Sabtu, 26 Februari 2011

Dinamika Politik Di Sulawesi Selatan Tahun 1900-1942


Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah. Kata tersebut merupakan kata yang paling cocok untuk mengungkapkan bagaimana kesyukuran kami setelah mampu menyelesaikan makalah ini. Terima kasih banyak terhadap teman-teman satu kelompok yang telah bersama berusaha untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih pula tak terlupakan dihaturkan pada dosen kita Bapak. Amrullah yang selalu memberi bimbingan bagaimana makalah ini bisa terselesaikan.
Selanjutnya, sebagai umat manusia yang sadar betul akan ketidak sempurnaannya juga mengakui bahwa dalam megerjakan sampai menyelesaikan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dari berbagai bagian. Olehnya itu kami harapkan pada pembaca agar kiranya setelah membaca makalah ini dan menemukan ketidak cocokan ataupun kekurangan lain dalam pengolahan dan pembahasan fakta sejarah ini, dapat memberi keritikan maupun sarannya kepada penulis untuk perbaikan makalah ini. Terima kasih banyak.













Daftar Isi

Halaman Judul ………………………………………………………………….i
Kata Pengantar …………………………………………………………………ii
Daftar Isi …………………………………………………………………iii
BAB I Pendahuluan
1. Pengertian Sejarah, Politik, dan Sejarah Politik …………………………1
2. Batas Temporal dan Spasial …………………………………………………1
3. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………3
BAB II Pembahasan
1. Sistem Politik dan Pemerintahan Lokal Makassar
A. Konsepsi Tomanurung ………………………………………………...4
B. Demokrasi Lokal Sulawesi selatan …………………………………………………………5
2. Pemerintahan Hindia Belanda di Makassar
A. Pelaksanaan dan Pengaturan Wilayah Pemerintahan ………………………6
B. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Lokal ………………………7
3. Gerakan Messianisme di Makassar
A. Gerakan I Tolok ………………………………………………………..8
B. Gerakan kepercayaan ………………………………………………..9
BAB III Kesimpuan ……………………………………………………………….11
Indeks ……………………………………………………………………………….13
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….14

BAB I
Pendahuluan

1. Pengertian Sejarah, Politik, dan Sejarah Politik.
Sejarah ialah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku . Sedangkan usaha untuk mencapai kekuasaan dan membawa tujuan untuk masyarakatnya adalah suatu politik . Berdasarka pengertian diatas, maka dapat disimpulkan sejarah politik merupakan peristiwa masa lampau mengenai peristiwa yang berkaitan dengan usaha serta kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat banak dalam suatu wilayah.

2. Mengapa Harus Tahun 1900-1942 dan Mengapa Harus Sulawesi Selatan Yang Dibahas.

Selanjutnya salah satu elemen yang sangta penting dalam membahas sejarah, yakni harus jelasnya batas temporal dari ruang lingkup yang akan dibahas . Mengapa demikian, perlu diketahui bahwa membahas sejarah, sejarah politik misalnya ruang lingkupnya sangatluas. Bayangkan saja jika kita harus membahas bagaiman dinamika politik yang sudah nampak saat masih zaman kerajaan hingga saat ini, butuh waktu berapa lama, selain itu pembahasan tidak akan terfokus. Selanjutnya dalam pembahasan dinamika sejarah politik dibatasi dari tahun 1900 sampai 1942.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa periode tahun 1900 sampai 1942 yang dipilih. Maka jawaban yang mungkin tepat adalah pernyataan yang mengatakan bahwa apasih yang tidak dialami bangsa ini pada periode tersebut. Carut marut pemerintahan kolonial serta peralihan kekuasan yang silih berganti antara berbagai imperium kolonial, awal lahir bangkitnya organisasi yang bersifat nasionalisme dalam tujuan kebangkitan nasional, dinamika keagamaan terutama Islam, pengaruh komunis, politik etis, hingga awal datangnya Jepang adalah rangkaian peristiwa sangat penting dalam mewarnai sejarah panjang bangsa ini. Khusus dinamika sejarah politik yang sangat penting untuk dilihat yakni bagaiman politik etis, kebagkitan nasional serta pergerakan nasional, bagaimana pemerintahan kolonial yang berada dalam masa-masa akhir, Serta dinamika partai politik.
Untuk pemilihan wilayah pembahasan dikhususkan pada daerah Sulawesi Selatan. Mengapa demikian?, karena rentetan dan dinamika sejarah, khususnya dinamika berpolitik ditemui dihampir seluruh pelosok nusantara sejak masih berciri kerajaan. Akan tetapi dalam pembahasan ini, akan dikhususkan untuk mengggali bagaimana dinamika politik yang terjadi di tanah Sulawesi Selatan. Perlu diketahui bahwa Sulawesi Selatan sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1905-1906 . Dari mempealajari dinamika Politik di Sulawesi selatan dalam periode ini dapat kita ketahui bagaiman Pemerintah Hindia Belanda menjalankan tata kepemerintahan diwilayah ini.
Disamping itu pada periode ini dapat kita lihat bagaimana gerakan-gerakan pemberontakan sosial dari golongan-golongan yang menaruh dendam terhadap Pemerintahan belanda yang dikenal dengan Gerakan I Tolok. Selain Pergerakan I Tolok, Dimakassar pada periode ini juga dikenal pergerakan Messianisme lainnya yaitu pergerakan yang bersifat kepercayaan yang dikenal dengan Batara Gowa I Sangkilang . Jadi secara jelas dapat kita mengetahui bahwa gerakan messianisme tidak hanya dikenal di tanah Jawa dalam hal ini dengan pergerakan Ratu adilnya, akan tetapi di tanah Sulawesi khususnya di Makassar juga pernah terjadi gerakan-gerakan messianisme sosial terhadap Pemerintahan Hindia Belanda yang dikenal dengan I Tolok dan Batara Gowa, Isangkilang,
3. Tinjauan Pustaka.
Buku yang ditulis oleh Dr. Edward L. Poelinggoemang dengan judul Perubahan Politik dan Hubungan Kekasaan Makassar 1906-1942 merupakan bacaan utama yang menjadi sumber inspirasi kami dalm mengerjakan makalah ini. Secara detail Dr. Edward mengungkapkan bagaimana dinamika, sistem dan tata pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda serta pergerakan dari rakyat Sulawesi Selatan dalam menentang Pemerintahan kolonial ditanah kelahiran mereka.
Selanjutnya untuk melihat bagaimana pergerakan-pergerakan sosial atau messianisme ditanah Makassar, penulis mencoba menjadikan buku yang ditulis oleh Dr. Mukhlis Paeni bersama Dr. Edward dengan judul Batara Gowa Messianisme dalam gerakan sosial di Makassar dan buku yang ditulis oleh Ridwan Efendy dengan judul I Tolok menjadi sumber bacaan penulis.

BAB II
Pembahasan

1. Sistem Politik dan Pemerintahan Lokal Makassar
A. Konsepsi Tomanurung
Di Sulawesi Selatan pada awalnya sangat banyak ditemukan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kkerajaan-kerajaanya masing-masing, sebelum tampilnya kerajaan-kerajaan besar seperti Gowa yang menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya. Kerajaan Gowa misalnya hanyalah terdiri dari Sembilan kerajaan-kerajaan kecil yaitu; Tombolo, Lakiung, Saotana, Parang-parang, Data, Agangje’ne, Bisei, Kalling, dan Sero . Kesembilan kerajaan tersebut pada awalnya merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kerajaan-kerajaanya masing-masing. Hingga pada awlanya terjadi situasi politk yang tidak kondusif diantara kerajaan-kerajaan tersebut. Terjadi pertikaian saling menunjukkan kekuatan dan berlomba menjadi yang terdepan diantara mereka.
Situasi politik yang tidak konduif tersebut berlangsung lama sampai munculnya istilah dalam bahasa Makassar “sikanre juku tauwwa”. Situasi tersebu berlangsung hingga turunnya tumanurung di Tamalatea, daerah Gowa sekarang. Disaat pertikaian diantara kesembilan kerajaan tadi tiba-tiba muncullah sesosok manusia yang tidak dikenal asal-usulnya, orang Sulawesi-Selatan menyebutnya To Manurung . Tomanurung inilah kemdian yang mampu menjadi sesosok pemimpin yang menjadi panutuan bagi kesembilan kerajaan yang bertikai tadi, meskipun dia adalah seorang perempuan. Inilah yang kemudian menjadi awla-mula terbentuknya kerajaan konfederensi Gowa yang membawahi kesembilan kerajaan tadi.
Konsepsi To Manurung sebenarnya tidak hanya terjadi ditanah Makassar, akan tetapi ditanah bugis dan Torajapun terjadi konsep To Manurung ini. Tercatat ditanah Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, dan daera-daerah lainnya pun pernah ada To Manurungnya, akan tetapi faktornya berbeda dalam hal ini ada karena masalah sosial dan ekonomi. Di Soppeng tomanurung juga terjadi karena konflik sosial. Saat terjadi kekosongan pemerintahan dan ekonomi masyarakat terancam kelaparan karena terjadi kemarau berkepanjangan di Soppeng para dewan hadat melakukan suatu pertemuan ditempat terbuka dibawa pohon lebat. Saat berlangsungnya pertemuan tersebut tiba tiba terdengar kicau burung yang ternyata memperebutkan setangkai padi yang berisi. Arung Bila yang pada saat itu menjadi pemimpin Matowa di Soppeng memerintahkan untuk mengikuti arah kemana burung tersebut. Akhirnya mereka sampai disebuah tempat dan menghilang, yang ada adalah beberapa orang aneh dan diantara mereka ada yang lebih aneh dan pakaian lebih dari yang lainnya. Saat itulah Tomanurung yang dalam hal ini tomanurung ri Sikannyilik menjadi penguasa di Soppeng Utara dan saudaranya yang juga Tomanurung dengan nama manurungnge ri Gowari di Libureng menjadi penguasa di Soppeng selatan . Dan inilah yang menjadi titik awal kemajuan Kerajaan soppeng.

B. Demokrasi Lokal Sulawesi selatan
Sebelum Indonesia merdeka dan mengenal system ketata negaraan Demokrasi perlu diketahui bahwa sesungguhnya orang Sulawesi Selatan telah mengenal system demokrasi meskipun masih bersifat tradisional sewaktu masih dalam bentu kerajaan . Lihatlah saja hampir semua kerajaan di tanah Sulawes Selatan mengenal sistem adat yang setara dengan dewan rakyat di DPR sekarang.
System musyawarah mufakat yang menjadi salah satu ketentuan dari system demokrasi juga sudah dikenal dimasa kerajaan di Sulawesi Selatan. Seperti halanya kebijakan pemerintah juga harus mengarah kepada kemaslahatan rakyatnya. Lihatlah bagaimana saat percakapan Tomanurung Baineyya menjadi Raja Gowa. Saat percakapan antara Raja Gowa dengan para kabinetnya dalam hal pemerintahan. Diamana sebelumnya dikenal ada To Mailalang Toa adalah perantara antara raja dengan Tomailalang lolo sebagai wakil rakyat .
Pada keerajaan Mappajungnge di Luwu khususnya saat pemerintahan Puang Ri Magalatung dia menetapkan bahwa yang menjadi penguasa Luwu adalah orang yang betul-betul memenuhi persyaratan dan betul-betul mementingkan kepentingan Rakyatnya. Hal ini mencerminkan bagaimana demokrasi sebenernya dikenal oleh orang Sulawesi Selatan dimasa masih system kerajaan.

2. Pemerintahan Hindia Belanda di Makassar
A. Pelaksanaan dan Pengaturan Wilayah Pemerintahan
Masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906-1942 diwilayah ini merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda secara seutuhnya dan menyeluruh. Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan .
Setelah itulah baru Pemerintah Hindia Belanda dengan sepenuhnya dan menjalankan pemerintahan sesui dengan system pemerintahan yang mereka anut. Adapun bentuk pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan di Sulawesi dan daerah bawahan setelah penguasaan diseluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah bentuk pemerintahan militer-sipil . Pelaksanaan Pemerintahan militer-sipil ini dimaksudkan untuk dapat memperkuat dan mempertahankan pemerintahan dan kekuasan Hindia Belanda, disamping itu untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan perlawanan yang diperkirakan dari pihak penguasa dan bangsawan di daerah itu akibat penguasaan wilayah dan pengambil alihan kekuasaan mereka .
Untuk mengefektifkan pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijakan pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah pemerintahan pada masa anara 1906-1910 didasarrkan pada surat keputusan Gubernur H. N. A. Swart (1906-1908), tertangal 31 Desember 1906, No. 6041/2. Akan tetapi penaguturan ini masih bersifat sementara, nanti pada tahun 1911 baru ada pengesahan.
Pemerintahan wilayah Makassar dibagi dalam lima cabang pemerintahan yaitu: Makassar, Maros, Pangkajene, gowa Barat, dan Takalar. Menurut penataan wilayah pemerintahan, cabang pemerintahan (Onder Afdeeling) merupakan wilayah pemerintahan terkecil untuk pejabat Pemerintah Belanda. Pada tahun 1915 mulai banyak terjadi perubahan penataan pemerintahan misalnya yang dulunya hanya Kotapraja Makassar kemudian dibagi menjadi dua taitu Makassar dan Bonthain, ini disebabkan karena Makassar terlampau luas untuk seorang asisten residen. Kemudian pada tahun 1917 dibagi menjadi tiga yaitu Makassar, Bonthain, dan Sungguminasa. Selanjutnya pada pemerintahan Gubernur J. L. M. Swaab (1933-1937), terjadi lagi banyak perubahan penataan wilayah pemerintahan. Pada pemerintahan ini bekas Kerajaan Gowa menjadi wilayah pemerintahan bumiputra dan berpemerintahan sendiri sebagai suatu kerajaan, akan tetapi kedudukannya secara langsung berada pada pengawasan Asisten residen Makassar. Terjadinya perubahan-perubahan penataan wilayah pemerintahan ini sebenarnya didasarkan pada kurangnya tenaga kerja untuk menjalankan pemerintahan.

B. Hubungan Kekuasaan Pemerintah Pusat dengan Penguasa dan Bangsawan Lokal
Selanjutnya untuk menlihat bagaimana selanjutnya dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya Makassar hal lain yang perlu kita bahas yakni masalah hubungan antar pemerintahan dalam artian bagaiman hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa ata kaum bangsawan serta masyarakat lokal yang dalam hal ini merupakan penduduk asli.
Penataan struktur Pemerintahan Hindia Belanda menempatkan daerah adat sebagai wilayah pemerintahan bagi pejabat pemerintahan bumiputera, bagian dan bawahan dari wilayah cabang pemerinahan dan kontrolir, tjuannya ialah untuk menjalin kerjasama dengan kaum bangsawan diwilayah itu untuk menjalankan pemerintahan dan manguatkan kedudukan bori bagian pemerintahan daerah dari bentuk pemerintahan kerajaan atau konfederasi pemerintahan bumiputra dan mengguanakan penguasa bori sebagai regen . Hal ini sebenarnya merupakan masalah bagi pemerintahan Hindia Belanda yang dianggap hanya sebagai pemerintaha yang legal rasional sebaliknya kekasaan bumiputra dianggap sebagai kekuasaan tradisional. Dalam pengangkatan pejabat bumiputra didasarkan atas pengaruhnya terhadap masyarakat misalkan seorang raja, bagsawan terlebih lagi mereka yang memilik kalompoang.
Pemerintah setelah penguasaan langsung secarah menyeluruh wilayah Sulawesi Selatan pada 1905 memandang kelompok-kelompok bangsawan sebagai kekuatan tandingan utama. Kelompok bangsawan adalah kelompok yang merasa dirugikan secara langsung baik dari segi ekonomi maupun dari segi politik. Untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan penawaran darimkelompokmitu dan untuk dapat memperkuat serta mempertahankan kekuasaan, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan pemerintahan militer-sipil, berusaha untuk mendekati dan menguasai kelompok bangsawan, dengan maksud agar dapat menggunakan mereka untuk mempengaruhi bangsawan lainnya dan masyarakat umumnya untk mengakui kekuasaannya .

3. Gerakan Messianisme di Makassar
A. Gerakan I Tolok
Pada awal Pemerintahan Hindia Belanda, di daerah itu terjadi banyak sekali tindakan pencurian dan perampokan. Di antara kelompok-kelompok perampok yang melakukan kegiatan di daerah itu, terdapat beberapa kelompok yang menggunakan senjata (bedil) dalam kegiatan mereka, dengan jumlah sekitar delapan hingga sepuluh orang, khususnya di Cabang Pemerintahan Gowa (Onderafdeeling Gowa). Pada masa pemerinahan Gubernur A.J. Baron Quarles (Mei 1908-Agustus 1910) dan Gubernur W.J.Coenen (Agustus1910-Agustus 1913) terjadi sejumlah tindakan perampokan yang dilakukan secarah berkala, beranggtakan antara lima sampai enam orang dan menggunakan senjata .
Pada masa pemerintahan Gubernur Th A. L. Heyting (1913-1916), sebagian pasukan militer pemerintahan yang berada di Pemerintahan Sulawesi dan daerah bawahan dikembalikan ke Jakarta (Batavia), setelah terdengar pecah Perang Dunia I pada tahun 1914. Penarikan pasukan militer itu dimksudkan untuk memperkuat pertahanan pemerintahan dari bahaya kemungkinan Perang Dunia I yang berkobar di Eropa. Pada bulan September 1914, dikirim dua kompi pasukan militer di Makassar ke Jakarta. Setelah pengiriman pasukan milite itu, terjadilah sejumlah tindakan perampokan didaerah Polombangkeng dan di Gowa Selatan yang cukup menarik perjatian-bukan hanya jumlahnya yang banyak-tetapi terdengar munculnya I Tololo Daeng Magassing sebagai kelompok pemimpin perampokan itu. I Tollo adalah seorag kelahiran Gowa yang berasal dari daerah Limbung. Dalam peristiwa ini, Tollo tampil bersama pengikut-pengikutnya yang terkenal, antara lain: Macan Daeng Barani, Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji, Paciro Daeng Mapata, Daeng patompo dan Daeng Manyengka. Peristiwa ini mendorong pemerintah lebih giat melaksanakan pengawasan dan penjagaan keamanan dan berusaha untuk dapat membendung dan membinasakan kelompok perampok itu.
Pada bulan April 1915, jumlah tindakan perampokan mulai menigkat. Tindakan perampokan mulai dilakukan secara terang-terangan. Kegiatan itu tidak hanya dilakukan pada malam hari saja tetapi juga pada siang hari. Kegiatan kelompok perampok mendapat dukungan tidak hany oleh regen-regen dan kepala kepala kampng tetapi jua rakyat. Bahkan di daerah tertentu dilakukan pungutan pajak untuk mendukung kelompok perampokan itu. Semakin meningkatnya tindakan perampokan itu dan semakin beraninya pelaku-pelaku gerakan perampokan itu mendorong pemerintah untuk melakukan penelitian menyangkut latar belakang terjadinya. Meski Pemerintah Belanda berusaha untu menumpas gerakan ini sampai mendatangkan bantuan dari Jawa, akan tetapi gerakan yang di Pelopori oleh I Tolok ini tidak menemui titik terang .
B. Gerakan Kepercayaan
Gerakan-gerakan kepercayaan sebenarnya telah ada sebelum periode ini. Gerakan Batara Gowa I Sangkilang merupakan bukti nyata akan hal tersebut. Batara Gowa Isangkilang adalah hadirnya sesosok manusia aneh pada suatu pagelaran pesta di daerah Takalar. Orang ini mengenakan pakaian kebesaran Raja Gowa, orang-orangpun menyebutnya I Sangkilang. Batara Gowa I sangkilan mampu meyakinkan rakyat Gowa bahkan pernah menjadi raja sebelum ditangkap dan diasingkan oleh VOC . Gerakan Kepercayaan yang bercorak kepercayaan mulai muncul pada masa pemerintahan Gubernur W. Frijling (1916-1921), pada saat itu tampil seorang tokoh, Baso Ua Ta Esa yang berasal dari daerah takalar mempengaruhi masyarakat dengan ramalan-ramalan hari kemudian, dalam hal ini dia mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan terjadi gerhana Matahari dan Batara Gowa I Sangkilang akan muncul dan akan mengawinkan putrinya dengan dirinya . Selanjutnya ia mengatakan bahwa pada waktu itu orang barat dan timur asing akan dilenyapkan, dan nentinya Kerajaan Gowa akan tampil kembali dengan kebesarannya, dan diapun akan dinobatkan menjadi raja. Selanjutnya ia membangkitkan keberanian dan meyakinkan pengikutnya bahwa mereka pasti akan berhasil membinasakan Pemerintah Belanda, Karaeng Ta member tahu bahwa ia telah diberi jimat oleh Matulele yang dapat menghilang apa bila ia terkejar.
Gerakan lain yang tokohnya tampil menyatakan diri keturunan Daeng Data adalah gerakan yang dipimpin oleh seorang keturunan Cina, Ong Cing Beng pada tahun 1928. Dalam suatu pertemuan yang dilakukan di kampong Bontolangkasa pada 21 nopember 1928 di rumah Lawang Daeng Mangemba, hadir juga Ong Cing Beng. Pada pertemuan itu ia menyatakan bahwa ia adalah putera dari Karaeng Data. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kelak Karaeng Data akan datang dan akan bangkit bersama salah satu bangsawan dari Bontonompo untuk mengusir dan membinasakan Pemerintah Hindia Belanda dan mengambil alih kekusaan di daerah itu.berdasarkan berita itu, Ong Cing Beng ditangkap dan ditawan. Akan tetapi kemudian ia dibebaskan, pada bulan januari 1929, karena dalam penelitian dan pemeriksaan tidak ditemukan bukti-bukti yang memberatkan .

BAB III
Kesimpulan
Di Sulawesi Selatan pada awalnya sangat banyak ditemukan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kkerajaan-kerajaanya masing-masing, sebelum tampilnya kerajaan-kerajaan besar seperti Gowa yang menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya. Kerajaan Gowa misalnya hanyalah terdiri dari Sembilan kerajaan-kerajaan kecil yaitu; Tombolo, Lakiung, Saotana, Parang-parang, Data, Agangje’ne, Bisei, Kalling, dan Sero . Kesembilan kerajaan tersebut pada awalnya merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat sendiri atas kerajaan-kerajaanya masing-masing. Hingga pada awlanya terjadi situasi politk yang tidak kondusif diantara kerajaan-kerajaan tersebut. Terjadi pertikaian saling menunjukkan kekuatan dan berlomba menjadi yang terdepan diantara mereka. Di daerah ini juga dikenal suatu konsep To Manurung.
Sebelum Indonesia merdeka dan mengenal system ketata negaraan Demokrasi, perlu diketahui bahwa sesungguhnya orang Sulawesi Selatan telah mengenal system demokrasi meskipun masih bersifat tradisional sewaktu masih dalam bentu kerajaan . Lihatlah saja hampir semua kerajaan di tanah Sulawes Selatan mengenal system adat yang setara dengan dewan rakyat di DPR sekarang.
Masa pemerintahan Hidia Belanda antara tahun 1906-1942 diwilayah ini merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda yang seutuhnya secara seutuhnya dan menyeluruh. Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire esxpeditie) Suawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa-penguasa diwilayah itu pada khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Hindia Belanda, memaluli penanda tanganan pernyataan pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan.
Untuk mengefektifkan pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan kebijakan pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah pemerintahan pada masa anara 1906-1910 didasarrkan pada surat keputusan Gubernur H. N. A. Swart (1906-1908), tertangal 31 Desember 1906, No. 6041/2 . Akan tetapi penaguturan ini masih bersifat sementara, nanti pada tahun 1911 baru ada pengesahan.
Selanjutnya untuk menlihat bagaimana selanjutnya dinamika politik yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya Makassar hal lain yang perlu kita bahas yakni masalah hubungan antar pemerintahan dalam artian bagaiman hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa ata kaum bangsawan serta masyarakat lokal yang dalam hal ini merupakan penduduk asli.
Penataan struktur Pemerintahan Hindia Belanda menempatkan daerah adat sebagai wilayah pemerintahan bagi pejabat pemerintahan bumiputera, bagian dan bawahan dari wilayah cabang pemerinahan dan kontrolir, tjuannya ialah untuk menjalin kerjasama dengan kaum bangsawan diwilayah itu untuk menjalankan pemerintahan dan manguatkan kedudukan bori bagian pemerintahan daerah dari bentuk pemerintahan kerajaan atau konfederasi pemerintahan bumiputra dan mengguanakan penguasa bori sebagai regen . Hal ini sebenarnya merupakan masalah bagi pemerintahan Hindia Belanda yang dianggap hanya sebagai pemerintaha yang legal rasional sebaliknya kekasaan bumiputra dianggap sebagai kekuasaan tradisional. Dalam pengangkatan pejabat bumiputra didasarkan atas pengaruhnya terhadap masyarakta misalkan seorang raja, bagsawan terlebih lagi mereka yang memilik kalompoang. Hal yang sangat penting dalam hubungan kekuasaan ini ialah pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa kaum penguasa local dan bangsawan adalah penghalang mereka, makanya bagi bmereka yang tidak mau menjadi mitra dan pengikut Pemerintah Hindia Belanda akan ditangkap.
Yang terakhir ialah bagaimana gerakan-gerakan messianic seperti gerakan pemberontakan dan perampokan yang dipelopori oleh Karaeng data dan I Tolok, serta gerakan kepercayaan seperti yang dilakukan oleh Baso Ua Ta Esa, mampu menjadi warna bagi pemerintahan Hindia Belanda di periode ini.

DAFTAR PUSTAKA:
Edward. L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan kekuasaan Makassar 1906-1942, Ombak, Yoyakarta, 2004.
Mukhlis Paeni dan Edward L. Poelinggomang, Batara Gowa Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar, ANRI dan Gajah mada Pres, 2002.
Shaff Muhtafar, Masa depan Warisan luhur Kebudayaan SulSel, Pustaka refleksi, Makassar, 2007. Hlm 25-26.
Abdurrazak Daeng patunru, Bingkisan Patunru Sejarah Loakal Sulawesi Selatan, Puskit dan Lephas Unhas, Makassar, 2004.
Jumadi, Demokrasi di Sulawesi Selatan, Rayhan Intermedia, Jakarta, 2009. Hal, 43,
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian sejarah, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar