnya terjadi situasi politik
yang tidak kondusif diantara kerajaan-kerajaan tersebut. Terjadi pertikaian
saling menunjukkan kekuatan dan berlomba menjadi yang terdepan diantara mereka.
Situasi politik yang tidak kondusif tersebut berlangsung lama sampai munculnya
istilah dalam bahasa Makassar “sikanre
juku tauwwa”.
Kehadiran
Konfederasi Gowa menjadi satu kerajaan diawali dengan diketumakannya seorang
tokoh yang diriwayatkan berasal dari kayangan, seorang putri yang cantik. Tokoh
itu yang kemudian dinamai Tu’manurung.
Tokoh itu, yang berdasarkan mufakat dari dewan hadat Konfedarasi Gowa,
dinobatkan menjadi ratu Kerajaan Gowa. Penobatan dan pengukuhan kedudukan Tu’manurung sebagai ratu Kerajaan Gowa
didasarakan atas ikrar (Getting Bicara)
yang dicapai antara dewan hadat Kerajaan Gowa dan Tu’manurung[24].
Selanjutnya
memasuki masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 diwilayah ini
merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda secara seutuhnya dan
menyeluruh. Penguasaan wilayah ini
dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa
penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada
umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia
Belanda, melalui penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan[25].
Setelah
itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan
pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk
pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan
setelah penguasaan diseluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah
bentuk pemerintahan militer-sipil[26]. Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini
dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan
Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan
penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di
daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[27].
Disaat
pemerintahan Hindia Belanda inilah keadaan sosial politik di Makassar tidak
terlalu kondusif. Meskipun Pemerintah Kolonial mengupayakan penataan
pemerintahan, akan tetapi tetap saja ada perjuangan-perjuangan pemberontakan
dari sisa-sisa kekuatan dari kelompok-kelompok tertentu yang ada di Makassar[28].
Selanjutnya
di masa kemerdekaan, pergolakan sosial politik kembali terjadi di Makassar.
Kali ini usaha perbutan kembali kekuasaan dari tentara sekutu NICA pada tahun
1946, serta usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan dimana saat itu
Makassar adalah wilayah utama dalam masa Negara Indonesia Timur (NIT), hingga
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950-an. Pada masa itu Makassar
menjadi pusat dan tumpuan pemerintahan Indonesia di bagian timur[29].
Dalam situasi ini mobilitas sosial dan politik di Makassar memperlihatkan
pergolakan. Yang sangat nampak ialah bagaimana penguasa-penguasa lokal atau
tradisional kembali memegang pengaruh penting dalam birokrasi pemerintahan.
Hal
berikutnya yang menjadi aspek penting dalam hal sosial dan politik di makassar
yaitu kembalik bergejolaknya perlawanan terhadap pemerintahan atau biasa
disebut dengan pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan yang sangat penting
di masa-masa awal kemerdekaan ialah bagaimana pemberontakan Andi Asis ditahun
1950-an kemudian disusul dengan pemberontakan DI/TII pimpinan Abdul Kahar
Musakkar yang berlangsung sampai tahun 1965.
Tentunya
kampung Mattoanging menjadi bagian cerita panjang sejarah yang terjadi di
Makassar selama beberapa tahun tersebut. Satu contoh, pada tahun 1950-an
tepatnya pada masa pemerintahan Ratulangi, di Kampung Mattoanging berdiri
sekolah yang disebut Perguruan Nasional. Sekolah ini didirikan agar sekolah
Belanda bukanlah satu-satunya tempat menuntut ilmu. Sekolah ini banyak diikuti
oleh pelajar- pelajar yang kemudian beberapa diantaranya menjadi pejuang. Para
pejuang yang dimaksud diantaranya Mongongsidi, tak heran jika sekolah ini
kemudian disebut-sebut sebagai sekolah perjuangan[30].
Bukan hanya sekolah perjuangan yang sempat hadir di Kampung Mattoanging, akan
tetapi di wilayah ini juga pernah berdiri Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA)
pada tahun 1954-1958[31].
Meski periodenya tidak begitu lama bahkan bisa dikatakan sebentar saja akan
tetapi kehadiran SMOA ini memiliki cerita sejarah sendiri khususnya dalam
kaitan perjuangan pemuda Sulawesi Selatan diperiode awal pasca kemerdekaan ini.
2.4 Penataan Ruang Kota dan Perkampungan
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya bahwa masa pemerintahan Hindia Belanda antara
tahun 1906-1942 diwilayah ini merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda
secara seutuhnya dan menyeluruh.
Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan
pendudukan (militaire esxpeditie)
Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada
khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan
kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan
pendek (korte verklaring) yang
disodorkan[32].
Setelah
itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan
pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk
pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan
setelah penguasaan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah
bentuk pemerintahan militer-sipil[33]. Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini
dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan
Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan
penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di
daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[34].
Untuk
mengefektifkan pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijakan
pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah pemerintahan pada masa antara 1906-1910
didasarkan pada surat keputusan Gubernur H. N. A. Swart (1906-1908), tertangal
31 Desember 1906, No. 6041/2. Akan tetapi pengaturan ini masih bersifat
sementara, nanti pada tahun 1911 baru ada pengesahan.
Pemerintahan
wilayah Makassar dibagi dalam lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros,
Pangkajene, Gowa Barat, dan Takalar. Menurut penataan wilayah pemerintahan,
cabang pemerintahan (Onder Afdeeling)
merupakan wilayah pemerintahan terkecil untuk pejabat Pemerintah Belanda. Pada
tahun 1915 mulai banyak terjadi perubahan penataan pemerintahan misalnya yang
dulunya hanya Kotapraja Makassar kemudian dibagi menjadi dua taitu Makassar dan
Bonthain, ini disebabkan karena Makassar terlampau luas untuk seorang asisten
residen. Kemudian pada tahun 1917 dibagi menjadi tiga yaitu Makassar, Bonthain,
dan Sungguminasa. Selanjutnya pada pemerintahan Gubernur J. L. M. Swaab
(1933-1937), terjadi lagi banyak perubahan penataan wilayah pemerintahan. Pada
pemerintahan ini bekas Kerajaan Gowa menjadi wilayah pemerintahan bumiputra dan
berpemerintahan sendiri sebagai suatu kerajaan, akan tetapi kedudukannya secara
langsung berada pada pengawasan Asisten residen Makassar. Terjadinya
perubahan-perubahan penataan wilayah pemerintahan ini sebenarnya didasarkan
pada kurangnya tenaga kerja untuk menjalankan pemerintahan.
Selanjutnya untuk
melihat bagaimana dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya
Makassar, hal lain yang perlu kita bahas yakni masalah hubungan antar
pemerintahan dalam artian bagaiman hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda
dengan penguasa-penguasa ata kaum bangsawan serta masyarakat lokal yang dalam
hal ini merupakan penduduk asli. Penataan struktur Pemerintahan Hindia Belanda
menempatkan daerah adat sebagai wilayah pemerintahan bagi pejabat pemerintahan
bumiputera, bagian dan bawahan dari wilayah cabang pemerinahan dan kontrolir, tujuannya
ialah untuk menjalin kerjasama dengan kaum bangsawan diwilayah itu untuk
menjalankan pemerintahan dan manguatkan kedudukan bori bagian pemerintahan
daerah dari bentuk pemerintahan kerajaan atau konfederasi pemerintahan
bumiputra dan mengguanakan penguasa bori sebagai regen [35].
Hal ini sebenarnya merupakan masalah bagi pemerintahan Hindia Belanda yang
dianggap hanya sebagai pemerintahan yang legal rasional sebaliknya kekuasaan
bumiputra dianggap sebagai kekuasaan tradisional. Dalam pengangkatan pejabat
bumiputra didasarkan atas pengaruhnya terhadap masyarakat misalkan seorang
raja, bagsawan terlebih lagi mereka yang memilik kalompoang.
Pemerintah
setelah penguasaan langsung secara menyeluruh wilayah Sulawesi Selatan pada
1905 memandang kelompok-kelompok bangsawan sebagai kekuatan tandingan utama.
Kelompok bangsawan adalah kelompok yang merasa dirugikan secara langsung baik
dari segi ekonomi maupun dari segi politik. Untuk dapat menghadapi dan
mengatasi tanggapan penolakan dan penawaran darimkelompokmitu dan untuk dapat
memperkuat serta mempertahankan kekuasaan, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan
pemerintahan militer-sipil, berusaha untuk mendekati dan menguasai kelompok
bangsawan, dengan maksud agar dapat menggunakan mereka untuk mempengaruhi
bangsawan lainnya dan masyarakat umumnya untk mengakui kekuasaannya[36].
Dalam
buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Sejarah
Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950 ada 60
kampung yang terbagi dalam 4 distrik, dengan rincian sebagai berikut;
A. Distrik
Makassar: wilayahnya meliputi;
(1)
Kampung Maricayya,
(2)
Kampung Maradekayya,
(3)
Kampung Beru,
(4)
Kampung Pisang,
(5)
Ambon Kamp,
(6)
Kampung Gotong-gotong,
(7)
Kampung Renggang,
(8)
Kampung Maloko,
(9)
Kampung Mangkura,
(10)
Kampung Lariangbangngi, dan
(11)
Kampung Maccini.
B. Distrik
Wajo: wilayahnya meliputi;
(1) Kampung
Bontoala,
(2)
Kampung Wajo,
(3)
Kampung Melayu,
(4)
Kampung Pattunuang,
(5)
Kampung Butung,
(6)
Kampung Malimongang,
(7)
Kampung Layang,
(8)
Kampung Macciniayo,
(9)
Kampung Mampu,
(10)
Kampung Rompegading,
(11)
Kampung Kecak,
(12)
Kampung Arab,
(13)
Kampung Ende,
(14)
Kampung Cina,
(15)
Kampung Cangirak,
(16)
Kampung Balandaya,
(17)
Kampung Barayya,
(18)
Kampung Kawaka,
(19)
Kampung Tompo balang, dan
(20)
Kampung Gaddong.
C. Distrik
Ujung Tanah: wilayahnya meliputi;
(1)
Kampung Ujung Tanah,
(2)
Kampung Tabaringang,
(3)
Kampung Pannampu,
(4)
Kampung Kalukuang,
(5)
Kampung Tallo,
(6)
Kampung Rappokaliing,
(7)
Kampung Rappojawa,
(8)
Kampung Lakkang,
(9)
Kampung Busung,
(10)
Kampung Pattingalloang, dan
(11)
Kampung Cambaya.
D. Distrik
Mariso: wilayahnya meliputi;
(1)
Kampung Dadi,
(2)
Kampung Mamajang,
(3)
Kampung Parang,
(4)
Kampung Sambungjawa,
(5)
Kampung Jongayya,
(6)
Kampung Balangboddong,
(7)
Kampung Kokolojia,
(8)
Kampung Kunjungmae,
(9)
Kampung Mario,
(10)
Kampung Panambungang,
(11)
Kampung Lette,
(12)
Kampung Mariso,
(13)
Kampung Mattoanging,
(14)
Kampung Buyang, dan
(15)
Kampung Bontorannu[37].
Khusus
untuk Kampung Mattoanging sendiri seperti kita lihat dari rincian distrik dan
kampung-kampung di atas, berada dalam distrik Mariso. Artinya sebagai kampung,
Kampung Mattoanging memilki kepala kampung sendiri. Kepala Kampung sendiri
menjadi pemimpin dalam sebuah kampung hanya sampai periode awal kemerdekaan.
Setelah administrasi pemerintahan mengalami perubahan seiring bergantinya masa.
Kampung Mattoanging sendiri hingga saat ini hanya merupakan suatu kelurahan
yang disebut sebagai Kelurahan Mattoanging dan berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Mariso Kotamadya Makassar.
Adapun
penataan wilayah perkotaan atau ruang kota mulai nampak di Kampung Mattoanging
ini sejak pemerintahan Patompo. Dimana Kampung Mattoanging dijadikan wilayah
untuk pembangunan Stadion Mattoanging, kemudian pembangunan stasiun televisi
TVRI Makassar, PDAM, dan juga Tanggul Patompo, ditahun 1970-an. Disini dapat
dilihat beberpa perubahan fungsi dari ruang kota yang sangat nampak dari masa
sebelumnya hingga masa-masa modernitas yang dialami oleh Makassar. Namun hal
ini akan dibahas lebih mendalam di pembahasan selanjutnya.
[1] Ilham Dg Makkelo, Sejarah Kota Makassar, Artikle: Repository UNHAS, (Akses 23
September 2012).
[2] Edward. L. Poelinggoemang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2004), hlm. 25.
[5]Daud Limbugau, Perjalanan
Sejarah kota Maritim Makassar’ dalam Mukhlis (ed) Persepsi Sejarah Kawasan
Pantai,( Makassar: P3MP Universitas Hasanuddin, 2003), hlm.1.
[6] Fitra, Sejarah
Pemukiman Di Daerah Daya Kecamatan Biringkanayya Makassar, (Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, 2011), hlm. 42.
[7]Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan
Sulawesi Selatan, (Ujung
Pandang, Hasanuddin University
Press, 1998), hlm.
225-226.
[8]Edward L. Poelinggomang, Makassar
Abad XIX; Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia,
2002), hlm. 171-172.
[9] Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan
Makassar 1906-1942, (Yogyakarta, Penerbit
Ombak, 2004), hlm. 1.
[12] Muchlis Paeni, Anhar
Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi,
Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950,
(Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984), hlm. 10.
[15]Pada tahun 1900-an smapai 1950 kota
Makassar merupakan standsget meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi
ibukota Celebes Onderhorighenden(Sulawesi
dan daerah Taklukannya), Groote Oost (Timur Besar), Residentie Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (BIT:
1946-1950). Untuk lebih lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di
Makassar tahun 1900-1950 baca, Muchlis
Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984).
[16] Ibid.
hlm. 46.
[17] Fluralisme adalah penerimaan terhadap keberagaman dan
perbedaan baik suku, etnis, maupun agama.
[18] Mattulada, Menyusuri
Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2011),
Hlm. 56.
[19] Dalam buku yang ditulis oleh Muchlis
Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984), menjelaskan bahwa pada tahun 1922
dalam suatu ensiklopedia disebutkan penduduk Makassar pada tahun 1916 berjumlah
lebih kurang 39.000 jiwa orang yang terdiri dari golongan Cina 6.900 jiwa,
Eropa 1.500 jiwa, Timur Jauh 300 jiwa, dan pribumi sisanya( lebih kurang 30.300
jiwa, penduduk). Kemudian laporan J W Klein, bahwa pada tahun 1947 penduduk
Makassar lebih kurang dari 165.000 jiwa yang di dalamnya terdapat Cina 32.000
jiwa, Eropa 5.000 jiwa. Sedangkan menurut Adi Negoro, penduduk Makassar pada
tahun 1954 berjumlah lebih kurang 200.000 jiwa. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa
bila dibandingkan anatar jumlah penduduk antara tahun 1916 dengan tahun 1947,
maka selama 31 tahun terdapat selisih penduduk sebanyak 126.000 jiwa. Dengan
demikian rata-rata pertumbuhan peduduk setiap tahun lebih kurang 4.000 jiwa
atau sekitar 3%. Dapat diperkirakan bahwa sampai tahun 1950, penduduk Makassar
berjumlah lebih kurang 165.000 + 3 x 4.000 jiwa = 177.000 jiwa.
[28] Edward L. Pelinggoemang
menjelaskan dalam bukunya Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan
Makassar 1906-1942, sebagai gerakan gerakan rakyat.
Gerakan ini yakni dalam hal perampokan yang dilakukan oleh kelompok yang
dipimpin oleh I Tollo dengan beberapa pengikutnya seperti Macan daeng Barani,
Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji, Paciro daeng Mapata, dan Daeng Patompo
Daeng Manyengka. Peristiwa ini berlangsung dari awal pemerintahan Hindia
Belanda yakni dari tahun 1906-1915. Dalam pelaksaan pemeberontakan dilakukan
secara terang-terangan di hadapan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan ini cukup
kuat karena mendapat dukungan dari para elit-elit Kerajaan Gowa bekas petinggi
yang sakit hati dan kedengkian, jadi bisa disimpulkan sebagai upaya politik balas
dendam atas pemerintah Kolonial Belanda.
Selanjutnya ialah gerakan kepercaan, yaitu usaha perlawanan dengan memunculkan
kepercayaan masyarakat akan hadirnya sosok Batara Gowa yang akan menjadi
penyelamat. Gerakan ini muncul dari tahun 1916-1921. Dalam gerakan ini muncul
sosok tokoh, Baso Ua Ta Esa yang berasal dari daerah Takalar dan mempengaruhi
masyarakat dengan ramalan-ramalan dihari kemudiaan. Gerakan Baso Ua Ta Esa
disadari akan berbahaya oleh Pemetintah Kolonial, makanya Baso Ua Ta Esa
ditangkap dan dipenjarakan pada tanggal 10 Juli 1916. dipenjarakannya Baso Ua
Ta Esa tidak lantas membuat gerakan-gerakan seperti ini berakhir, melainkan
memunculkan gerakan gerakan yang sama dibelakangnya. Gerakan itu seperti yang
dilakukan oleh Matuleleh, seorang petani asal wajo yang memulai gerakannya dari
Malakaji pada tahun 1923. Setelah itu muncul kembali gerakan Ong Cing Beng pada
tahun 1928, gerakan Karaeng Baba atau gerakan Pejjenekang yang dipimpin oleh
Sattu Gandi pada tahun 1936. gerakan-gerakan yang sering disebut gerakan
messianisme ini terus berlanjut di Makassar pada periode itu secara bergantian
dan berentetan. Untuk lebih jelasnya lihat, Edward L. Pelinggoemang menjelaskan
dalam bukunya Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar
1906-1942, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2004. Atau Mukhlis Paeni, Edward L.
Poelinggomang, Ina Mirawati, Batara Gowa
Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Makassar, Arsip Nasional Republik
Indonesia, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2002).
[29]Muchlis Paeni, dkk, op. cit., hlm. 85.
[30] Nasaruddin Koro, Ayam Jantan Kota Daeng, ( Jakarta: Penerbit Ajuara Raya
Pasar Minggu No.8 B, 2006), hlm. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar