Selasa, 16 Juli 2013


BAB III
Kampung Mattoanging Sampai Awal Kemerdekaan Republik Indonesia

3.1       Mattoanging Sebagai Kampung Kota
Kampung Kota  merupakan akar budaya permukiman khas di Indonesia. Di dalamnya, penghuni dengan berbagai latar belakang status sosial dan ekonomi dapat bertahan hidup di tengah kemajuan kota yang pesat. Dalam situasi krisis yang tidak menguntungkan, keberadaan kampung kota menjadi penting karena di dalamnya terdapat beragam proses unik yang dilakukan oleh penghuni berpenghasilan menengah ke bawah sesuai dengan kemampuannya yang terbatas[1].
Apa yang coba dijelaskan di atas, sengaja dipilih oleh penulis karena pengertian tersebut paling relevan dengan study kasus yang coba dikupas dalam penulisan skripsi ini. Kampung kota dikatakan sebagai akar budaya pemukiman di indonesia, memang benar adanya. Dimasa pemerintahan kolonial Belanda perkampungan atau kampung dijadikan sebagai salah satu cara penataan pemerintahan di hampir semua kota dudukan Belanda di Indonesia. di beberapa kota di Indonesia saat ini masih memperlihatkan sisa-sisa keberadaan kampung tersebut, serta menjadi cikal bakal atau titik awal keberadaan kota moderen saat ini. Kota seperti Surabaya, Semarang, kampung menjadi suatu elemen yang sangat berpengaruh dan penataannya sampai saat ini masih dipertahankan sesuai pembahasan Purnawan Basudoro dalam bukunya Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan. Selanjutnya di Padang dijelaskan oleh Freck Colombin dalam bukunya Paco Paco Kota Padang, kampung juga disinggung sebagai suatu hal yang penting dalam perkembangan kota.
Berkaitan dengan study pembahasan dalam skripsi ini, dimana melihat kampung di Kota Makassar dalam perkembangannya, dan menempatkan perubahan yang terlihat dari kampung tersebut sebagai objek kajian, mencoba menjadikan pengertian kampung kota diatas dalam membuka kerangka pembahasan mengenai kampung di Kota Makassar. Pembahasan yang dimaksud tentunya pembahasan yang lebih spesifik pada suatu kampung yakni Kampung Mattoanging. Berdasar pada pengertian kampung kota diatas, Kampung Mattoanging memperlihatkan ciri yang serupa dalam keberadaannya serta perkembangan dan perubahan yang dialami. Kampung tersebut hingga saat ini masih terlihat meski telah bercirikan suatu kampung yang menjadi pelengkap dari gemerlap moderenisme Kota Makassar saat ini.
Sebagai suatu akar budaya pemukiman, Kampung Mattoangin merupakan suatu kampung yang berada pada Distrik Mariso sebagai suatu pemukiman yang telah tertata rapi sesuai dengan status Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 1900-an sampai 1950[2]. Mattoanging sendiri memiliki nama yang sangat unik karena diambil dari bahasa bugis yang berarti berangin-angin atau mendapatkan hawa segar dan sejuk[3]. Pada masa itu Kampung Mattoanging berada oleh apitan kampung-kampung lain yang juga berada pada distrik yang sama dalam hal ini Distrik Marisso. Untuk sebelah utara Kampung Mattoanging berbatasan dengan Kampung Marisso, di sebelah barat berbatasan dengan Kampung Bayang, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Parang dibatasi oleh Kampung Sambung Jawa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Bonto Rannu[4]. Berbicara mengenai penduduk, Kampung Mattoanging banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Bugis dan Makassar, serta beberapa pendatang dari Jawa[5]. Mata pencahariannya pun hanya berkisar pada bertani, nelayan, buruh/kuli dan sebahagian yang berjualan.
. Disaat Pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 yang dimana menjadi  masa pemerintahan dan kekuasaan yang secara seutuhnya dan menyeluruh setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan[6].
Setelah itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan pemerintahan sesui dengan system pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan setelah penguasaan diseluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah bentuk pemerintahan militer-sipil[7].  Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka[8].
Saat itu pulalah Kampung-kampung yang ada di Makassar, termasuk Kampung Mattoanging mulai mengenal pemerintahan yang utuh, dimana saat itu Kampung Mattoanging yang berada dalam Districk  Marisso memilki pemimpin atau kepala kampung yang disebut Matoa. Hingga saat ini sejak tahun 1961 bersamaan dengan pembentukan kecamatan Mariso, Kampung Mattoanging telah menjadi suatu kelurahan yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Mariso, Kotamadya Makassar[9]. Dalam perkembangannya dalam hal pemerinthan, Kelurahan Mattoanging pernah dimekarkan menjadi dua kelurahan pada tahun 1992. Pada tahun 1992 tersebut, Kelurahan Mattoanging dimekarkan menjadi dua kelurahan yakni Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan Buyang[10]. 
Penjabaran di atas mengenai Kampung Mattoanging sebagai suatu cikal bakal dari lahirnya Kelurahan Mattoanging saat ini adalah merupakan penjelasan dalam hal pemerintahan. Selanjutnya kita akan bahas kampung Mattoanging sebagai kampung kota dalam hal sosial budaya dan ekonomi. Dari segi sosial budaya, Kampung Mattoanging pada awalnya dihuni oleh hampir sebagian besar penduduk suku Makassar, ditambah beberepa orang bugis. Seiring perkembangan zaman penduduk di Kampung Mattoanging kemudian bertambah dengan kedatangan orang-orang Tionghoa, dan Jawa. Dimasa pemerintahan Hindia Belanda, kampung Mattoanging dijadikan sebagai salah satu tempat latihan oleh tentara Belanda, hal ini menjadikan penduduk yang menghuni perkampungan ini bertambah oleh kehadiran tentara Belanda tadi[11]. Budaya yang terlihat dari Kampung ini juga kebanyakan dihiasi oleh budaya Bugis dan Makassar. Satu hal yang unik dari tradisi yang ada pada Kampung Mattoanging ini, khususnya di masa kerajaan, kampung Mattoanging dijadikan tempat untuk melihat angin untuk menentukan cuaca termasuk curah hujan[12].
Dari segi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di Kampung Mattoanging tidak terlalu banyak memperlihatkan perubahan yang mendasar pada masa sekarang ini. Dari segi penduduk, Etnis Bugis dan Makassar tetap menjadi penduduk mayoritas, yang sedikit berbeda ialah bertumbuhnya penduduk Jawa dan Tionghoa.
1.2              Kampung Mattoanging Dari Kolonial Sampai Masa Pendudukan Jepang 1905-1945
Selama Hindia Belanda berkuasa di Makassar terhitung dari tahun 1906 sebagai pemerintahan utuh, tidak banyak kebijakan yang menyentuh Kampung Mattoanging. Hanya karena Kampung Mattoanging berada dalam sekitaran pusat pemerintahan Hindia Belanda di Benteng Roterdam, penduduk yang bermukin di Kampung Mattoanging sering breinteraksi dengan tentara Belanda. Secara pemerintahan dan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dirasa oleh Masyarakat Mattoanging sama dengan apa yang dirasa oleh masyarakat Makassar pada umumnya. Perekonomian dan penataan pemerintahan yang cenderung stabil adalah cerita yang mewarnai Kampung Mattoanging semasa pemerintahan Belanda.
Satu hal yang cukup menarik ialah, wilayah Kampung Mattoanging ini dijadikan oleh Pemerintah Hindia belanda sebagai tempat pergudangan untuk barang-barang perekonomian serta peralatan perang tentara Hindia Belanda. Pusat pergudangan ini berada di Jalan hati mulya saat ini[13]. Selain itu Kawasan Mattoanging ini, khususnya di Bonto Rannu, dijadikan pusat pembuatan perahu-perahu kecil, kapal kayu, dan sekoci[14]. Para pekerja yang dipekerjakan dipembuatan perahu ini adalah orang-orang dari Jawa yang disebut kolonisasi dan dibantu oleh pekerja-pekerja yang memiliki keterampilan dibidang pembuatan kapal dari Mattoanging sendiri[15]. Perahu-perahu ini diperuntukan oleh Belanda sebagai alat pendaratan kapal-kapal besar yang tidak bisa sandar di sandaran kecil yang berada di Bonto Rannu. Kebanyakan barang yang dimuat ialah barang-barang selundupan yang tidak diawasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Secara umum hingga akhir Pemerintahan Hindia Belanda Kampung Mattoanging tidak mengalami perkembangan yang signifikan diberbagai bidang.
Keruntuhan Pemerintahan Hindia Belanda ditandai dengan kedatangan dan penaklukan yang dilakukan oleh Jepang pada tahun 1942. Kekalahan Sekutu dalam Perang dunia I ini juga berimbas pada wilayah jajahan Hindia Belanda di Nusantara, salah satunya di Makassar. Perang Pasifik mulai pecah ketika Jepang menyerang dan membom Pearl Harbor di Hawai pada tanggal 8 Desember 1941, sebagai awal dan bagian dari Perang Dunia II di Pasifik. Setelah penyerangan atas Pearl Harbour, kemudian melanjutkan penyerangannya ke Malaya, Singapura, Filipina, Burma, dan Hindia Belanda (Indonesia). Atas penyerangan Jepang kebeberapa Negara di Asia tenggara, oleh Gubernur Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan Hindia Belanda dalam keadaan siap perang. Setelah adanya pengumuman dari Batavia yang menyatakan siap perang, pemerintah Belanda (KNIL) yang berkedudukan di Makasar memerintahkan penduduk kota Makassar untuk menyingkir ke kampung-kampung dipinggiran Kota Makassar, termasuk di Sungguminasa, Barombong, Mandai, dan Maros. Penyerangan pihak Jepang ke Indonesia diawali melalui penyerangan ke Pulau Kalimantan dan berhasil menduduki Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 yang merupakan ladang minyak terbesar, kemudian dilanjutkan kekota-kota lainnya, dan selanjutnya Banjarmasin dapat pula diduduki pada tanggal 10 Pebruari 1942. Penyerangan Kaigun (Angkatan Laut Jepang) dengan tujuan Makassar dilakukan pada tanggal 9 Pebruari 1942 melalui serangan dari arah selatan. Tentara Jepang yang ribuan banyaknya mulai mendarat di Galesong Utara, Kampung Sampulungan, untuk selanjutnya menuju Barombong, dan Sungguminasa. Di Barombong tentara Jepang melihat banyak pengungsi dari Makassar. Pengungsi ini diperintahkan oleh Belanda agar mengungsi keluar kota, ada yang menuju Maros dan juga ke Gowa berhubung tentara Jepang akan menyerang Makassar. Salah seorang komandan dari tentara Kaigun terdapat Adoi yang pernah menetap di Makassar, pemilik Toko Ketajima yang terletak di Hoge Pad (Jln.Letjen A.Yani sekarang), dan satunya lagi Toko Kaneko di Passart Strat (Jln.Nusantara). Toko inilah yang pertama menjual tiga-roda yang didatangkan dari Jepang termasuk sepeda dan mobil buatan Jepang. Adoi sudah mengetahui persis letak kekuatan Tentara Belanda, karena sejak ia menetap di Makassar sudah membuat beberapa sketsa yang akan digunakan untuk menyerang posisi tentara Belanda. Di Barombong ia sempat bertemu dengan salah satu karyawannya yang pernah bekerja di tokonya pada tahun 1939. Dari karyawannya tersebut ia mendapat informasi bahwa tentara Belanda telah memindahkan kekuatan pasukannya di Maros. 
Setiba di Sungguminasa, tentara Jepang langsung menyerang tangsi militer yang terletak di Pandang-pandang. Dalam waktu singkat, akhirnya Sungguminasa dapat dikuasai. Selanjutnya tentara Jepang memotong jalan menuju Maros, dimana kekuatan tentara Belanda dipusatkan disebelah timur Maros. Setelah Maros dapat dikuasai, penyerangan di lanjutkan ke Makassar, kekuatan tentara Belanda di Makassar tidak besar jumlahnya. Akhirnya dalam waktu singkat, pada tanggal 10 Februari 1942 tentara Jepang atau disebut tentara Dai Nippon Teikoku dapat menguasai Kota Makassar, untuk selanjutnya dengan mudah pula menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Setelah Makassar dalam keadaan aman, maka diperintahkanlah semua penduduk yang sebelumnya disuruh menyingkir oleh tentara Belanda, untuk kembali kerumahnya masing-masing. Tentara Dai Nippon yang demikian banyaknya menempati beberapa bangunan milik Belanda sebagai asrama, antara lain: tangsi KIS, Benteng Ujung Pandang, Asrama Gowa, dan perumahan-perumahan orang Belanda antara lain di Jln.Ratulangi (sekarang). Selain itu, di Kampung Borongjambua, Jongaya dibangun pula asrama untuk Tentara Dai Nippon (sekarang asrama Armed 6-76). Mengenai orang-orang Belanda yang sudah kalah, ditawan dan dimasukkan dalam penjara, salah satunya adalah penjara Hogepaad, depan lapangan Karebosi[16].
Kedatangan Jepang di Makassar ditandai dengan pendaratan pertama tentara Jepang di Takalar yang berasal dari Batavia, kemudian masuk ke Makassar[17]. Di Mattoanging sendiri Jepang masuk melalui pendaratan pertama di Kalukuang, dan sejak itu keadaan berubah drastis, keadaan kondusif di bawah pemerintahan Hindia Belanda berubah 180% menjadi penderitaan yang sangat pedih bagi masyarakat, khususnya di Mattoanging[18].
Sejak kedatangan Jepang, wilayah Mattoanging dijadikan oleh Pemetintah Jepang sebagai salah satu tempat penampungan semacam penjara bagi tahanan tentara Belanda. Tahanan itu hanya merupakan suatu lapangan persegi yang kemudian diberi pagar dari besi-besi drum yang disusun. Dalam tahanan tersebut, tentara belanda diperlakukan sangat mengenaskan dengan tidak diberi makanan yang cukup namun dipekerjakan secara sangat keras, tak heran jika kemudaian banyak tentara tahanan yang menjadikan bila dan batang pisang sebagai bahan  makananan untuk bertahan hidup, dan bagi mereka yang tidak mau menjadikan bila dan batang pisang sebagai makanan, banyak yang meninggal[19]. Penderitaan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh tentara Belanda yang menjadi tahanan Jepang, akan tetapi juga dirasakan oleh masyarakat pribumi.
Kampung Mattoanging ternyata mengambil peranan penting dalam sejarah pendudukan Jepang di Makassar. Selain dijadikan salah satu penjara bagi tahanan tentara Belanda, di Mattoanging juga didirikan sebuah pos penjagaan untuk mengontrol keamanan diwilayah ini, pos ini kemudian disebut sebagai Pos Monyet[20]. Selain itu keberadaan tansi Kes sebagai asrama tentara Jepang di Makassar mempertegas bahwa Kampung Mattoanging ini merupakan salah satu wilayah vital bagi pemerintahan Jepang atau disebut Dai Nippon di Makassar.  Selanjutnya tentara Belanda yang menjadi tahanan tadi dipekerjakan secara paksa oleh tentara Jepang untuk menggali selokan besar dari Sambung Jawa sampai laut, dengan tujuan tentara Jepang memilki akses lain menuju daratan selain di Pelabuhan makassar[21]. 
Dizaman pendudukan Jepang kita semua ketahui bahwa Nippong berusaha merekrut para pemuda untuk dijadikan pejuang dan tentara, diantaranya kita kenal dengan Peta dan Heiho. Di Kampung Mattoanging Nippon juga berusaha menggalang para pemuda untuk dilatih dan kemudian dijadikan Kaigun Heiho (Pembantu Tentara Angkatan Laut). Pada awal tahun 1943, Jepang mulai memanfatkan potensi pemuda Indonesia dengan membentuk organisasi pemuda sebagai sumber tenaga yang diharapkan membantu kegiatan militer disegala bidang sebagai perubahan posisi menyerang ke posisi bertahan, mengingat Jepang sudah mendapat serangan balik dari tentara Sekutu. Organisasi pemuda yang pertama dibentuk oleh Jepang adalah Jawa Seinendan yang dipimpin langsung oleh Syaiko Syikikan. Jawa Seinendan dibentuk pada tanggal 29 Maret 1943, dan diumumkan secara resmi dengan penyerahan panji-panjinya pada tanggal 29 April 1943 bertepatan ulang tahun Kaisar Jepang. Organisasi ini, menggembleng pemuda yang dapat digunakan untuk membantu tugas-tugas militer Jepang disegala bidang. Selain latihan militer yang sangat disiplin, juga diperkenalkan budaya serta tradisi  Jepang, termasuk penggunaan bahasa Jepang, pengibaran bendera (Hinomura) dan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo). Setelah Seinendan, menyusul dibentuk beberapa organisasi pemuda dalam tahun itu juga (1943) yaitu: Keibodan yang bertugas untuk membantu tugas kepolisian, Heiho sebagai bagian dari Tentara Jepang, dan Peta (Pembela Tanah Air).
Untuk memperkuat kedudukan Tentara Dai Nippon di Makassar, sejak bulan Januari 1943 dibuka pendaftaran bagi pemuda Indonesia untuk masuk Angkatan Laut (Kaigun Heiho). Pendaftaran dilakukan di Asrama Dai Nippon  K.I.S. Kampement di Mariso Strander Send Weg (sekarang Jln.Rajawali) yang dikepalai oleh Kawamura San. Selanjutnya pendidikan mulai dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Desember 1943 untuk angkatan pertama, dan angkatan kedua mulai bulan Juni sampai bulan Desember 1944. Dalam angkatan pertama diikuti oleh Jancy Raib (bekas Walikotamadya Ujung Pandang periode 1983-1988). Pendidikan Kaigun Heiho angkatan kedua ditempatkan di Pulau Kodingareng.
Kawamura San, disamping sebagai Kepala Otsunobukawomura Hancho Heiho Gakko (Kepala Pelatih Instruktur Sekolah Komandan Angkatan) yang berkedudukan di tangsi KIS juga merangkap sebagai Nanggosensei Sihang Gakko (Kepala Sekolah Guru) di bekas HBS (SMA Negeri 1 Ujung Pandang sekarang).
Disamping dibentuk Kaigun Heiho, Jepang juga mempekerjakan penduduk diberbagai instalasi militer dan pemerintahan sipil, seperti Nippon Kritsu (Seni Bangunan Dai Nippon) di Fort Rotterdam yang dikepalai oleh Sujuki San, dan Pemerintahan Sico Makassar yang dikepalai oleh B.Yamasaki. Sehubungan dengan pembentukan Peta dibeberapa kota di Indonesia, Ir.Soekarno atau Bung Karno pada akhir tahun 1944 berkunjung ke Makassar dan meminta kepada Pemerintah Jepang (Minseibu) untuk mendirikan Peta, tetapi oleh Pemerintah Jepang hanya mengizinkan pembentukan Kaigun Heiho (Pembantu Tentara Angkatan Laut).
Selain pembentukan organisasi-organisasi pemuda di Jawa dan Sumatera yang dikuasai Angkatan Darat Jepang, di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Rikugun) juga dibentuk organisasi pemuda. Organisasi pemuda yang dibentuk di Makassar antara lain adalah Pasukan Boo Ei Tai  Sin Tai di bawah Pimpinan Manai Sophian dan Pasukan Putra-putri di bawah Pimpinan Ines Manoroinseng. Kesatuan pemuda yang sudah dibentuk diterima dan diinspeksi langsung oleh Nadjamoeddin Dg.Malewa dalam suatu upacara yang dilaksanakan di Karebosi pada tahun 1944. Meski di Mattoanging jumlahnya tidak banyak akan tetapi ini sebuah fakta sejarah yang sudah seharusnya diungkap dalam penulisan skripsi ini.
Untuk urusan Pemerintahan,  Pada tanggal 6 Desember 1942 Ratu Belanda Wilhelmina menyampaikan pidato radionya dari London yang menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II Kerajaan Belanda akan disusun kembali berdasarkan azas “complete and equal partnership” diantara anggota-anggotanya yang merupakan masing-masing bagian dari kerajaan Belanda, yaitu Negara Belanda, Indonesia (Hindia Belanda), Suriname, dan Curacao. 
Setelah penyerahan kekuasaan kepada Tentara Jepang (Dai Nippon), maka Tentara Jepang mulai menjalankan pemerintahan militer pendudukan yang dibagi dalam 3 daerah pemerintahan, yaitu:  Pemerintahan militer Angkatan Darat (Rikugun) Tentara Jepang ke-25, meliputi Sumatera berkedudukan di Bukittinggi,  Pemerintahan militer Angkatan Darat (Rikugun) Tentara Jepang ke-16, meliputi Jawa dan Madura berkedudukan di Jakarta,  Pemerintahan militer Angkatan Laut (Kaigun) meliputi meliputi Sulawesi, Borneo (Kalimantan), Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Maluku, dan Papua berkedudukan di Makassar[22]. Disini dapat dilihat bahwa sejak awal Makassar telah mengambil peranan penting dalam pemerintahan Jepang selama pendudukan di Indonesia.
Pemerintahan militer Jepang disebut Gunshireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang), kemudian pada tanggal 1 September 1943 menjadi Saikoo Shikikan (Panglima tertinggi) yang merupakan pucuk pimpinan yang akan menjalankan pemerintahan sipil tertinggi (sama dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Di bawah Saiko Shikikan disebut Gunseikan (Kepala pemerintah militer). Staf pemerintahan militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang membawahi departemen yang disebut Bu. Untuk menjalankan pemerintahan sipil, maka didatangkanlah tenaga-tenaga sipil dari Jepang. Mengingat tenaga yang didatangkan terbatas, maka diangkatlah pegawa-pegawai bangsa Indonesia. Dengan diangkatnya pegawai-pegawai Indonesia, maka pada tanggal 1 April 1942 pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Salah satu peristiwa penting lain yang terjadi pada tanggal 1 April 1942 adalah penetapan waktu (jam) yang sama dengan waktu Jepang (Tokyo). Menyusul pada tanggal 29 April 1942 tarikh yang dipakai ialah tarikh Sumera. Tarikh Masehi pada waktu itu sama dengan tahun 2602 Sumera. Pada bulan Agustus 1942 pemerintah militer mengeluarkan lagi Undang-undang Nomor 27 Tahun 2602 (1942) (Kan Po Nomor 1) tentang Aturan Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2602 (1942) (Kan Po Nomor 2) tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsu Syi, berlaku untuk Daerah Pemerintahan Rikugun (Angkatan Darat), menggantikan undang-undang Pemerintah Hindia Belanda dan menunjukkan berakhirnya masa pemerintahan sementara.
Suatu perubahan lain dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 1942 ialah bahwa tugas regent yang dulu dilakukan dalam lingkungan wilayah kota (stadsgemeente) dialihkan kepada Syico (burgemeester), demikian juga sebutan Bestuurdiens diciptakan istilah Indonesia yaitu "pangrehpraja", sedang jabatan gouverneur dihapuskan. Dengan adanya ketentuan tersebut, Staadsgemeente dirobah menjadi Syi dengan kepala pemerintah disebut Syico. Sebagai konsekwensi dari Undang-undang Nomor 27 Tahun 2602, seluruh Jawa kecuali Surakarta dan Yogjakarta, pemerintahan daerah dibagi atas Syu (kresidenan), Syi (kotapraja), ken (kabupaten), gun (kewedanaan atau distrik), son (kecamatan atau onderdistrik), dan ku (desa atau kelurahan), yang masing-masing dikepalai berturut-turut syuco, syico, kenco, gunco, sonco, dan kuco. Dengan adanya perubahan itu, maka propinsi yang telah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda dihapuskan. Sedangkan di luar Jawa, dibentuk susunan pemerintahan yang paralel. Osamu Seirei (Surat Keputusan) Nomor 3 Tahun 2602 (1942) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang (Saikoo Shikikan) mengatur tentang pemberian wewenang kepada Walikota untuk menjalankan tugas Pemerintahan Umum yang semula hanya berhak untuk mengatur rumah tangga Gemeente saja. Kemudian kedudukan Stadsgemeente dan Regentschap diatur dalam Osamu Seirei Nomor 12 dan  Nomor 13 Tahun 2602 (1942) Kan Po 18. Peraturan ini menghilangkan sifat demokrasi dengan menghapus Raad dan College (Dewan-dewan Kabupaten dan Kotapraja) dengan menyerahkan kekuasaan kepada Kepala Daerah, sehingga otonomi Belanda berubah sifatnya menjadi otonomi Jepang (Nippon). Sedangkan mengenai pemerintahan Desa baru dikeluarkan pada tahun 1944, yang ditetapkan dalam Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944). Dengan dihapuskannya Raad dan College, maka semua kegiatan-kegiatan politik dilarang sama sekali termasuk organisasi politik dibubarkan,  kecuali organisasi tertentu yang dibentuk sendiri oleh Jepang. Selain itu, organisasi Islam  tetap diijinkan untuk tetap berdiri karena dinilai anti Barat. Dalam kaitan itu, pihak Jepang mulai mengadakan kontak dengan para tokoh masyarakat, terutama dari kalangan Islam, sehingga pada bulan September 1943 dua organisasi Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diijinkan berdiri kembali untuk melakukan kegiatan-kegiatan di bidang kerohanian dan sosial. Dalam menyelenggarakan pemerintahan pendudukan Jepang, sebahagian besar struktur organisasi Pemerintahan Hindia Belanda tetap dilanjutkan. Kabupaten maupun Kotapraja-kotapraja berjalan terus, dimana semua kekuasaan dijalankan oleh Kentyo (Bupati) dan Sico (Walikota). Adapun wilayah yang diduduki oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dibentuk pemerintahan dengan nama Minseifu yang berpusat di Makassar. Pemerintahan di Sulawesi, Kalimantan dan Seram disebut Minseibu. Daerah bawahannya meliputi syu (keresidenan), ken (kabupaten), bunken (sub-kabupaten), gun (kewedanaan), son (kecamatan), dan ku (desa).  Sehubungan dengan perubahan susunan tata pemerintahan di To Indo (sebutan Jepang unutk Indonesia) tersebut, Stadsgemeente Makassar berobah menjadi Syi Makassar. Sebagai Syico (Walikota) dipangku oleh orang Jepang sendiri yaitu B.Yamasaki (1942-1944). Demikian juga jabatan walikota di Menado, Banjarmasin, dan Pontianak.
Untuk menjalankan pemerintahan Syico Makassar, B.Yamasaki dibantu oleh Wakil Syico yaitu Misawan, seorang opsir Dai Nippon, dan seorang lagi dari penduduk asli yaitu Nadjamuddin Dg.Malewa. Sekretariat Daerah Gemeente (Kotapraja) Makassar secara struktural dan prosedural tetap berjalan tanpa dirobah, dengan hanya mengalami penggantian nama dari pada unit-unit tersebut kedalam istilah atau bahasa Jepang.
Untuk memperkuat kekuatan tentara Dai Nippon baik yang ada di Makassar, maupun di Sungguminasa, dibangunlah jalan pintas dari Makassar ke Sungguminasa yang memotong Kampung Pa'baeng-baeng menuju  Kampung Gunungsari. Jalan ini dibangun mengingat jalan yang ada di Lempong, Jongaya (Jln.Andi Tonro) rusak akibat banjir yang melanda Kota Makassar. Pasar Jongaya yang terletak di Kampung Kawa (sekarang ditempat Taman Kanak-kanak, Jln.Kumala, Jongaya), oleh Tentara Jepang memindahkan ke Pa'Baeng-baeng sehingga berubah namanya menjadi Pasar Pa'Baeng-baeng. Dengan pemindahan pasar Jongaya, maka Kampung Pa'Baeng-baeng menjadi ramai.
Sampai akhir pendudukan Jepang di Makassar, kampung Mattoanging  tetap menjadi saksi sejarah yang sangat berharga, menurut pengakuan Hasyim Dg Jumpa;
 “ Pada hari Jum’at dibulan July, sekitar jam sebelas pagi, tentara sekutu membombardir wilayah Mattoanging yang menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa, baik itu dari tentara Jepang, sisah tawanan tentara Belanda, dan warga asli. Karena begitu banyaknya korban, maka mereka hanya bisa dikubur secara massal, terutama mereka yang tidak memiliki keluarga. Adapun kuburan Massal itu sekarang telah menjadi perumahan Falmboyan Recidence, akan tetapi sebelumnya pernah didirikan Gudang Wahyu. Sejak pemboman itu Jepang telah terkalahkan dan tansi KES-nya diambil alih oleh tentara sekutu”[23].

Dengan berakhirnya pendudukan Jepang di Makassar seiring dengan lahirnya proklamsi kemerdekaan Indonesai pada tanggal 17 Agustus 1945, Masyarakat Mattoanging menyambut dengan suka cita, meski kabar berita itu diperolah atau diketahui beberapa hari setelahnya, ini diakibatkan belum lancarnya sistem informasi pada saat itu. Meski telah merdeka situasi yang masih mencekap karena belum kondusifnya situasi dikarenakan kembalinya tentara sekutu yang berkedudukan di tansi KES yang sekarang telah menjadi Asrama Lompo Battang, dirasakan oleh masyarakat Mattoanging sebagai tanda penjajahan masih akan tetap berlanjut.

1.3              Kampung Mattoanging di Awal Kemerdekaan 1945-1950
Meski Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan rakyat Indonesia diseluruh pelososk termasuk di Makassar telah mengetahui kabar bahagia tersebut, akan tetapi yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, khususnya di Makassar masih dalam suatu kondisi yang tidak menentu, dimana keberadaan penjajah dalam hal ini sekutu masih nyata. Kita semua ketahui bahwa setelah proklamasi, bangsa kita dihadapkan pada suatu perang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai dari tangan sekutu yang dengan segala cara ingin mencoba merebut kembal kemerdekaan tersebut. Kita pasti mengenal bagimana perang di Suarabaya, khususnya pada tanggal 11 November 1945 atau di Yogyakarta dimana terjadi agresi militer I dan II. Di Makassar tidak jauh berbeda adanya, meski dalam sejarah tidak tercatat perang kemerdakaan yang begitu dahsyat.
Meski demikian dalam sejarah Sulawesi Selatan dalam hal perang kemerdekaan. Tercatat di beberapa daerah pernah megaami suatu peristiwa yang sangat menyedihkan dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Semua pasti pernah mendengar Korban Empat Puluh Ribu Jiwa, peristiwa inilah yang sangat besar dalam kaitannya perang Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar. Meski Korban Empat Puluh Ribu Jiwa ini tidak hanya terjadi di Makassar melainkan juga terjadi di Takalar, Gowa, Maros, Pare-pere, Sidenreng Rappang, dan Polewali Mandar, akan tetapi saya tidak akan menyinggung lebih jauh mengenai hal ini, melainkan menjadikannya pintu masuk untuk melihat peristiwa ini dalam hal yang lebih kecil, yakni bagimana usaha-usaha dan pergerakan ini di wilayah Mattoanging.
Seperti kita ketahui, sejak kekalah Jepang pada Perang Dunia ke-II, tentara sekutu kembali ke tanah air, termasuk di Makassar. Untuk tentara KNIL sendiri di Makassar menduduki tansi KES yang sekarang telah menjadi Asrama Lompo Battang[24].  Melihat banyaknya kelompok-kelompok bersenjata di Sulawesi Selatan pada umumnya, yang mencoba memberontak akan keberadaan kembali tentara sekutu di Makassar, sebut saja Lapris atau Gerakan Laskar Lipang Bajeng, pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Raymond Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu[25].
Pada tanggal 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak bulan Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka. Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di Mattoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.
Adapun operasi pembantaian yang dilakukan oleh Westerling di Makassar dilakukan dengan beberapa tahap;
“Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi”[26].

Kaitannya dengan study pembahasan yang digali oleh penulis ialah, bagaimana Kampung Mattoanging pada masa itu mengambil peran yang cukup penting. Beberapa pemuda yang berada di daerah ini masuk dan tergabung dalam usaha perang kemerdekaan khususnya bergabung dalam kelompok Lapris Makassar yang pada saat itu Mattoanging, khususnya di Bonto Rannu menjadi salah satu tempat berkumpul dan bersembunyi serta memulai penyerangan saat tentara sekutu lengah. Dalam pergerakan dan perjuangan ini, muncul seorang sosok yang dikenal dengan nama Tuan Guru Cembu, sosok inilah yang menjadi pemimpin Lapris di Mattoanging yang bermarkas di Bonto Rannu[27].  Sementara itu beberapa kalangan pemuda Mattoanging yang bekerja sebagai buruh kebersihan termasuk didalamnya Hasyim Dg Jumpa, disela-sela menyapu mencoba mencuri atau mengumpulkan beberapa martir atau peluru yang berceceran kemudian diserahkan pada para pejuang Lapris yang bermarkas di Bonto Rannu tadi. Sejak kedatangan Westerling, kelompok Lapris di Mattoanging tadi berhasil ditemukan dan bantai. Tuang Guru Cembu sendiri diculik dan nasibnya sampai saat ini tidak ada yang tahu lagi.
            Selanjutnya peristiwa-peristiwa yang terjadi diawal-awal kemerdekaan, secara berurutan lahirnya Republik Indonesia Serikat hingga tahun 1950-an, Negara Indonesia Timur, negara boneka bentukan Belanda, Pemberontakan-pemberontakan lokal seperti Apris pimpinan Andi Azis pada tahun 1949-1955, Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar pada tahun 1953-1962, ternyata Kampung Mattoanging tidak menemukan suatu hal yang penting dan menerik dalam study maupun penelitiannya. Memang disadari bahwa, baik dizaman RIS, maupun NIT, Makassar memiliki peran yang sangat penting, akan tetepi itu hanya dalam segi politis yang lebih ke hal pemerintahan, begitu pula dengan kehebohan kedua pemberontakan diatas di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Makassar pada khususnya, akan tetapi keberadaan Kampung Mattoanging sebagi wilayah spasial study penulis, tidak mengambil peranan penting dan berpengaruh seperti halnya perang kemerdekaan seperti yang di bahas sebelumnya. 

 









[2][2]Pada tahun 1900-an smapai 1950 kota Makassar merupakan standsget meente/kotapraja yang antara lain pernah menjadi ibukota Celebes Onderhorighenden(Sulawesi dan daerah Taklukannya), Groote Oost (Timur Besar), Residentie Zuid celebes, kemudian Negara Indonesia Timur (BIT: 1946-1950). Untuk lebih lanjut mengenai perkembangan dan tata lingkungan di Makassar tahun 1900-1950 baca,  Muchlis Paeni, Anhar Gonggong, M Nur Baso, Sarita Pawiloi, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan Mobilitas Sosial Kota Makasar 1900-1950, (Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan ilai Tradisional, 1984).
[3] Ibid. hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 7.
[5] Ibid.
[6] Edward. L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942,( Yoyakarta, Penerbit Ombak, 20040), hlm. 2-3.

[7] Ibid, hlm. 96.

[8] Ibid, hlm. 88-97.

[9] Arsip Pemerintah Kotamadya Makassar, Kabag Pemerintahan, Pembentukan dan Perkembangan Tahunan Pemerintahan di Kota Makassar, terbitan tahun 2011, hlm. 23.

[10] Arsip Kelurahan Mattoanging, Berita Acara Musyawarah Pembahasan Batas-Batas Kelurahan Mattoanging dan Kelurahan Buyang, 1992.

[11] Wawancara: Hasim Dg Jumpa, Mattoanging 28 November 2012.

[12] Wawancara: Abd. Muthalib Dg Sewang, Mattoanging, 4 Oktober 2012. 
[13] Wawancara: Ismail Dg Ruru, Mattoanging, 17 Oktober 2012.

[14] Ibid.

[15] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.

[16] http/www. Wikipedia, Arifuddin Undip Blogspot, Pendudukan Jepang. (Akses 2 Desember 2012) .

[17] A. Rasyid Asba, Katalog Sejarah Lisan Jepang di Sulawesi Selatan, (Makassar, Pusat Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional, Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, 2007), hlm. 236.

[18] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21]Wawancara: Ny. Aisyah Dg Kilana, Flamboyan, Mattoanging, 24 November 2012.
[22] http/www. Wikipedia, Arifuddin Undip Blogspot, Pendudukan Jepang. (Akses 2 Desember 2012) .
[23] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.
[24] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.

[25] http://www. Sinarmentaripagihari.wordpress.com/ Korban 40 Ribu Jiwa/ Pembantaian Westerling, ( Akses 14 November 2012).
[26] Ibid.

[27] Wawancara: Hasyim Dg Jumpa, Mattoanging, 28 November 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar