BAB III
Kampung Mattoanging Sampai Awal
Kemerdekaan Republik Indonesia
3.1 Mattoanging
Sebagai Kampung Kota
Kampung Kota merupakan akar budaya permukiman khas di
Indonesia. Di dalamnya, penghuni dengan berbagai latar belakang status
sosial dan ekonomi dapat bertahan hidup di tengah kemajuan kota yang pesat.
Dalam situasi krisis yang tidak menguntungkan, keberadaan kampung kota menjadi
penting karena di dalamnya terdapat beragam
proses unik yang dilakukan oleh penghuni berpenghasilan menengah ke
bawah sesuai dengan kemampuannya yang terbatas[1].
Apa yang coba dijelaskan di atas,
sengaja dipilih oleh penulis karena pengertian tersebut paling relevan dengan
study kasus yang coba dikupas dalam penulisan skripsi ini. Kampung kota
dikatakan sebagai akar budaya pemukiman di indonesia, memang benar adanya.
Dimasa pemerintahan kolonial Belanda perkampungan atau kampung dijadikan
sebagai salah satu cara penataan pemerintahan di hampir semua kota dudukan
Belanda di Indonesia. di beberapa kota di Indonesia saat ini masih
memperlihatkan sisa-sisa keberadaan kampung tersebut, serta menjadi cikal bakal
atau titik awal keberadaan kota moderen saat ini. Kota seperti Surabaya,
Semarang, kampung menjadi suatu elemen yang sangat berpengaruh dan penataannya
sampai saat ini masih dipertahankan sesuai pembahasan Purnawan Basudoro dalam
bukunya Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai
Kemerdekaan. Selanjutnya di Padang dijelaskan oleh Freck Colombin dalam bukunya
Paco Paco Kota Padang, kampung juga disinggung sebagai suatu hal yang penting
dalam perkembangan kota.
Berkaitan dengan study pembahasan
dalam skripsi ini, dimana melihat kampung di Kota Makassar dalam
perkembangannya, dan menempatkan perubahan yang terlihat dari kampung tersebut
sebagai objek kajian, mencoba menjadikan pengertian kampung kota diatas dalam
membuka kerangka pembahasan mengenai kampung di Kota Makassar. Pembahasan yang
dimaksud tentunya pembahasan yang lebih spesifik pada suatu kampung yakni
Kampung Mattoanging. Berdasar pada pengertian kampung kota diatas, Kampung
Mattoanging memperlihatkan ciri yang serupa dalam keberadaannya serta
perkembangan dan perubahan yang dialami. Kampung tersebut hingga saat ini masih
terlihat meski telah bercirikan suatu kampung yang menjadi pelengkap dari gemerlap
moderenisme Kota Makassar saat ini.
Sebagai
suatu akar budaya pemukiman, Kampung Mattoangin merupakan suatu
kampung yang berada pada Distrik Mariso sebagai suatu pemukiman yang telah
tertata rapi sesuai dengan status Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 1900-an
sampai 1950[2].
Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari bahasa
bugis yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[3].
Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang
juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Marisso. Untuk sebelah
utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat
berbatasan dengan Kampung Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung
Parang dibatasi oleh Kampung Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan
dengan Kampung Bonto Rannu[4].
Berbicara mengenai penduduk, Kampung Mattoanging banyak dihuni oleh penduduk
yang berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa[5].
Mata pencahariannya pun hanya berkisar pada bertani, nelayan, buruh/kuli dan
sebahagian yang berjualan.
.
Disaat Pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 yang dimana menjadi masa pemerintahan dan kekuasaan yang secara
seutuhnya dan menyeluruh setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada
tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan
Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan
pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan[6].
Setelah
itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan
pemerintahan sesui dengan system pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk
pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan
setelah penguasaan diseluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah
bentuk pemerintahan militer-sipil[7]. Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini
dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan
Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan
penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di
daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[8].
Saat
itu pulalah Kampung-kampung yang ada di Makassar, termasuk Kampung Mattoanging
mulai mengenal pemerintahan yang utuh, dimana saat itu Kampung Mattoanging yang
berada dalam Districk Marisso memilki pemimpin atau kepala kampung
yang disebut Matoa. Hingga saat ini sejak tahun 1961 bersamaan dengan
pembentukan kecamatan Mariso, Kampung Mattoanging telah menjadi suatu kelurahan
yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mariso, Kotamadya Makassar[9].
Dalam perkembangannya dalam hal pemerinthan, Kelurahan Mattoanging pernah
dimekarkan menjadi dua kelurahan pada tahun 1992. Pada tahun 1992 tersebut,
Kelurahan Mattoanging dimekarkan menjadi dua kelurahan yakni Kelurahan
Mattoanging dan Kelurahan Buyang[10].
Penjabaran di atas mengenai Kampung
Mattoanging sebagai suatu cikal bakal dari lahirnya Kelurahan Mattoanging saat
ini adalah merupakan penjelasan dalam hal pemerintahan. Selanjutnya kita akan
bahas kampung Mattoanging sebagai kampung kota dalam hal sosial budaya dan
ekonomi. Dari segi sosial budaya, Kampung Mattoanging pada awalnya dihuni oleh
hampir sebagian besar penduduk suku Makassar, ditambah beberepa orang bugis.
Seiring perkembangan zaman penduduk di Kampung Mattoanging kemudian bertambah
dengan kedatangan orang-orang Tionghoa, dan Jawa. Dimasa pemerintahan Hindia
Belanda, kampung Mattoanging dijadikan sebagai salah satu tempat latihan oleh
tentara Belanda, hal ini menjadikan penduduk yang menghuni perkampungan ini
bertambah oleh kehadiran tentara Belanda tadi[11].
Budaya yang terlihat dari Kampung ini juga kebanyakan dihiasi oleh budaya Bugis
dan Makassar. Satu hal yang unik dari tradisi yang ada pada Kampung Mattoanging
ini, khususnya di masa kerajaan, kampung Mattoanging dijadikan tempat untuk
melihat angin untuk menentukan cuaca termasuk curah hujan[12].
Dari segi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat di Kampung Mattoanging tidak terlalu banyak memperlihatkan perubahan
yang mendasar pada masa sekarang ini. Dari segi penduduk, Etnis Bugis dan
Makassar tetap menjadi penduduk mayoritas, yang sedikit berbeda ialah
bertumbuhnya penduduk Jawa dan Tionghoa.
1.2
Kampung
Mattoanging Dari Kolonial Sampai Masa Pendudukan Jepang 1905-1945
Selama
Hindia Belanda berkuasa di Makassar terhitung dari tahun 1906 sebagai
pemerintahan utuh, tidak banyak kebijakan yang menyentuh Kampung Mattoanging.
Hanya karena Kampung Mattoanging berada dalam sekitaran pusat pemerintahan
Hindia Belanda di Benteng Roterdam, penduduk yang bermukin di Kampung
Mattoanging sering breinteraksi dengan tentara Belanda. Secara pemerintahan dan
kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dirasa oleh Masyarakat Mattoanging sama
dengan apa yang dirasa oleh masyarakat Makassar pada umumnya. Perekonomian dan
penataan pemerintahan yang cenderung stabil adalah cerita yang mewarnai Kampung
Mattoanging semasa pemerintahan Belanda.
Satu
hal yang cukup menarik ialah, wilayah Kampung Mattoanging ini dijadikan oleh
Pemerintah Hindia belanda sebagai tempat pergudangan untuk barang-barang
perekonomian serta peralatan perang tentara Hindia Belanda. Pusat pergudangan
ini berada di Jalan hati mulya saat ini[13].
Selain itu Kawasan Mattoanging ini, khususnya di Bonto Rannu, dijadikan pusat
pembuatan perahu-perahu kecil, kapal kayu, dan sekoci[14].
Para pekerja yang dipekerjakan dipembuatan perahu ini adalah orang-orang dari
Jawa yang disebut kolonisasi dan dibantu oleh pekerja-pekerja yang memiliki
keterampilan dibidang pembuatan kapal dari Mattoanging sendiri[15]. Perahu-perahu
ini diperuntukan oleh Belanda sebagai alat pendaratan kapal-kapal besar yang
tidak bisa sandar di sandaran kecil yang berada di Bonto Rannu. Kebanyakan
barang yang dimuat ialah barang-barang selundupan yang tidak diawasi oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Secara umum hingga akhir Pemerintahan Hindia Belanda
Kampung Mattoanging tidak mengalami perkembangan yang signifikan diberbagai
bidang.
Keruntuhan Pemerintahan
Hindia Belanda ditandai dengan kedatangan dan penaklukan yang dilakukan oleh
Jepang pada tahun 1942. Kekalahan Sekutu dalam Perang dunia I ini juga berimbas
pada wilayah jajahan Hindia Belanda di Nusantara, salah satunya di Makassar. Perang
Pasifik mulai pecah ketika Jepang menyerang dan membom Pearl Harbor di Hawai
pada tanggal 8 Desember 1941, sebagai awal dan bagian dari Perang Dunia II di
Pasifik. Setelah penyerangan atas Pearl Harbour, kemudian melanjutkan
penyerangannya ke Malaya, Singapura, Filipina, Burma, dan Hindia Belanda
(Indonesia). Atas penyerangan Jepang kebeberapa Negara di Asia tenggara, oleh
Gubernur Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan Hindia
Belanda dalam keadaan siap perang. Setelah adanya pengumuman dari Batavia yang
menyatakan siap perang, pemerintah Belanda (KNIL) yang berkedudukan di Makasar
memerintahkan penduduk kota Makassar untuk menyingkir ke kampung-kampung
dipinggiran Kota Makassar, termasuk di Sungguminasa, Barombong, Mandai, dan
Maros. Penyerangan pihak Jepang ke
Indonesia diawali melalui penyerangan ke Pulau Kalimantan dan berhasil
menduduki Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 yang merupakan ladang minyak
terbesar, kemudian dilanjutkan kekota-kota lainnya, dan selanjutnya Banjarmasin
dapat pula diduduki pada tanggal 10 Pebruari 1942. Penyerangan Kaigun (Angkatan
Laut Jepang) dengan tujuan Makassar dilakukan pada tanggal 9 Pebruari 1942
melalui serangan dari arah selatan. Tentara Jepang yang ribuan banyaknya mulai
mendarat di Galesong Utara, Kampung Sampulungan, untuk selanjutnya menuju
Barombong, dan Sungguminasa. Di
Barombong tentara Jepang melihat banyak pengungsi dari Makassar. Pengungsi ini
diperintahkan oleh Belanda agar mengungsi keluar kota, ada yang menuju Maros
dan juga ke Gowa berhubung tentara Jepang akan menyerang Makassar. Salah
seorang komandan dari tentara Kaigun terdapat Adoi yang pernah menetap di
Makassar, pemilik Toko Ketajima yang terletak di Hoge Pad (Jln.Letjen A.Yani
sekarang), dan satunya lagi Toko Kaneko di Passart Strat (Jln.Nusantara). Toko
inilah yang pertama menjual tiga-roda yang didatangkan dari Jepang termasuk
sepeda dan mobil buatan Jepang. Adoi sudah mengetahui persis letak kekuatan
Tentara Belanda, karena sejak ia menetap di Makassar sudah membuat beberapa
sketsa yang akan digunakan untuk menyerang posisi tentara Belanda. Di Barombong
ia sempat bertemu dengan salah satu karyawannya yang pernah bekerja di tokonya
pada tahun 1939. Dari
karyawannya tersebut ia mendapat informasi bahwa tentara Belanda telah
memindahkan kekuatan pasukannya di Maros.
Setiba di Sungguminasa, tentara
Jepang langsung menyerang tangsi militer yang terletak di Pandang-pandang.
Dalam waktu singkat, akhirnya Sungguminasa dapat dikuasai. Selanjutnya tentara
Jepang memotong jalan menuju Maros, dimana kekuatan tentara Belanda dipusatkan
disebelah timur Maros. Setelah Maros dapat dikuasai, penyerangan di lanjutkan
ke Makassar, kekuatan tentara Belanda di Makassar tidak besar jumlahnya.
Akhirnya dalam waktu singkat, pada tanggal 10 Februari 1942 tentara Jepang atau
disebut tentara Dai Nippon Teikoku dapat menguasai Kota Makassar, untuk
selanjutnya dengan mudah pula menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Setelah
Makassar dalam keadaan aman, maka diperintahkanlah semua penduduk yang sebelumnya
disuruh menyingkir oleh tentara Belanda, untuk kembali kerumahnya
masing-masing. Tentara Dai Nippon yang demikian banyaknya menempati beberapa
bangunan milik Belanda sebagai asrama, antara lain: tangsi KIS, Benteng Ujung
Pandang, Asrama Gowa, dan perumahan-perumahan orang Belanda antara lain di
Jln.Ratulangi (sekarang). Selain itu, di Kampung Borongjambua, Jongaya dibangun
pula asrama untuk Tentara Dai Nippon (sekarang asrama Armed 6-76). Mengenai
orang-orang Belanda yang sudah kalah, ditawan dan dimasukkan dalam penjara,
salah satunya adalah penjara Hogepaad, depan lapangan Karebosi[16].
Kedatangan
Jepang di Makassar ditandai dengan pendaratan pertama tentara Jepang di Takalar
yang berasal dari Batavia, kemudian masuk ke Makassar[17].
Di Mattoanging sendiri Jepang masuk melalui pendaratan pertama di Kalukuang,
dan sejak itu keadaan berubah drastis, keadaan kondusif di bawah pemerintahan
Hindia Belanda berubah 180% menjadi penderitaan yang sangat pedih bagi
masyarakat, khususnya di Mattoanging[18].
Sejak
kedatangan Jepang, wilayah Mattoanging dijadikan oleh Pemetintah Jepang sebagai
salah satu tempat penampungan semacam penjara bagi tahanan tentara Belanda.
Tahanan itu hanya merupakan suatu lapangan persegi yang kemudian diberi pagar
dari besi-besi drum yang disusun. Dalam tahanan tersebut, tentara belanda
diperlakukan sangat mengenaskan dengan tidak diberi makanan yang cukup namun
dipekerjakan secara sangat keras, tak heran jika kemudaian banyak tentara
tahanan yang menjadikan bila dan
batang pisang sebagai bahan makananan
untuk bertahan hidup, dan bagi mereka yang tidak mau menjadikan bila dan batang pisang sebagai makanan,
banyak yang meninggal[19].
Penderitaan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh tentara Belanda yang
menjadi tahanan Jepang, akan tetapi juga dirasakan oleh masyarakat pribumi.
Kampung
Mattoanging ternyata mengambil peranan penting dalam sejarah pendudukan Jepang
di Makassar. Selain dijadikan salah satu penjara bagi tahanan tentara Belanda,
di Mattoanging juga didirikan sebuah pos penjagaan untuk mengontrol keamanan
diwilayah ini, pos ini kemudian disebut sebagai Pos Monyet[20].
Selain itu keberadaan tansi Kes sebagai asrama tentara Jepang di Makassar
mempertegas bahwa Kampung Mattoanging ini merupakan salah satu wilayah vital
bagi pemerintahan Jepang atau disebut Dai Nippon di Makassar. Selanjutnya tentara Belanda yang menjadi
tahanan tadi dipekerjakan secara paksa oleh tentara Jepang untuk menggali
selokan besar dari Sambung Jawa sampai laut, dengan tujuan tentara Jepang
memilki akses lain menuju daratan selain di Pelabuhan makassar[21].
Dizaman pendudukan
Jepang kita semua ketahui bahwa Nippong berusaha merekrut para pemuda untuk
dijadikan pejuang dan tentara, diantaranya kita kenal dengan Peta dan Heiho. Di
Kampung Mattoanging Nippon juga berusaha menggalang para pemuda untuk dilatih
dan kemudian dijadikan Kaigun Heiho
(Pembantu Tentara Angkatan Laut). Pada awal tahun 1943, Jepang mulai
memanfatkan potensi pemuda Indonesia dengan membentuk organisasi pemuda sebagai
sumber tenaga yang diharapkan membantu kegiatan militer disegala bidang sebagai
perubahan posisi menyerang ke posisi bertahan, mengingat Jepang sudah mendapat
serangan balik dari tentara Sekutu. Organisasi pemuda yang pertama dibentuk
oleh Jepang adalah Jawa Seinendan yang dipimpin langsung oleh Syaiko Syikikan.
Jawa Seinendan dibentuk pada tanggal 29 Maret 1943, dan diumumkan secara resmi
dengan penyerahan panji-panjinya pada tanggal 29 April 1943 bertepatan ulang
tahun Kaisar Jepang. Organisasi ini, menggembleng pemuda yang dapat digunakan
untuk membantu tugas-tugas militer Jepang disegala bidang. Selain latihan
militer yang sangat disiplin, juga diperkenalkan budaya serta tradisi
Jepang, termasuk penggunaan bahasa Jepang, pengibaran bendera (Hinomura) dan
lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo). Setelah Seinendan, menyusul dibentuk
beberapa organisasi pemuda dalam tahun itu juga (1943) yaitu: Keibodan yang
bertugas untuk membantu tugas kepolisian, Heiho sebagai bagian dari Tentara
Jepang, dan Peta (Pembela Tanah Air).
Untuk
memperkuat kedudukan Tentara Dai Nippon di Makassar, sejak bulan Januari 1943
dibuka pendaftaran bagi pemuda Indonesia untuk masuk Angkatan Laut (Kaigun
Heiho). Pendaftaran dilakukan di Asrama Dai Nippon K.I.S. Kampement di
Mariso Strander Send Weg (sekarang Jln.Rajawali) yang dikepalai oleh Kawamura
San. Selanjutnya pendidikan mulai dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan
Desember 1943 untuk angkatan pertama, dan angkatan kedua mulai bulan Juni
sampai bulan Desember 1944. Dalam angkatan pertama diikuti oleh Jancy Raib (bekas
Walikotamadya Ujung Pandang periode 1983-1988). Pendidikan Kaigun Heiho
angkatan kedua ditempatkan di Pulau Kodingareng.
Kawamura
San, disamping sebagai Kepala Otsunobukawomura Hancho Heiho Gakko (Kepala
Pelatih Instruktur Sekolah Komandan Angkatan) yang berkedudukan di tangsi KIS
juga merangkap sebagai Nanggosensei Sihang Gakko (Kepala Sekolah Guru) di bekas
HBS (SMA Negeri 1 Ujung Pandang sekarang).
Disamping dibentuk Kaigun Heiho, Jepang juga mempekerjakan penduduk diberbagai instalasi militer dan pemerintahan sipil, seperti Nippon Kritsu (Seni Bangunan Dai Nippon) di Fort Rotterdam yang dikepalai oleh Sujuki San, dan Pemerintahan Sico Makassar yang dikepalai oleh B.Yamasaki. Sehubungan dengan pembentukan Peta dibeberapa kota di Indonesia, Ir.Soekarno atau Bung Karno pada akhir tahun 1944 berkunjung ke Makassar dan meminta kepada Pemerintah Jepang (Minseibu) untuk mendirikan Peta, tetapi oleh Pemerintah Jepang hanya mengizinkan pembentukan Kaigun Heiho (Pembantu Tentara Angkatan Laut).
Disamping dibentuk Kaigun Heiho, Jepang juga mempekerjakan penduduk diberbagai instalasi militer dan pemerintahan sipil, seperti Nippon Kritsu (Seni Bangunan Dai Nippon) di Fort Rotterdam yang dikepalai oleh Sujuki San, dan Pemerintahan Sico Makassar yang dikepalai oleh B.Yamasaki. Sehubungan dengan pembentukan Peta dibeberapa kota di Indonesia, Ir.Soekarno atau Bung Karno pada akhir tahun 1944 berkunjung ke Makassar dan meminta kepada Pemerintah Jepang (Minseibu) untuk mendirikan Peta, tetapi oleh Pemerintah Jepang hanya mengizinkan pembentukan Kaigun Heiho (Pembantu Tentara Angkatan Laut).
Selain pembentukan
organisasi-organisasi pemuda di Jawa dan Sumatera yang dikuasai Angkatan Darat
Jepang, di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Rikugun) juga
dibentuk organisasi pemuda. Organisasi pemuda yang dibentuk di Makassar antara
lain adalah Pasukan Boo Ei Tai Sin Tai di bawah Pimpinan Manai Sophian
dan Pasukan Putra-putri di bawah Pimpinan Ines Manoroinseng. Kesatuan pemuda
yang sudah dibentuk diterima dan diinspeksi langsung oleh Nadjamoeddin
Dg.Malewa dalam suatu upacara yang dilaksanakan di Karebosi pada tahun 1944. Meski di
Mattoanging jumlahnya tidak banyak akan tetapi ini sebuah fakta sejarah yang
sudah seharusnya diungkap dalam penulisan skripsi ini.
Untuk urusan Pemerintahan, Pada tanggal
6 Desember 1942 Ratu Belanda Wilhelmina menyampaikan pidato radionya dari
London yang menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II Kerajaan Belanda akan
disusun kembali berdasarkan azas “complete and equal partnership” diantara
anggota-anggotanya yang merupakan masing-masing bagian dari kerajaan Belanda, yaitu
Negara Belanda, Indonesia (Hindia Belanda), Suriname, dan Curacao.
Setelah penyerahan kekuasaan kepada
Tentara Jepang (Dai Nippon), maka Tentara Jepang mulai menjalankan pemerintahan
militer pendudukan yang dibagi dalam 3 daerah pemerintahan, yaitu: Pemerintahan militer Angkatan
Darat (Rikugun) Tentara Jepang ke-25, meliputi Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Pemerintahan militer Angkatan Darat (Rikugun) Tentara Jepang ke-16,
meliputi Jawa dan Madura berkedudukan di Jakarta, Pemerintahan
militer Angkatan Laut (Kaigun) meliputi meliputi Sulawesi, Borneo (Kalimantan),
Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Maluku, dan Papua berkedudukan di Makassar[22]. Disini
dapat dilihat bahwa sejak awal Makassar telah mengambil peranan penting dalam
pemerintahan Jepang selama pendudukan di Indonesia.
Pemerintahan
militer Jepang disebut Gunshireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang),
kemudian pada tanggal 1 September 1943 menjadi Saikoo Shikikan (Panglima
tertinggi) yang merupakan pucuk pimpinan yang akan menjalankan pemerintahan
sipil tertinggi (sama dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Di bawah Saiko
Shikikan disebut Gunseikan (Kepala pemerintah militer). Staf pemerintahan
militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang membawahi departemen yang disebut Bu. Untuk menjalankan pemerintahan sipil, maka didatangkanlah tenaga-tenaga
sipil dari Jepang. Mengingat tenaga yang didatangkan terbatas, maka diangkatlah
pegawa-pegawai bangsa Indonesia. Dengan diangkatnya pegawai-pegawai
Indonesia, maka pada tanggal 1 April 1942 pemerintah pendudukan Jepang
mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal.
Salah satu peristiwa penting lain yang terjadi pada tanggal 1 April 1942 adalah
penetapan waktu (jam) yang sama dengan waktu Jepang (Tokyo). Menyusul pada
tanggal 29 April 1942 tarikh yang dipakai ialah tarikh Sumera. Tarikh Masehi
pada waktu itu sama dengan tahun 2602 Sumera. Pada bulan Agustus 1942 pemerintah militer mengeluarkan lagi Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2602 (1942) (Kan Po Nomor 1) tentang Aturan Pemerintahan Daerah,
dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2602 (1942) (Kan Po Nomor 2) tentang Aturan
Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi, berlaku untuk Daerah Pemerintahan Rikugun
(Angkatan Darat), menggantikan undang-undang Pemerintah Hindia Belanda dan
menunjukkan berakhirnya masa pemerintahan sementara.
Suatu
perubahan lain dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 1942 ialah bahwa tugas regent
yang dulu dilakukan dalam lingkungan wilayah kota (stadsgemeente) dialihkan
kepada Syico (burgemeester), demikian juga sebutan Bestuurdiens diciptakan
istilah Indonesia yaitu "pangrehpraja", sedang jabatan gouverneur
dihapuskan. Dengan adanya ketentuan tersebut, Staadsgemeente dirobah menjadi
Syi dengan kepala pemerintah disebut Syico. Sebagai konsekwensi dari
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2602, seluruh Jawa kecuali Surakarta dan
Yogjakarta, pemerintahan daerah dibagi atas Syu (kresidenan), Syi (kotapraja),
ken (kabupaten), gun (kewedanaan atau distrik), son (kecamatan atau
onderdistrik), dan ku (desa atau kelurahan), yang masing-masing dikepalai
berturut-turut syuco, syico, kenco, gunco, sonco, dan kuco. Dengan adanya
perubahan itu, maka propinsi yang telah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda
dihapuskan. Sedangkan di luar Jawa, dibentuk susunan pemerintahan yang paralel. Osamu Seirei
(Surat Keputusan) Nomor 3 Tahun 2602 (1942) yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Jepang (Saikoo Shikikan) mengatur tentang pemberian wewenang kepada Walikota
untuk menjalankan tugas Pemerintahan Umum yang semula hanya berhak untuk
mengatur rumah tangga Gemeente saja. Kemudian kedudukan Stadsgemeente dan
Regentschap diatur dalam Osamu Seirei Nomor 12 dan Nomor 13 Tahun 2602
(1942) Kan Po 18. Peraturan ini menghilangkan sifat demokrasi dengan
menghapus Raad dan College (Dewan-dewan Kabupaten dan Kotapraja) dengan
menyerahkan kekuasaan kepada Kepala Daerah, sehingga otonomi Belanda berubah
sifatnya menjadi otonomi Jepang (Nippon). Sedangkan mengenai pemerintahan Desa
baru dikeluarkan pada tahun 1944, yang ditetapkan dalam Osamu Seirei Nomor 7
Tahun 2604 (1944). Dengan dihapuskannya Raad dan College, maka semua
kegiatan-kegiatan politik dilarang sama sekali termasuk organisasi politik
dibubarkan, kecuali organisasi tertentu yang dibentuk sendiri oleh
Jepang. Selain itu, organisasi Islam tetap diijinkan untuk tetap berdiri
karena dinilai anti Barat. Dalam kaitan itu, pihak Jepang mulai mengadakan
kontak dengan para tokoh masyarakat, terutama dari kalangan Islam, sehingga
pada bulan September 1943 dua organisasi Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah diijinkan berdiri kembali untuk melakukan kegiatan-kegiatan di
bidang kerohanian dan sosial. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan pendudukan Jepang, sebahagian besar struktur
organisasi Pemerintahan Hindia Belanda tetap dilanjutkan. Kabupaten maupun
Kotapraja-kotapraja berjalan terus, dimana semua kekuasaan dijalankan oleh
Kentyo (Bupati) dan Sico (Walikota). Adapun wilayah yang diduduki oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dibentuk
pemerintahan dengan nama Minseifu yang berpusat di Makassar. Pemerintahan di
Sulawesi, Kalimantan dan Seram disebut Minseibu. Daerah bawahannya meliputi syu
(keresidenan), ken (kabupaten), bunken (sub-kabupaten), gun (kewedanaan), son
(kecamatan), dan ku (desa). Sehubungan
dengan perubahan susunan tata pemerintahan di To Indo (sebutan Jepang unutk
Indonesia) tersebut, Stadsgemeente Makassar berobah menjadi Syi Makassar.
Sebagai Syico (Walikota) dipangku oleh orang Jepang sendiri yaitu B.Yamasaki
(1942-1944). Demikian juga jabatan walikota di Menado, Banjarmasin, dan
Pontianak.
Untuk menjalankan pemerintahan Syico
Makassar, B.Yamasaki dibantu oleh Wakil Syico yaitu Misawan, seorang opsir Dai
Nippon, dan seorang lagi dari penduduk asli yaitu Nadjamuddin Dg.Malewa.
Sekretariat Daerah Gemeente (Kotapraja) Makassar secara struktural dan
prosedural tetap berjalan tanpa dirobah, dengan hanya mengalami penggantian
nama dari pada unit-unit tersebut kedalam istilah atau bahasa Jepang.
Untuk memperkuat kekuatan tentara
Dai Nippon baik yang ada di Makassar, maupun di Sungguminasa, dibangunlah jalan
pintas dari Makassar ke Sungguminasa yang memotong Kampung Pa'baeng-baeng
menuju Kampung Gunungsari. Jalan ini dibangun mengingat jalan yang ada di
Lempong, Jongaya (Jln.Andi Tonro) rusak akibat banjir yang melanda Kota
Makassar. Pasar Jongaya yang terletak di Kampung Kawa (sekarang ditempat Taman
Kanak-kanak, Jln.Kumala, Jongaya), oleh Tentara Jepang memindahkan ke
Pa'Baeng-baeng sehingga berubah namanya menjadi Pasar Pa'Baeng-baeng. Dengan
pemindahan pasar Jongaya, maka Kampung Pa'Baeng-baeng menjadi ramai.
Sampai akhir pendudukan Jepang di
Makassar, kampung Mattoanging tetap
menjadi saksi sejarah yang sangat berharga, menurut pengakuan Hasyim Dg Jumpa;
“ Pada hari Jum’at dibulan July, sekitar jam
sebelas pagi, tentara sekutu membombardir wilayah Mattoanging yang menyebabkan
jatuhnya ratusan korban jiwa, baik itu dari tentara Jepang, sisah tawanan
tentara Belanda, dan warga asli. Karena begitu banyaknya korban, maka mereka
hanya bisa dikubur secara massal, terutama mereka yang tidak memiliki keluarga.
Adapun kuburan Massal itu sekarang telah menjadi perumahan Falmboyan Recidence,
akan tetapi sebelumnya pernah didirikan Gudang Wahyu. Sejak pemboman itu Jepang
telah terkalahkan dan tansi KES-nya diambil alih oleh tentara sekutu”[23].
Dengan berakhirnya pendudukan Jepang
di Makassar seiring dengan lahirnya proklamsi kemerdekaan Indonesai pada
tanggal 17 Agustus 1945, Masyarakat Mattoanging menyambut dengan suka cita,
meski kabar berita itu diperolah atau diketahui beberapa hari setelahnya, ini
diakibatkan belum lancarnya sistem informasi pada saat itu. Meski telah merdeka
situasi yang masih mencekap karena belum kondusifnya situasi dikarenakan
kembalinya tentara sekutu yang berkedudukan di tansi KES yang sekarang telah
menjadi Asrama Lompo Battang, dirasakan oleh masyarakat Mattoanging sebagai
tanda penjajahan masih akan tetap berlanjut.
1.3
Kampung
Mattoanging di Awal Kemerdekaan 1945-1950
Meski
Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan rakyat Indonesia
diseluruh pelososk termasuk di Makassar telah mengetahui kabar bahagia
tersebut, akan tetapi yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, khususnya di
Makassar masih dalam suatu kondisi yang tidak menentu, dimana keberadaan
penjajah dalam hal ini sekutu masih nyata. Kita semua ketahui bahwa setelah
proklamasi, bangsa kita dihadapkan pada suatu perang untuk mempertahankan
kemerdekaan yang telah dicapai dari tangan sekutu yang dengan segala cara ingin
mencoba merebut kembal kemerdekaan tersebut. Kita pasti mengenal bagimana
perang di Suarabaya, khususnya pada tanggal 11 November 1945 atau di Yogyakarta
dimana terjadi agresi militer I dan II. Di Makassar tidak jauh berbeda adanya,
meski dalam sejarah tidak tercatat perang kemerdakaan yang begitu dahsyat.
Meski
demikian dalam sejarah Sulawesi Selatan dalam hal perang kemerdekaan. Tercatat
di beberapa daerah pernah megaami suatu peristiwa yang sangat menyedihkan dalam
usaha mempertahankan kemerdekaan. Semua pasti pernah mendengar Korban Empat
Puluh Ribu Jiwa, peristiwa inilah yang sangat besar dalam kaitannya perang
Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar. Meski Korban Empat
Puluh Ribu Jiwa ini tidak hanya terjadi di Makassar melainkan juga terjadi di
Takalar, Gowa, Maros, Pare-pere, Sidenreng Rappang, dan Polewali Mandar, akan
tetapi saya tidak akan menyinggung lebih jauh mengenai hal ini, melainkan
menjadikannya pintu masuk untuk melihat peristiwa ini dalam hal yang lebih kecil,
yakni bagimana usaha-usaha dan pergerakan ini di wilayah Mattoanging.
Seperti
kita ketahui, sejak kekalah Jepang pada Perang Dunia ke-II, tentara sekutu
kembali ke tanah air, termasuk di Makassar. Untuk tentara KNIL sendiri di
Makassar menduduki tansi KES yang sekarang telah menjadi Asrama Lompo
Battang[24]. Melihat banyaknya kelompok-kelompok
bersenjata di Sulawesi Selatan pada umumnya, yang mencoba memberontak akan
keberadaan kembali tentara sekutu di Makassar, sebut saja Lapris atau Gerakan
Laskar Lipang Bajeng, pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik
Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden
memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas
besar tentara di Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST
pimpinan Raymond Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik
serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling
diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil
langkah-langkah yang dipandang perlu[25].
Pada tanggal
15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20
orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya,
NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut
diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak bulan Oktober
1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan
pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka. Westerling sendiri
baru tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan
Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di Mattoangin. Di sini dia menyusun
strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya
sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de
Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi
Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada
ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan
tahanan. Suatu buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.
Adapun operasi pembantaian yang dilakukan oleh
Westerling di Makassar dilakukan dengan beberapa tahap;
“Aksi pertama operasi Pasukan Khusus
DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa
Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling
sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang
dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin
oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang.
Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu
oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa
Batua.
Pada fase
pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu
pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring
ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung
ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45
seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua.
Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa
jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak
dipisahkan dari pria.
Fase kedua
dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan
pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada
rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak"
yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus
membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang
dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan
nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam
laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis,
23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga
adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala
desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari
anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat
disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4
hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah
"sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian
rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri
operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946.
61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa
Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya
pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang
terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut
laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh
tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada
malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di
sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi”[26].
Kaitannya
dengan study pembahasan yang digali oleh penulis ialah, bagaimana Kampung
Mattoanging pada masa itu mengambil peran yang cukup penting. Beberapa pemuda
yang berada di daerah ini masuk dan tergabung dalam usaha perang kemerdekaan
khususnya bergabung dalam kelompok Lapris Makassar yang pada saat itu
Mattoanging, khususnya di Bonto Rannu menjadi salah satu tempat berkumpul dan
bersembunyi serta memulai penyerangan saat tentara sekutu lengah. Dalam
pergerakan dan perjuangan ini, muncul seorang sosok yang dikenal dengan nama
Tuan Guru Cembu, sosok inilah yang menjadi pemimpin Lapris di Mattoanging yang
bermarkas di Bonto Rannu[27]. Sementara itu beberapa kalangan pemuda
Mattoanging yang bekerja sebagai buruh kebersihan termasuk didalamnya Hasyim Dg
Jumpa, disela-sela menyapu mencoba mencuri atau mengumpulkan beberapa martir
atau peluru yang berceceran kemudian diserahkan pada para pejuang Lapris yang
bermarkas di Bonto Rannu tadi. Sejak kedatangan Westerling, kelompok Lapris di
Mattoanging tadi berhasil ditemukan dan bantai. Tuang Guru Cembu sendiri
diculik dan nasibnya sampai saat ini tidak ada yang tahu lagi.
Selanjutnya peristiwa-peristiwa yang
terjadi diawal-awal kemerdekaan, secara berurutan lahirnya Republik Indonesia
Serikat hingga tahun 1950-an, Negara Indonesia Timur, negara boneka bentukan
Belanda, Pemberontakan-pemberontakan lokal seperti Apris pimpinan Andi Azis
pada tahun 1949-1955, Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar pada tahun 1953-1962,
ternyata Kampung Mattoanging tidak menemukan suatu hal yang penting dan menerik
dalam study maupun penelitiannya. Memang disadari bahwa, baik dizaman RIS,
maupun NIT, Makassar memiliki peran yang sangat penting, akan tetepi itu hanya
dalam segi politis yang lebih ke hal pemerintahan, begitu pula dengan kehebohan
kedua pemberontakan diatas di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Makassar pada
khususnya, akan tetapi keberadaan Kampung Mattoanging sebagi wilayah spasial
study penulis, tidak mengambil peranan penting dan berpengaruh seperti halnya
perang kemerdekaan seperti yang di bahas sebelumnya.
[1]http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-dibyakusya-33324
(akses 15 November 2012).
[2][2]Pada tahun 1900-an smapai 1950 kota
Makassar merupakan standsget meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi
ibukota Celebes Onderhorighenden(Sulawesi
dan daerah Taklukannya), Groote Oost (Timur Besar), Residentie Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (BIT:
1946-1950). Untuk lebih lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di
Makassar tahun 1900-1950 baca, Muchlis
Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar
1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984).
[3] Ibid. hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 7.
[5] Ibid.
[6] Edward. L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan
Makassar 1906-1942,( Yoyakarta, Penerbit Ombak, 20040), hlm. 2-3.
[9] Arsip Pemerintah Kotamadya Makassar, Kabag Pemerintahan, Pembentukan dan Perkembangan Tahunan
Pemerintahan di Kota Makassar, terbitan tahun 2011, hlm. 23.
[10] Arsip Kelurahan Mattoanging, Berita Acara Musyawarah Pembahasan Batas-Batas Kelurahan Mattoanging
dan Kelurahan Buyang, 1992.
[17] A. Rasyid Asba, Katalog
Sejarah Lisan Jepang di Sulawesi Selatan, (Makassar, Pusat Kajian
Multikultural dan Pengembangan Regional, Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora,
Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, 2007), hlm. 236.
[18] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa,
Mattoanging, 28 November 2012.
[21]Wawancara: Ny. Aisyah Dg Kilana,
Flamboyan, Mattoanging, 24 November 2012.
[25] http://www. Sinarmentaripagihari.wordpress.com/ Korban 40 Ribu Jiwa/ Pembantaian
Westerling, ( Akses
14 November 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar